The news is by your side.

Jalan Sunnatullah Islam Nusantara

Muslimedianews.com ~
Oleh: Dr. H. Eman Suryaman, M.M*

Jalan Sunnatullah Islam Nusantara | NU Online LTN Nahdlatul Ulama Jawa BaratBelakangan ini muncul gagasan tentang Islam-Nusantara. Seperti lazimnya gagasan lain yang bertujuan untuk menjawab problem dan juga bermaksud memberikan tawaran solusi, Islam-Nusantara hadir untuk dua hal tersebut.

Kemunculannya berangkat dari kenyataan bahwa pada 10 tahun terakhir ini, marak fenomena gerakan Islam radikal, atau Islam garis keras yang lebih menunjukkan ekspresinya sebagai jenis Islam ala Timur-Tengah dan itu berbeda dengan Islam di kawasan Asia Tenggara yang moderat, terbuka dan harmonis dalam dimensi kebudayaan.

Sebagai organisasi kemasyarakatan berhaluan moderat, Nahdlatul Ulama (NU) tentu memiliki sensivitas untuk merespon persoalan ini dan punya tanggungjawab kepada umat agar tetap berada dalam Islam yang lurus. Islam-Nusantara akan lebih baik dijadikan model gerakan di kalangan umat Islam agar tidak generasi muslim Indonesia tidak terjerumus dalam model Islam yang garang, intoleran, anti-kemajemukan, senang memaksakan kehendak dan tidak menghargai adat-istiadat (urf).

Islam garis keras menjadi problem bangsa ini karena, Pertama, model gerakan amar-ma’ruf dan nahy-munkar-nya seringkali tidak melalui jalan ma’ruf (kebaikan) tetapi justru memakai jalan munkar (keburukan). Model ini tentu saja berseberangan dengan prinsip Islam karena lebih memaksakan kehendak dan jauh dari semangat akhlakul karimah.

Sebagai orang Islam, seratus persen kita setuju perintah Allah tentang amar-ma’ruf nahy munkar (perintah kebaikan dan mencegah kemungkaran). Tetapi pemaknaan terhadap ma’ruf (kebaikan) semestinya harus objektif, meluas dan mempertimbangkan nilai-nilai yang berlaku di masyarakat sebagai bagian sunnatullah. Jangan sampai niatan untuk “taat kepada Allah dan taat kepada Rasullullah” tersebut mengingkari “sunnatullah”, yakni realitas sosial-kultural yang berlaku dalam masyarakat.

Kedua, kebanyakan gerakan Islam garis keras atau Islam radikal tidak mau mengakui adanya keragaman sosio-historis dalam tubuh umat Islam. Ini yang kemudian menjadi problem manakala semua hal yang berkaitan dengan kehidupan umat Islam harus disatukan dalam satu persepsi yang tunggal yang konsep tunggalnya tersebut ternyata bukan merujuk pada Islam itu sendiri, melainkan ketunggalan dalam persepsi masing-masing kelompok.

Ide-ide semacam daulah Islamiah, khilafah dan lain sebagainya bukanlah solusi yang tepat. Selain lebih berbicara tentang kemasan atau merek, pada kenyataannya juga memiliki keragaman. Misalnya Daulah-Islamiah-nya ISIS, berbeda dengan konsep Daulah Islamiahnya Hizbut Tahrir, juga berbeda dengan konsep Daulah-Islamiahnya kelompok Jamaah Islamiah.

Dan yang terpenting umat Islam harus paham, bahwa dalam urusan politik, Islam tidak menunjuk pada sistem tetap/baku karena ini masalah ijtihadi. Dan para ulama mayoritas di Indonesia sudah sepakat dengan konsepsi Republikanisme (Negara Kesatuan Republik Indonesia).

Berada di Jalan tradisi

Islam yang di bawa Nabi Muhammad Saw merupakan ajaran fleksibel dalam menerima sunnatullah sosio-kultural. Esensi dari Islam adalah tetap sama, yakni, mengesakan Allah (Tauhid), memanusiakan manusia (ukhrijat lil annas)memuliakan moralitas hidup (akhlakul karimah), namun penerapannya haruslah menimbang kehidupan tradisi setempat. Dan pada cita-cita idealnya, Islam adalah ajaran pembawa rahmat untuk semesta alam (rahmatan lil alamin).

