The news is by your side.

Islam Nusantara, Produk Moderasi Islam. Benarkah?

Islam Nusantara, Produk Moderasi Islam. Benarkah? | NU Online LTN Nahdlatul Ulama Jawa BaratOleh Adi Supardi

Moderasi Islam atau Islam moderat sejatinya sebagai tawaran, menggagas sebuah konsep beragama dengan mengusung nilai mulia perdamaian, ramah dan dinamis. Dalam perkembangannya moderasi Islam telah menjadi isme yang ternyata terus berkembang pesat terlebih di Indonesia, hingga muncul term moderatisme Islam atau Islam Wasathiyah, fakta demikian semakin mendukung bahwa Islam tidak sebatas dogma tetapi telah menjadi falsafah dan pegangan hidup bangsa Indonesia.

Menengok sejenak kebelakang, mengamati realitas keberagamaan di Indonesia tentu kita akan menekuk muka karena malu, munculnya isu sara, intoleransi, hingga pengkultusan takfiri hingga ujaran kebencian atas suatu golongan dan sekte keagamaan, sudah cukup lama dan sering menghiasi ruang pemberitaan media publik. Ini sungguh menjadi ironi ketika kita menyadari betul bahwa penduduk Indonesia mayoritas Muslim.

Rasanya belum berujung keprihatianan bangsa ini, isu korupsi dan intoleransi antar umat beragama masih menghiasi urutan tertinggi kasus pranata sosial di Indonesia. Upaya yang ditempuh sangat perlu disegerakan, Indonesia akan menjelang krisis tuna karakter dan disharmoni sosial. Sehingga pelopor dan penggagas moderasi Islam di Indonesia, Nahdlatul Ulama dan Muhammadiyah tampil menawarkan solusi untuk perbaikan kualitas keagamaan Indonesia dengan pola dan strategi yang berbeda. Sebagai jawabannya Nahdlatul Ulama hadir menawarkan gagasan Islam Nusantara.

Islam Nusantara memberi isyarat penting bahwa dinamika keberagamaan di Indonesia berlangsung sehat dan dinamis, ini menjadi fakta bahwa mediasi ijtihad dalam hukum Islam akan terus berlangsung. Sehingga munculnya ‘wajah baru’ Islam Nusantara mengundang teguran dan pujian, masyarakat Indonesia belum mengenal pola dan konsep Islam Nusantara ini secara komprehenshif, meskipun secara ritual telah mengamini adanya Islam Nusantara tersebut sejak lama.

Seorang cendikiawan dari tanah Jawa, Mushtofa Bisri atau disapa Gus Mus berpendapat bahwa sejatinya Islam Nusantara itu sangat sederhana. Seperti halnya dalam ilmu nahwu terdapat pola idzofat menggabungkan dua kata dalam satu term, perlu diketahui bahwa makna idzofat tidak hanya punya makna lam (baca: bagi/untuk), tapi juga bermakna fii atau min (artinya di atau dari). Itu kiranya argumentasi Gus Mus, bahwa Islam Nusantara itu dapat berarti Islam di Indonesia atau Islam dari bangsa Indonesia.

Sebagaimana dalam QS. Al-Hujurot ayat 13 bahwa sejalan dengan penciptaan manusia di alam dunia ini Allah ciptakan bersuku-suku dan berbangsa-bangsa, tujuan pokoknya adalah untuk saling mengenal dan saling belajar. Realitasnya di Indonesia dengan aneka ragam suku, etnis dan kebudayaan maka dipandang membuat sebuah konsepsi yang kiranya bisa menghimpun semuanya, yaitu dengan term Islam di Nusantara. Dalam tafsir Al-Misbah karya Quraish Shibab, mengomentari ayat ini terjadinya hubungan timbal balik untuk saling mengenal antar sesama manusia.

Islam Nusantara menjadi tema pokok pada saat Mukhtamar NU ke-33 di Jombang pada 1-5 Agustus 2015, tentu dalam prosesnya menuai pujian yang cukup besar dan pihak kontra. Sehingga gagasan dan konsep ini menurut para ahli dipandang solusi yang bijak. Bagi warga Nahdliyin tentu Islam Nusantara bukanlah sekte atau aliran baru, dan tidak bermaksud mengubah doktrinasi Islam yang sudah tertanam kuat. Menurut Ahmad Sahal (2015: 16) bahwa implementasinya adalah mendeviniskan Islam sebagai agama yang toleran, damai dan akomodatif terhadap budaya Nusantara.

