The news is by your side.

Membaca, Menulis, dan Mendidik

Membaca, Menulis, dan Mendidik | NU Online LTN Nahdlatul Ulama Jawa BaratOleh Aswab Mahasin

Manusia hidup mempunyai banyak hal, sedangkan manusia mati hanya meninggalkan tiga hal; bacaannya, tulisannya, dan hasil didikannya. Begitupan sejarah dunia, dibentuk oleh tiga hal; pertama, buku menjadi pedoman pergerakan, seperti halnya gerakam komunis dengan rujukan Das Kapital karya Karl Marx, kedua, tulisan menjadi peninggalan monumental, seperti karya Imam Ghazali, Plato, dan Mbah Hasyim Asy’ari, dan ketiga, Konfusius seorang guru (pendidik) dan filsuf Cina pengajarannya memberikan pengaruh besar terhadap masyarakat Cina, Korea, Vietnam, dan Jepang. Masih banyak contoh dan mungkin ribuan eksmplar buku, tulisan, dan guru yang sempat menyetir sejarah bangsa dunia.

Lantas, apakah kita hanya berhenti dan puas akan gemerlapnya dunia, tanpa tiga peninggalan agung tersebut? Kita sepakat menjawab, tidak!

Setiap manusia, siapapun dia, ingin terlibat dalam proses sejarah dunia. Khususnya menebarkan kemanfaatan tanpa putus. Ironisnya, kesadaran tersebut masih jarang dimiliki, dengan jutaan buku bacaan, kita lebih memilih membaca status medsos, dengan banyak kesempatan menulis huruf (baca: buku), kita lebih memilih menjadi generasi merunduk, dan dengan banyak kesempatan menularkan pengetahuan/ilmu, kita lebih memilih membisu.

Permasalahannya, kepentingan kita terhadap buku hanya di ladang formal, sekolahan dan perkuliahan. Di luar itu, seakan-akan buku tidak memiliki fungsi. Mungkin kita beranggapan fungsi buku di luar institusi formal tidak mempunyai nilai tambah, lalu kita mengacuhkan itu sebagai gizi pengetahuan. Tanpa kepentingan dengan guru atau dosen, tanpa konsekuensi hukuman, dan tanpa nilai A atau B yang kita dapatkan.

Padahal di luar itu semua, prinsip terpenting buku adalah isi yang kita baca, di manapun kita berada. Begitupun dengan tulisan/menulis, tugas makalah, skripsi, dan sejenisnya—kita kerjakan mati-matian, menganut paham SKS (Sistem Kebut Semalem). Lantas setelah itu selesai, puncak akhir dari tulisan kita hanyalah skripsi, mungkin didapatkan dari copas di sana-sini.Setelah itu, kita hanya menjadi penulis chating di Medsos saja.

Sedangkan mendidik,tentunya hal yang jauh dari kita, karena realitas sejarahnya, semua pendidik adalah pemakan buku yang rakus dan melek literasi. Lantas, apakah kita demikian?

Pembaca Buku Indonesia

Sudah menjadi keterikatan logis, seorang pembaca buku yang baik adalah pendidik yang baik, begitupun sebaliknya seorang pendidik yang baik adalah penulis yang baik, dan sebaliknya lagi seorang penulis yang baik adalah pembaca yang baik.

Sekarang kita lihat bagaimana minat baca di Indonesia. Menurut “Most Littered Nation In The World”, yang dilakukan oleh Central Connecticut State University pada Maret 2016 lalu, Indonesia dinyatakan menduduki peringkat ke-60 dari 61 negara soal minat baca. Indonesia persis berada di bawah Thailand (59) dan di atas Bostwana (61). Padahal dari segi penilain infrastruktur untuk mendukung membaca peringkat Indonesia di atas negara-negara Eropa. Selain itu, berdasarkan Survei UNESCO minat baca masyarakat Indonesiabaru 0,001%. Artinya dalam seribu masyarakat hanya ada satu masyarakat yang memiliki minat baca.

Data tersebut memang memprihatinkan. Namun, permasalahan ini harus kita lihat secara utuh. Mungkin ada faktor-faktor lain yang menyebabkan minat baca Indonesia rendah, apakah faktor ekonomi, fasilitas, atau akses terhadap buku itu sendiri. Kita tidak bisa menyamaratakan kondisi sosial Indonesia dengan parameter survey mengenai dukungan infrastruktur dalam memfasilitasi minat baca.

Objek penelitiannya mungkin di kota-kota besar, tidak menutup kemungkinan di kota-kota kecil atau pedesaan minat baca sebenarnya tinggi, tapi ada faktor lain yang memengaruhi. Indonesia itu luas, dan tidak semua daerah mampu mengakses informasi dengan mudah, apalagi harga buku seperti di luar jawa melambung tinggi, jangan samakan antara Jakarta dengan Papua dan jangan samakan antara Yogyakarta dengan daerah Timur lainnya. Saya optimis, minat baca Indonesia itu baik tidak seperti apa yang dikatakan survey di atas.

Solusi Ideal

Minat baca tidak begitu saja tumbuh mendadak, apalagi menulis, begitupun mendidik. Rangsangan itu harus dimulai pada tahap paling dini. Saya tidak melihat keseriusan pemerintah dalam meningkatkan minat baca masyarakat Indonesia. Terobosan pemerintah paling terakhir hanya menggratiskan ongkos kirim. Bagi saya ini masih jauh dari harapan.

