The news is by your side.

Meneladani Kehidupan Syeikh Abu Bakar bin Salim

Oleh : Muhammad Fakhrurrozi

Meneladani Kehidupan Syeikh Abu Bakar bin Salim | NU Online LTN Nahdlatul Ulama Jawa BaratMembahas Syeikh Abu Bakar bin Salim, ibarat membaca sebuah teks hidup yang sangat panjang dan sangat lengkap. Di dalamnya bisa dibaca tentang kisah kesempurnaan seorang ayah dan ibu dalam mendidik anaknya, sekaligus kisah tentang kepatuhan seorang anak kepada orang tuanya. Kisahnya menjadi semakin lengkap dengan banyaknya kisah tentang kesempurnaan akhlak terhadap orang lain hingga kisah tentang bagaimana memanfaatkan tiap jengkal waktu yang dilalui serta konsistensi dan keuletan dalam menjalankan sebuah aktivitas. Untuk mendapatkan manfaat yang besar dari kisah-kisah tersebut, tentu tidaklah hanya sekedar membaca yang tertulis di dalam biografi beliau, namun diperlukan membaca dengan akal dan hati yang bersih sehingga bisa mendapatkan hikmah yang mendalam.

Syeikh Abu Bakar bin Salim selama ini lebih dikenal dengan kisah-kisah karomah dan kewaliannya. Namun sebenarnya, jika ditelaah lebih dalam, banyak hal yang bisa dijadikan pelajaran dan selanjutnya bisa diikuti dalam konteks  masa sekarang.  Berbagai permasalahan yang dialami umat Islam saat ini sebenarnya menunjukkan kualitas umat Islam itu sendiri. Permasalahan akhlak dan moral menjadi satu hal penting yang terjadi saat ini. Peristiwa demi peristiwa menunjukkan betapa krisis moral umat Islam saat ini benar-benar memprihatinkan karena krisis moral ini seolah-olah tidak mengenal status sosial ekonomi, tingkat pendidikan, jabatan ataupun kedudukan seseorang. Demikian juga krisis moral ini terjadi di hampir semua bidang, baik di ekonomi, sosial, pendidikan, politik hingga agama sekalipun. Tentunya hal ini menjadi pekerjaan rumah dan tanggung jawab semua umat Islam, tidaklah bijaksana jika keadaan ini dijadikan alasan untuk menyalahkan pihak tertentu. Instrospeksi atau penelusuran ke dalam diri umat Islam sendiri lebih diperlukan di sini.

Tulisan singkat ini mencoba untuk mengkaji seorang Syeikh Abu Bakar bin Salim dari sisi psikologi. Kajian ini ibarat sebuah rangkuman dari satu buku tebal dan diharapkan bisa membuka wawasan para pembaca untuk kemduian tergerak mempelajari lebih dalam tentang beliau dan kemudian mencoba untuk mengikuti beliau semampunya sebagai upaya kecil untuk ikut andil dalam mengatasi berbagai masalah umat Islam, khususnya permasalahan krisis moral/akhlak.

Syeikh Abu Bakar bin Salim dilahirkan di kota Tarim pada hari Sabtu, 23 Jumadil Awwal tahun 919 H, kurang lebih 519 tahun yang lalu. Beliau memiliki garis keturunan mulia dari ayah dan ibu yang bersambung hingga Rasulullah sholallahu’alaihi wasallam. Garis keturunan ayah dan ibunya bersatu di Al Imam Abdurrahman Assegaf dan seterusnya ke atas sampai Rasulullah sholallahu’alaihi wasallam.

Ayahnya adalah As-Sayyid As-Syarif Salim bin Abdullah bin Abdurrahman bin Abdullah bin Al Imam Abdurrahman Assegaf bin Muhammad Mauladdawilah bin Ali Shohibud Darak bil Alwiy Al Ghuyur bin Al Ustadz Al A’dham Al Faqih Muqaddam Muhammad bin Ali bin Muhammad Shahib Marbath bin Ali Khali’ Qasim bin Alawi bin Muhammad bin Alawi bin Ubaidillah bin Al Muhajir Ilallah Ahmad bin Isa Ar Rumi bin Muhammad An Naqib bin Ali Al Uraidhi bin Ja’far As Shadiq bin Muhammad Al Baqir bin Ali Zainal Abidin bin Husein bin Sayyidina Ali bin Abi Thalib dan Sayyidatuna Fatimah Az Zahra binti Rasulullah sholallahu’alaihi wasallam.

