The news is by your side.

NGAJI 1: Tentang Wuşūl (Ma’rifat) kepada Allah SWT.

NGAJI 1: Tentang Wuşūl (Ma’rifat) kepada Allah SWT. | NU Online LTN Nahdlatul Ulama Jawa Barat Oleh: Kyai Nur Kholik Ridwan.

Shaikh Muhyiddin Ibnu Arabi ngendiko (memberi nasehat):

La yurtajā al-wuşūl man lam yutābi’ al-Rasūl… Waman lam ya’khudh al-tharīq ‘an al-rijāl fa huwa yantaqilu min mulin il muhālin.” H{ikam al-Shaikhul Akbar (No. 13 dan 26).

Terjemah Jawa: “Ora iso tekan martabat al-wuşūl sopone wong kang ora melu Kanjeng Nabi … Lan sopo wong kang ora mlebu dalane setunggaleng guru, mongko wong mau, dadi pindah songko kemustahilan marang kemushtahilan liyane.”

Terjemah Indonesia: “Tidak bisa diharapkan mendapatkan martabat al-wuşūl (ma’rifat) kepada Allah, orang yang tidak mengikuti Kanjeng Nabi … Dan siapa yang tidak mengambil jalan dari seorang guru, maka orang itu akan berpindah dari satu kemustahilan ke kemustahilan lain.”

Itu petikan dari Hikam Shaikh Muhyiddin Ibnu Arabi, Sahibu Fusushil Hikam. Kitabnya diberi judul Nushusul Hikam al-Akbariyah. Hikam ini disyarahi Syaikh Mula Hasan bin Musa bin ` Abdullah al-Kurdi al-Qadiri al-Shafi`i (w.1148 H.) dengan judul Sharhu Hikami al-Shaikh al-Akbar.

Yang dimaksud al-wuşūl adalah ma’rifat kepada Allah bersama Allah. Orang yang ma’rifat, menurut pensyarahnya dibedakan menjadi beberapa jenis: 1) orang yang sampai pada şafwatul yaqīn secara dhauq (kelezatan rasa dalam dzikir-ibadah) dan wujdan (rasa cinta yang mendalam kepada Alloh); 2) orang yang mengalami kefanaan di dalam Af`al-Nya Allah, dan tidak melihat perbuatan selain Af`al-nya Allah; 3) orang yang menemukannya dengan jalan Asma’-Nya Allah, dan tidak melihat nama-nama selain nama Allah … (Al-Allamah Mula Hasan bin Musa al-Kurdi, al-Qadiri, Syarah Hikam al- Shaikhil Akbar, hlm. 109).

Orang yang ma’rifat kepada Allah bersama Allah disebut mengalami mushahadah, yang merupakan satu jenis dari mukashafah. Mushahadah, adalah hilangnya penghalang-penghalang batin yang secara hakikat batinnya dapat siap menerima al-Haqq. Hakikatnya adalah penglihatan yang şahīh bil başirah, atau penglihatan yang jujur atas khairuş Şadiq (al-Haqq) di dalam gambarannya tentang al-Haqq. Sementara mukashafah untuk menyebut selain shuhud kepada Allah, sehingga bisa saja tersingkap bi’aini başiratihi atas Nur Muhammad, malaikat-malaikat, nafs, jin, dan selainnya.

Yang dimaksud wuşūl sebagai ma’rifat tadi, bukan bermakna al-bulugh wal ittişāl, bukan bermakna sampai orang itu kepada Allah dzatnya. Bukan ini. Sebab Allah suci dari sampai kepada sesuatu atau ittişāl -nya sesuatu. Maka yang dimaksud al-wuşūl sebagai ma’rifat adalah ma’rifat bil-qalbi. Adakalanya ia memperoleh, berangkat sebagai murid-salik, kemudian majdhub, berangkat dari nafs-nya, keinginannya kepada Allah, lalu memperoleh ma’rifat bi-idhnillah; dan adakalanya berangkat sebagai murad, majdhub terlebih dulu kemudian menjadi salik, lalu istiqamah dalam suluknya.

Memperoleh sesuatunya bil-qalbi tadi, adakalanya seperti di muka, menemukan dalam Af’al Allah, Asma’ Allah, lewat dhauq wal wujdan. Dhauq itu merasakan kelezatan, lalu mengalami sharab, minum dengan kelezatan itu, dan akhirnya irtiwa, minum sepuas-puasnya, yaitu minum kelezatan sepuas-puasnya dengan istiqamah dzikir dan mengikuti Kanjeng Nabi; dan wujdan adalah dzikir yang menimbulkan kecintaan kepada Allah tanpa dipaksa-paksa, akhirnya akan sampai pada penglihatan Wujud.

Hikam itu menjelaskan ada satu syarat yang harus dilakukan seseorang untuk itu, yaitu mengikuti jalannya Kanjeng Nabi melewati rantai seorang guru. Mengambil jalannya Kanjeng Nabi lewat seorang guru adalah bai’at dan mengambil ijazah amalan wirid atau thariqat. Dari Kanjeng Nabi kita ambil af’alnya, aqwalnya, akhlaqnya, dan thariqatnya.