Perpustakaan-perpustakaan desa/kecamatan, dibeberapa titik yang saya tahu tampak tidak ada aktifitas konkret, kotor, lusuh, dan tidak terurus. Seandainya pemerintah serius menggarap lapangan ini(saya tidak bosan-bosannya mengingatkan) khususnya pemerintah, harusnya merawat dan menghidupkan Taman Bacaan Masyarakat di setiap tingkatan kecamatan dan dibarengi dengan aktifitas-aktifitas menarik, tentu ceritanya akan berbeda.

Selain itu, yang dibutuhkan oleh masyarakat untuk membangun minat baca sejak dini adalah “ruang steril anak”, laiknya taman pintar mini/area cerdas. Setiap hari libur sekolah (minggu) anak-anak disuguhkan dengan aktifitas-aktiftas kreatif, percobaan sains atau dongeng-dongeng yang dapat mengembangkan motorik anak. Indah sekali, jika pemerintah membuat ini merata di seluruh Indonesia, dengan cara bertahap pun tidak masalah.

Jikalau pemerintah keberatan dengan hal tersebut, tentu Anda bisa menilainya sendiri. Tetapi, kita masih punya pegiat-pegiat literasi dengan sukarela dan ikhlas menyemarakan gemar membaca, sekarang luar biasa. Banyak sekali terobosan yang dilakukan, dari mulai perahu perpustakaan, sepeda ontel pustaka, dan sejenisnya.

Selain itu, saya membayangkan satu hal, mungkin ide ini terlalu lucu, tapi ini serius, begini; setiap lima tahun sekali Indonesia menggelar pesta demokrasi, di situ banyak Calon Legislatif (Caleg) dari tingkat Kabupaten, Provinsi, dan Nasional. Mereka tersebar di semua titik “daerah pemilihan” (mulai tingkat desa). Dan kita semua tahu, setiap Caleg mengeluarkan dana yang tidak sedikit pada saat proses kampanye, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten/Provinsi mencapai 300.000.000 – 1.000.000.000, sedangkan Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia, menurut informasi yang saya dapat bisa mencapai 2.000.000.000 – 5.000.000.000. Fantastis bukan?

Pada tahun 2014 menurut berita-berita yang tersebar, ada 200.000 Caleg yang bertarung memperebutkan kursi di DPR dari seluruh tingkatan. Anda sekarang bisa membayangkan, berapa perputaran uang pada saat kampanye Caleg tersebut, kalau kita ambil rata-rata saja dari seluruh tingkatan, kita munculkan angka 500.000.000 (karena ada juga Caleg yang tidak pakai uang), rata-rata angka tersebut kita “kalikan” 200.000 (dari total jumlah Caleg), maka akan menemukan hasil 500.000.000 x 200.000 = Rp 100.000.000.000.000 (100 Triliun).

Anehnya, uang sebanyak itu pada ujungnya hanya menjadi sampah, karena tidak sedikit juga dana difungsikan untuk memasang iklan, membuat banner, pamflet, sticker, kaos, tanggalan, dan sejenisnya. Sungguh, bagi saya model kampanye seperti ini sama sekali tidak memiliki fungsi. Apalagi serangan fajar yang nominalnya hanya 20.000 – 50.000, kecerdasan macam apa yang mau ditularkan.

Nah, di sinilah saya membayangkan dan berandai-andai. Kalau saja nanti pada tahun 2019 seluruh Caleg se-Indonesia mendeklarasikan “kampanye cerdas” satu sama lain bersepakat mengalokasikan dana kampanyenya 50.000.000 – 100.000.000, dikhususkan dana tersebut dialokasikan untuk membuat Taman Bacaan Masyarakat (TBM) dan ruang steril anak di setiap daerah pemilihannya, peristiwa ini akan menjadi sejarah baru dalam dunia poilitik praktis Indonesia. Dan hal tersebut bukanlah perkara yang susah, minimal disetiap tingkatan kecamatan, atau paling minimal disetiap rumah Caleg.

Saya yakin akan banyak orang yang tertawa dengan ide gila ini. Namun, kita semua bisa membayangkan, andai saja ini terjadi di negeri kita, efeknya akan luar biasa. Tidak menutup kemungkinan minat baca, minat menulis, minat belajar, dan minat mengajar akan tumbuh subur. Dan menjadi model gerakan sosial baru dalam kontestasi politik nasional. Budaya-budaya positifpun tentu akan terinstal dengan sendirinya.

Namun, apakah hal itu mungkin terjadi? Bagi saya, untuk memberikan persepsi cerdas terhadap masyarakat, saya berharap itu “terjadi”. Selama ini masyarakat diajak berpesta dengan kebiasaan “politik uang”. Jarang sekali saya mendengar, kampanye di Indonesia mempunyai sisi manfaat yang berkepanjangan dan abadi. Pendidikan politik kita yang harus dirubah.

Saya optimis, Indonesia akan mencapai pada pendidikan politik praktis yang cerdas. Semoga dari ratusan juta penduduk Indonesia yang membaca ini, ada salah satu dari mereka mencalonkan diri menjadi anggota DPR di tahun 2019, dan pada saat proses kampanye memberikan manfaat lebih kepada masyarakat.

Ide ini tidak diperuntukan bagi mereka calon-calon DPR yang takut kalah. Tapi, bagi mereka yang ingin menebarkan kemanfaat lebih dan memajukan bangsa ini melalui jalur pendidikan nyata. Karena menurut Pauolo Freire ada keterikatan dan keterkaitan antara pendidikan dan politik.

Penulis adalah Dewan Pengasuh Pondok Pesantren Darussa’adah Kebumen, Jawa Tengah.

Sunber : NU Online

Leave A Reply

Your email address will not be published.