Cendekiawan Mesir, Hasan Hanafi (1998) melihat, kemampuan umat Islam menautkan dengan tradisi masyarakat setempat ini artinya akan membawa Islam bisa terjun pada masalah kekinian, bukan menarik Islam sebagai masa lalu yang dipaksakan pada masa kini. Juga tidak menautkan jenis Islam di satu tempat ke tempat lain.

Kita tahu, dalam realitasnya, tradisi kehidupan warga selalu hidup dalam imajinasi, bahkan mempengaruhi tindakan keluarga hingga masyarakat. Karena itulah dalam melakukan “islamisasi” Walisongo memilih jalan substansial dengan membawa Islam ke ranah kultural masyarakat.

Islam substansial memandang Islam sebagai ruh, spirit, sedangkan gerbongnya adalah Nusantara/tradisi. Dengan cara pandang ini, dakwah ke-Islaman membuka ruang gerak pesan mauizhah al-hasanah (pesan-pesan kebaikan) lebih mudah terealisasi. Kisah Sunan Gunung Jati misalnya, bisa menjadi cermin penting gerakan ini.

Ia senang menyampaikan pesan dakwahnya dengan komunikasi yang setara, lemah lembut penuh keakraban dalam bertukar pikiran dan dari situlah terjalin hubungan intim, bukan sekadar urusan politik agama, melainkan berkembang ke urusan persahabatan. Negara dan agama kemudian dikelola oleh “rasa” persaudaraan dan pengertian, jauh dari kecurigaan dan permusuhan.

Dengan Nusantara, toleransi juga menjadi ruh gerakan keIslaman karena selalu memandang perbedaan pendapat, bahkan perbedaan keyakinan, tidak diselesaikan dengan cara paksa, melainkan dimediasi sebagai sumber kekayaan urusan kemasyarakatan. Model ini sejalan dengan prinsip dakwah Nabi Muhammad Saw.

Betul bahwa tidak semua tradisi itu sesuai dengan Islam, bahkan sering bertentangan dengan kemanusiaan. Maka di situlah pentingnya Islam mengambil tradisi yang positif, dan melawan tradisi yang negatif untuk diarahkan sesuai dengan ajaran Islam.

Islam-Nusantara bukan menusantarakan Islam. Itu cara pandang yang salah karena membandingkan antara ajaran versus sosio-demografi. Islam Nusantara adalah ikhtiar memperlihatkan bahwa ada satu pesona dalam umat Islam, tentang kehidupan Islam yang ramah, toleran, terbuka, berkepribadian, humanis, dan punya tujuan membawa rahmat pada semesta pada level suku-bangsa (nusantara) dan jika ini berhasil ditunjukkan sebagai model gerakan, tidak menutup kemungkinan nanti akan menjadi kiblat muslim dari suku-bangsa lain di level internasional.

Nahdlatul Ulama sangat berkepentingan dengan niat mulai menyatukan banyak elemen masyarakat dalam satu jejaring kegiatan lintas agama, lintas suku bangsa dan lain sebagainya. Itulah mengapa PWNU Jawa Barat misalnya memiliki hubungan yang nyaman dengan siapa saja, salahsatunya kelompok Tionghoa.

Bahkan dengan teman-teman Tionghoa di Bandung kami berkerja secara konkret untuk kepentingan umum mendirikan rumah sakit dan fakultas kedokteran. Bahkan nanti akan ada fakultas khusus berkaitan dengan keilmuan bahasa dan budaya (sinologi).

Kita ingin bangsa ini bermartabat. Untuk bermartabat kita harus menghargai bangsa lain, membuka kesadaran pandangan tentang peradaban dunia, dan dari situlah nanti kita akan merasakan betapa kehidupan ini indah karena dijalin melalui saling menghargai dan saling menyerap nilai-nilai luhur.

Mari kita tunjukkan, bahwa Islam yang substansial adalah Islam yang mampu beradaptasi dengan lokalitas budaya, Jawaisme, Melayuisme, Betawiisme, Sundaisme, Papuaisme dan seterusnya. Dan dengan kerangka arah seperti itu, usaha untuk menjadikan Islam sebagai agama pembawa rahmat akan lebih cepat terealisasi. []

Dr. H. Eman Suryaman, M.M
Ketua Pengurus Wilayah Nahdlatul Ulama (PWNU) Jawa Barat
Sumber: Koran Sindo 27 Juni 2015.

Sumber MMN
Leave A Reply

Your email address will not be published.