Dakwah yang dikembangkan dalam pola Islam Nusantara dilakukan dengan damai, mengakomodasi budaya, merangkul tradisi dan menjadikan pola ini sebagai media sarana pengembangan Islam. Karakter ini berdasarkan fakta bahwa Islam hadir oleh Walisongo tidak memberangus tradisi, melainkan mengembangkanya menjadi media dan wahana dakwah yang sangat efektif.  Sementara bagi pihak yang kontra, Islam Nusantara dianggap sebagai aktivitas yang bermuatan primordial, mengkotak-kotakan, Anti Arab, bahkan muncul tuduhan sebagai gerakan JIL, Barat, Zionis, dan semacamnya.

Kontekstualisasi moderasi Islam tercermin dalam praktik Islam Nusantara, menghidupkan dan membumikan Islam dengan sentuhan kearifan lokal tentu menjadi peluang yang amat besar dalam mempertahankan eksistensi Islam. Masyarakat Indonesia cenderung permisif dalam memilih dan memilah ajaran agama, sehingga disadari bersama bahwa perlu mediasi dakwah yang atraktif dan persuasif, kebudayaan yang sudah berkembang tidak dihilangkan tetapi ‘dipoles’ diarahkan pada kegiatan yang lebih baik. Sesuai dengan prinsip dasar dakwah nabi: “Innama buitstu li utamimam makarimal akhlak”sejatinya Aku diutus hanya sebagai penyempurna karakter manusia, dengan demikian nabi tidak melakukan perombakan besar-besar hingga menghapus nilai budaya yang sudah ada, tetapi nabi bertugas menyempurnakan dengan aktivitas yang positif.

Siapakah Walisongo yang dimaksud?

Menurut Abdurrahman Mas’ud, walisongo merupakan agen-agen unik Jawa pada abad XV-XVI yang mampu memadukan aspek-aspek spiritual dan sekuler dalam menyiarkan Islam. Watak dasar ajaran yang dikembangakan Walisongo di Tanah Jawa hadir dengan penuh kedamaian, harmonis dan dinamis.

Tranmisi Islam yang digagas Walisongo menjadikan Islam sebagai alternatif dan solusi, Islam tidak muncul dengan perang, senjata dan ancaman, tetapi Islam hadir membawa harapan pasti akan kebutuhan dasar manusia untuk beragama. Harapan ini dirasa masuk akal bagi orang awam sekali pun, mereka melakukan pendekatan yang konkrit dan realistis, ringan, menyeluruh, tidak njelimet dan menyatu dalam kehidupan masyarakat.

Upaya yang dilakukan oleh Walisongo nampaknya sebagai langkah strategis, tentang bagaimana seharusnya Islam dibumikan di Indonesia. Menurut Miftahuddin, bahwa mereka paham bahwa Islam harus dikontekskan, tanpa menghilangkan prinsip-prinsip dan esensi ajaran, sesuai dengan kondisi wilayah atau bumi tempat Islam disebarkan. Inilah yang kemudian dikenal dengan konsep “pribumisasi Islam”.  Upaya ini didasari sebuah fakta bahwa Indonesia sangat beragam kebudayaan, sehingga perlu diminimalisasi tingkat disintegrasi masa karena datangnya ajaran dan paham baru.

Fakta lain menyebut, bahwa Islam di Asia Tenggara secara geografis adalah periperal, Islam nominal atau Islam yang jauh dari bentuk “asli” yang terdapat dan berkembang di pusatnya, yaitu Timur Tengah. Akan tetapi, Islam di Asia Tenggara periperal dari segi ajaran perlu diuji secara kritis, dapat disaksikan dengan semakin tingginya intensitas dan kontak intelektual keagamaan antara Timur Tengah dengan dengan Nusantara, pada realitasnya bertujuan mendekatkan “tradisi lokal” Islam di Asia Tenggara dengan “tradisi besar” (tradisi normatif dan idealistik) sebagaimana terdapat dalam sumber-sumber pokok ajaran Islam dalam al-Quran dan sunnah. (Azyumardi Azra: 2000, 8).

Menyadari hal tersebut maka sepatutnya kita menjadikan dakwah sebagai media untuk memberikan kesan positif terhadap Islam, secara mendasar bahwa ini perlu mendapat perhatian yang sangat serius, bahwa dakwah Islam perlu dibangun atas dasar moderasi, mengajak kepada jalan Tuhan (QS. An-Nahl: 125) tentu bukan perkara yang mudah, perlu strategi yang jitu dan sistematis sehingga dakwah Islam dapat diterima dan berkembang mengikuti perkembangan jaman. Hal ini telah direkam dengan baik oleh jejak dakwah Walisongo. Landasan normatif akan anjuran berdakwah tertuang dalam QS. An-Nahl: 125, sebagai berikut:

ادع إلى سبيل ربك بالحكمة و الموعظة الحسنة و جاد لهم بالتي هي أحسن …

Mengukur tingkat kesuksesan Walisongo dalam berdakwah tentu akan sebanding dengan prestasinya dalam membumikan Islam dan kebudayaan dalam bingkai kearifan lokal. Tidak banyak dari masyarakat yang mengetahui rekam jejak model dakwah Walisongo ini, para pejuang dakwah ini seolah terlindas jaman dan mati dikubur kenangan. Fakta ini mencuat kepermukaan bahwa hingga kini menjelang masyarakat milenial abad ke 21 ini tidak banyak yang mempopulerkan nilai-nilai agung teladan dalam strategi dakwahnya.