Ibunya bernama As-Sayyidah As-Syarifah Talhah binti Aqil bin Ahmad bin Abu Bakar As-Sakran bin Al Imam Abdurrahman Assegaf bin Muhammad Mauladdawilah bin Ali Shohibud Darak bil Alwiy Al Ghuyur bin Al Ustadz Al A’dham Al Faqih Muqaddam Muhammad bin Ali bin Muhammad Shahib Marbath bin Ali Khali’ Qasim bin Alawi bin Muhammad bin Alawi bin Ubaidillah bin Al Muhajir Ilallah Ahmad bin Isa Ar Rumi bin Muhammad An Naqib bin Ali Al Uraidhi bin Ja’far As Shadiq bin Muhammad Al Baqir bin Ali Zainal Abidin bin Husein bin Sayyidina Ali bin Abi Thalib dan Sayyidatuna Fatimah Az Zahra binti Rasulullah sholallahu’alaihi wasallam.

Ayahnya (Sayyid Salim), adalah seorang ulama di zamannya. Beliau tinggal di desa Lisk, kota Inat dan dibesarkan dalam lingkungan yang penuh ilmu dan ibadah serta didikan agama yang baik. Sejak kecil, Sayyid Salim sudah belajar Al Qur’an dan menghafalnya. Beliau juga menimba ilmu dari para ulama dengan semangat tinggi dan niat yang luhur. Sayyid Salim terkenal sebagai seorang ulama yang istiqomah, zuhud, ikhlas dalam beramal dan memiliki ketakwaan yang tinggi kepada Tuhannya.

Perkembangan seorang manusia dipengaruhi oleh dua faktor yaitu nature dan nurture. Nature merujuk pada segala hal yang sifatnya diturunkan (hereditas) seperti karakteristik bawaan yang diturunkan dari orang tua biologisnya. Nurture mengacu pada hal-hal yang terjadi di luar individu seperti, perlakuan selama di dalam kandungan, pola asuh orang tua, lingkungan tempat tinggal, sosial ekonomi, budaya, dan sebagainya (Papalia, Olds & Feldman, 2009). Manakah yang lebih menonjol di antara dua hal tersebut? Para ahli berbeda pendapat, ada yang berpendapat nature lebih utama daripada nurture. Namun, di lain pihak ada yang berpendapat sebaliknya. Penulis sendiri lebih condong pada pendapat yang menganggap bahwa kedua faktor itu sama pentingnya.

Syeikh Abu Bakar bin Salim memiliki dua faktor tersebut yang bersama-sama membentuk pribadinya. Beliau memiliki orang tua dan garis keturunan ke atas yang bagus kualitasnya. Faktor nature ini tampaknya cukup kuat berpengaruh bagi Syeikh Abu Bakar bin Salim, sehingga karakteristik kepribadiannya pun mirip dengan ayahnya yaitu senantiasa istiqomah dalam beribadah, tekun, ikhlas dalam beramal, zuhud, dermawan dan bertakwa kepada Allah subhanahu wa ta’ala. Beliau juga dibesarkan di dalam lingkungan yang mendukung. Ayahnya mendidik secara langsung dalam hal agama. Kurang lebih selama 25 tahun, ayahnya mendidik Syeikh Abu Bakar bin Salim.  Selain itu, sejak kecil, ayahnya membiasakan Syeikh Abu Bakar bin Salim berkunjung dan mengenal  para ulama. Selama menuntut ilmu agama, Syeikh Abu Bakar bin Salim pernah mengalami hambatan juga. Misalnya di saat beliau belajar Al Qur’an, beliau terlihat mengalami kesulitan dalam menghafalnya. Ayahnya yang melihat hal tersebut tidak berusaha memaksanya agar bisa cepat menghafal, namun yang dilakukan adalah membiarkan, membimbing dengan sabar dan mendoakannya agar bisa cepat hafal. Pola asuh yang demikian menunjukkan bahwa ayahnya bersifat authoritative. Sebuah gaya pengasuhan yang lebih mengedepankan kehangatan dalam berhubungan dengan anak. Pola asuh ini akan membuat anak menjadi seorang yang mandiri, bertanggung jawab dan memiliki kompetensi sosial yang baik. Sebagaimana Syeikh Abu Bakar bin Salim yang kemudian tumbuh menjadi seorang yang bertanggungjawab dan memiliki ketrampilan dan kepedulian sosial yang besar.

