The news is by your side.

Membaca Masa Depan Gerakan Politik Islam

Membaca Masa Depan Gerakan Politik Islam | NU Online LTN Nahdlatul Ulama Jawa BaratPerjuangan untuk mengangkat aspirasi umat Islam di Indonesia telah berjalan dalam rentang waktu yang panjang. Sejak sebelum kemerdekaan Indonesia, umat Islam merupakan bagian penting dalam melawan penjajah. Kini dalam sistem demokrasi, upaya memperjuangkan aspirasi umat Islam memiliki ruang yang lebih banyak dan dalam beragam bentuk.

Awal kemerdekaan disertai dengan semangat menjadikan Indonesia sebagai negara Islam. Salah satunya dengan Piagam Jakarta. Upaya tersebut mengalami kegagalan. Perjuangan dengan semangat yang sama selanjutnya dalam sidang-sidang Konstituante dengan hasil yang sama pula. Era kini, perjuangannya adalah bagaimana melaksanakan nilai-nilai Islam dalam kehidupan sehari-hari karena itu yang sesungguhnya menentukan maju mundurnya sebuah bangsa.

Era Orde Baru dengan kekuasaan militer menyebabkan beragam aspirasi politik dibungkam. Seluruh partai politik berbasis Islam difusikan dalam PPP sementara kelompok lain dimasukkan dalam PDI. Golkar dengan seluruh perangkat birokrasi dan militernya menguasai mayoritas perolehan suara. Keruntuhan Orde Baru dan kemunculan kebebasan kembali memunculkan cita-cita lama untuk memperjuangkan Piagam Jakarta. Gerakan ini pun hanya sayup-sayup suaranya. Ormas Islam arus utama seperti Nahdlatul Ulama dan Muhammadiyah menolak ide tersebut.

Di kalangan umat Islam sendiri, terdapat berbagai macam kelompok yang masing-masing memiliki perbedaan pandangan bagaimana hubungan antara Islama dan negara. Secara garis besar dapat dibagi dalam dua kelompok, yaitu yang berpandangan perlunya formalisasi aturan Islam dan kedua adalah dengan penerapan prinsip dan nilai-nilai Islam, sekalipun tidak secara formal ditulis dengan merek Islam.

Persoalan lain adalah kepentingan dari masing-masing organisasi atau bahkan antartokoh umat Islam sendiri. Era pascakemerdekaan melahirkan Masyumi yang menjadi wadah seluruh umat Islam untuk perjuangan politiknya. Berbagai perbedaan menyebabkan organisasi tersebut pecah. NU dengan jumlah massa besar merasa kurang diakomodasi dalam komposisi perwakilan di Masyumi, dan akhirnya menyatakan diri keluar. NU kemudian dapat membuktikan diri sebagai partai politik ketiga terbesar dengan perwakilan suara yang jauh lebih tinggi.

Pemaksaan fusi partai-partai Islam dalam PPP era Orde Baru juga tidak membuat partai tersebut menjadi besar. Di luar faktor eksternal berupa kooptasi Golkar sampai ke akar rumput, terdapat pertarungan internal yang keras antara berbagai faksi yang ada. Kelompok kecil tetapi bersuara keras, berusaha mendominasi dan mengendalikan partai. Mereka berusaha meminggirkan NU. Situasi ini menguatkan semangat kembali ke Khittah 1926 yang kemudian terlaksana dalam Muktamar ke-27 NU tahun 1984 di Situbondo, Jawa Timur.

Era Reformasi dengan kebebasan politik memunculkan banyak sekali partai politik baru, termasuk yang mengatasnamakan diri sebagai partai politik Islam atau mengambil ceruk Muslim. Hanya ada beberapa yang bertahan dan mampu mendudukan perwakilannya di parlemen, yaitu PKB, PAN, PPP, dan PKS. Toh, sekalipun sudah menjadi semakin tersegregasi, dari waktu-ke waktu, partai-partai berbasis Islam tetap saja mengalami konflik internal yang menguras energinya.

Hanya pada momen-momen tertentu saja kekuatan umat politik Islam bersatu tapi kemudian bubar dan memperjuangkan kepentingannya masing-masing, salah satunya pembentukan Poros Tengah yang mampu menaikkan Gus Dur dalam kursi presiden RI pada 1999. Tapi kemudian kelompok politik Islam saling bersaing, bahkan meruntuhkan apa yang dibangun dan disepakati bersama.

Demikian pula, gerakan 212 berhasil mengumpulkan massa besar di Monumen Nasional (Monas) Jakarta ketika ada isu bersama berupa kasus “penistaan agama” yang dilakukan oleh Basuki Tjahaja Purnama atau lebih dikenal Ahok. Namun, para tokoh dan inisiator gerakan tersebut kini terpecah dalam berbagai faksi yang satu sama lain saling bersaing meraih tujuan yang berbeda.

Jika dahulu partai politik benar-benar tersegregasi berdasarkan ideologi, kini partai politik menjadi sangat cair, bahkan pragmatis tanpa basis ideologi yang jelas ketika satu politisi dengan mudah loncat dari satu partai ke partai lainnya saat kepentingan politiknya tidak terakomodasi. Namun, apa pun partai politiknya, aspirasi umat Islam menjadi bagian penting mengingat besarnya jumlah pemilih Muslim. Perda-perda syariah yang muncul, bahkan banyak diinisiasi oleh partai-partai sekuler yang ingin meraih simpati pemilih Muslim. Karena itu, klaim sekelompok orang yang menganggap hanya dirinya representasi perjuangan umat Islam, maka klaim tersebut otomatis tertolak.

Dengan rentang panjang perjalanan bangsa Indonesia, ada beragam situasi sesuai dengan pergerakan zaman. NU merespon situasi tersebut dengan strategi yang berbeda. Salah satunya dengan perubahan bentuk dari partai politik kembali menjadi organisasi massa Islam. Kemampuan menyesuaikan diri dengan situasi inilah yang membuat NU mampu bertahan karena mereka yang mampu bertahan bukanlah yang paling kuat, paling cepat, atau paling besar, melainkan mereka yang mampu menyesuaikan diri dengan situasi terbaru.

Bagi NU, perjuangan kini adalah bagaimana nilai-nilai Islam dapat diterapkan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Terkait dengan kepentingan umat Islam secara khusus yang perlu diatur oleh UU, NU turut memperjuangkannya melalui para anggota parlemen yang belatar belakang NU seperti UU Haji, UU Zakat, UU Wakaf, UU Jaminan Produk Halal, dan lainnya. Dan kini sedang diperjuangkan UU Pesantren dan Pendidikan Keagamaan.

Yang perlu disikapi dengan kritis kini dan di masa depan adalah, di antara berbagai macam gerakan yang mengatasnamakan Islam, jangan sampai hal tersebut hanyalah gerakan politik individu atau kelompok yang mengatasnamakan Islam. Bahkan hanya menjadi sandaran kelompok lain yang menjadikan kekuatan umat Islam sekedar sebagai basis suara kepentingan politiknya. (Achmad Mukafi Niam)

Sumber : NU Online

Leave A Reply

Your email address will not be published.