Dalam strategi dakwah yang digunakan para wali dan kemudian diterapkan di dunia pesantren, para kiyai, para ajengan, atau tuan guru mengajarkan agama dalam berbagai bentuk.  Dalam dunia pesantren, diterapkan fiqhul ahkam untuk mengenal dan menerapkan norma-norma keislaman secara ketat dan mendalam, agar mereka menjadi muslim yang taat dan konsekuen. Tetapi ketika masuk ranah masyarakat, diterapkan fiqhul dakwah, ajaran agama diterapkan secara lentur, sesuai dengan kondisi masyarakat dan tingkat pendidikan mereka. Lalu, yang tertinggi adalah fiqhul hikmah, dimana ajaran Islam bisa diterima oleh semua kalangan, tidak hanya kalangan awam, tetapi juga kalangan bangsawan, termasuk diterima kalangan rohaniawan Hindu dan Budha serta kepercayaan lainnya. (Said Aqil Siraj: 2017, xi).

Fakta yang kembali mencuat, bahwa dalam merefleksi perjalanan dakwah Walisongo ternyata perlu ditempuh langkah strategis. Pertama, tadrij (bertahap), proses yang dilakukan sangat hati-hati dan sistematis. Melalui upaya ini dakwah dilakukan dengan terencana, beradaptasi juga mampu memposisikan diri sebagai tamu yang akan menjadi bagian masyarakat pada saat itu. Kedua, ‘adamul haraj (tidak menyakiti), para wali dalam menyebarkan Islam, tidak mengusik dan mengganggu tradisi yang sudah terbangun, akan tetapi justru memodifikasi dengan sentuhan nuansa Islami.

Potret metode dakwah era milenial

Menurut Khalil Abdul Karim (2012: 205) bahwa budaya (ats-tsaqofah) adalah kata yang memiliki makna luas, yang mencakup seluruh aspek kehidupan; sosial, agama, politik, ekonomi, pendidikan, etika, estetika (seni), bahasa dan semua aktivitas. Argumentasi ini sejalan dengan realita bahwa budaya sangat luas sekali wilayahnya. Sehingga ketika menyifati Islam akan muncul term dakwah sebagai prodak budaya, dakwah sejatinya merupakan nilai kebudayaan masyarakat sehingga ketika berdakwah kita sangat penting mengindahkan nilai-nilai budaya yang sedang berlangsung.

Walisongo lagi-lagi telah menjadi aktor utama dalam mencerminkan bahwa Islam dan kebudayaan sebagai bentuk nyata Islam yang moderat, kebudayaan yang menjadi falsafah kearifan lokal suatu daerah tetap dipertahankan, hanya saja terdapat upaya untuk meperbaiki. Berupaya mewujudkan bangsa yang sakinah (penuh ketenangan, damai, aman), mawaddah (dipenuhi dengan sikap saling mencintai), dan rahmah (sikap toleransi yang dilandasi kasih sayang). Begitulah kiranya gambaran sederhana dari puncak tujuan dari dakwah sesungguhnya.

Mari membumikan Islam penuh cinta

Berasaskan prinsip moderasi Islam, seyogyanya kita bersikap moderat dalam menyikapi dinamika hidup ini, terlebih dalam praktik berdakwah. Dakwah sejatinya merupakan aktivitas yang mulia dan memuliakan sesama, sehingga proses dan usahanya pun harus dilakukan dengan mulia pula.

Walisongo hadir kepermukaan bumi Indonesia membawa misi risalah kenabian untuk menyebarkan syiar Islam di Nusantara, metode dakwah yang disampaikan begitu tepat sasaran, menyentuh akar rumput objek dakwahnya dan tidak mengganggu nilai-nilai budaya dalam kearifan lokal yang sudah berkembang.

Upaya reaktualisasi metode dakwah Walisongo ini dengan 4 nilai pokok yaitu; asimilasi, akulturasi, bersikap damai dan ramah yang secara nilai gagasan penulis himpun sebagai usaha sadar untuk mengaktualisasikan Islam yang santun dan penuh cinta dalam prinsip persatuan dan kesatuan.

Leave A Reply

Your email address will not be published.