Pola asuh itu sendiri ada empat menurut Diana Baumrind (dalam Santrock, 2007). Selain pola asuh authoritative tersebut, ada pola asuh authoritarian (otoritarian). Pola asuh ini menempatkan orang tua sebagai figur otoritas yang segala kemauannya harus dipatuhi. Anak tidak diberi kesempatan untuk mengekspresikan kebutuhan dan keinginannya. Adanya hukuman dan batasan-batasan menjadi ciri pola asuh ini. Akibat dari pola asuh ini adalah seorang anak bisa tumbuh menjadi pribadi yang tidak kompeten secara sosial. Selanjutnya adalah pola asuh neglectful (melalaikan). Pola asuh ini dicirikan dengan ketidakterlibatan orang tua dalam kehidupan anak. Orang tua tidak mengetahui dengan baik apa aktivitas yang dilakukan anaknya. Orang tua tidak peduli dengan anaknya. Akibatnya, anak akan tumbuh menjadi pribadi yang sulit mengendalikan dirinya. Terakhir adalah pola asuh indulgent (memanjakan).  Pola asuh ini kebalikan dari pola asuh neglectful, dimana orang tua justru sangat terlibat dalam kehidupan anak dan cenderung memanjakannya. Segala keinginan anak selalu dipenuhi tanpa syarat. Akibatnya anak menjadi tidak mandiri, bergantung pada orang lain dan tidak bisa mengendalikan diri dengan baik. Lingkungan tempat tinggal Syeikh Abu Bakar bin Salim juga dipenuhi dengan hal-hal yang berhubungan dengan ibadah. Misalnya di rumah ayahnya, setiap pagi dan sore diadakan majlis ta’lim bagi masyarakat sekitar.

Pola asuh dan lingkungan tempat tinggal yang mendukung membuktikan bahwa Syeikh Abu Bakar bin Salim memiliki faktor nurture yang baik. Kombinasi dari faktor nature  dan nature tersebut berperan besar dalam membentuk pribadi Syeikh Abu Bakar bin Salim.

Idealnya memang kedua faktor yaitu nature dan nurture secara seimbang bersama-sama membentuk pribadi seseorang, sebagaimana yang dialami Syeikh Abu Bakar bin Salim. Namun, seandainya faktor nature pada diri seseorang tidak dimiliki, setidaknya faktor nurture bisa diperhatikan. Pola asuh menjadi penting untuk diperhatikan dalam perkembangan seorang anak. Sebagaimana disebutkan di atas, bahwa pola asuh authoritative adalah yang paling baik pengaruhnya terhadap anak. Selain itu, pemahaman bahwa pengasuhan anak hanya milik ibu atau ayah saja adalah pemahaman yang kurang tepat. Ayah dan ibu berfungsi sebagai mitra yang bersama-sama membesarkan anak-anaknya. Kemampuan kedua orang tua untuk menjalin kerja sama, memperlihatkan penghargaan satu sama lain, kemampuan berkomunikasi yang seimbang dan kemampuan untuk memahami kebutuhan masing-masing dapat membantu anak-anak dan remaja untuk mengembangkan sikap yang positif pada laki-laki dan perempuan (Biller, 1993; Tamis-LeMonda & Cabrera, 2002 dalam Santrock, 2007). Selain itu, karena pentingnya faktor lingkungan terhadap perkembangan anak, orang tua perlu memilihkan lingkungan yang baik bagi anak. Memilihkan tempat pendidikan formal dan pendidikan agamanya, memilih lingkungan tempat tinggal yang baik dan mengupayakan suatu kegiatan-kegiatan positif di rumah dan lingkungannya. (Bersambung)

Leave A Reply

Your email address will not be published.