Saat ini sukar memang mencari guru yang sanggup mengumpulkan semua syarat ini, sekaligus ahli aqwalnya Kanjeng Nabi, ahli af`al, ahli akhlak, dan ahli thariqat-nya. Mungkin seorang guru hanya bisa meneladani akhlaknya Kanjeng Nabi dan beberapa aqwal, juga thariqat-nya. Tidak masalah dan tidak perlu dijadikan alasan untuk tidak pergi kepada seorang guru. Sehingga seseorang harus memiliki guru lain, untuk aqwalnya Kanjeng Nabi atau af`al-nya, berbeda dengan guru wirid dan thariqat nya. Paling tidak, dalam hal af`al dan aqwal, seorang harus faham niat dan al-qaşdu, wudhu, sholat, lalu ditambah sambil pelan-pelan soal zakat, shodaqah, haqqu al-jār wa al-nās, dan lain-lain, untuk dirinya sendiri dulu, keluarga, tetangga, dan seterusnya.

Jalan untuk wuşūl itu, dari Hikam ini, mensyaratkan seorang mengambil wirid, suatu amalan dzikir dari seorang guru mursyid yang mengijazahkannya atau membai’atnya untuk wirid, yang dilakukan secara terus menerus, dengan cara-cara tertentu. Fungsi guru dan wirid ini, lebih bisa difahami bagi yang pernah mengalami majdhub atau mereka yang sudah dibukakan hijab hatinya. Karena orang yang mengalami seperti ini akan banyak diganggu oleh berbagai rintangan setan, baik dari jenis manusia atau jin.

Sebab kata al-Ghazali, tentaranya nafs itu adalah setan, sebagaimana disebutkan dalam Minhajul Abidin. Imam Al-Qushairi dalam al-Risalah bahkan menyebut jenis yang datang sebagai bisikan itu, di antaranya: Allah (realisasinya adalah inspirasi yang haqq), malaikat (realisasinya adalah ilham dan sesuai dengan ilmu syariat), nafs (realisasinya memperpanjang angan-angan), setan (bentuknya mendorong waswas). Semua bisikan halus ini terealisasi dalam bentuk kalam, berbicara kepada seorang yang mengalami itu. Maka orang tersebut harus bisa mengalahkan bisikan-bisikan dari tentaranya nafs itu, baik dari jin qarin-nya sendiri , maupun jin-jin yang mendatanginya sebagai tentaranya nafs, dan dirinya menjadi Pancer (pusat), pengendalinya atas semua yang datang dalam bentuk kalam itu.

Seorang yang demikian akan melewati berbagai alam bil-qalbi, bukan bil-dzat. Kalau tidak memiliki wirid dan guru untuk rabithah, setan-setan itu akan datang untuk menjadi guru dan mengganggunya. Ibaratnya, dzikir dan wirid itu pedangnya. Pedang itu tidak akan berguna kalau tidak tahu cara menggunakan dan guru memberitahu cara menggunakan, dan ikut mendo’akannya. Hanya Allah yang mengabulkan apakah pedang itu mempan apa tidak untuk melawan musuh. Karenanya, kebergantungan hanya diletakkan kepada Allah, bukan kepada wiridnya, tetapi wirid dari seorang guru harus tetap dijalankan. Wirid-wirid itu berguna untuk mempersiapkan wadah dalam hatinya agar benar-benar siap untuk menerima al-Haqq, bisa menjadi pedang untuk meneguhkan pancer (pusat) dirinya menjaga keseimbangan semua jenis kalam yang masuk dalam dirinya.

Karenanya, melakukan wirid tanpa guru, lalu belajar istiqamah, gangguannya banyak sekali, baik dari keluarga, teman, setan ghaib, dan lain-lain, yang bisa menggagalkan wiridnya, sampai pada menggagalkan kepercayaan kepada Allah. Belum lagi kalau niatnya kadang berwirid untuk memperoleh sesuatu, karena didorong nafsunya, ingin dapat jodoh, ingin naik pangkat dan lain-lain; atau karena didorong oleh fadhilahnya wirid yang diperoleh setelah membaca kitab misalnya. Padahal seseorang tidak mungkin selalu naik kondisinya, kadang turun, di tengah, dan ditempa gelombang kehidupan yang keras. Kemudian timbul ragu manakala harapan yang diinginkan tidak terkabul. Maka orang itu kemudian cari lagi wirid dan membaca kitab atau hadis atau buku-buku, menemukan dan wirid lagi, dengan meninggalkan wirid yang pertama, begitu seterusnya. Dia bisa berpindah-pindah dan tidak istiqamah.

Dalam hal ini, bai’at ke dalam sebuah thariqat, berarti mengikat janji untuk berdzikir, dan akan lebih memperkokoh dalam menghadapi berbagai goncangan. Manakala ada masalah tertentu dia bisa berkonsultasi dengan gurunya. Guru dan bai’at mendorongnya bisa istiqamah, yaitu istiqamah wiridnya di dalam setiap jalan keluarnya nafs dan wirid di waktu-waktu tertentu itu, dengan bantuan Allah. Sementara manakala tidak punya guru, bila selubung hati terbuka, gurunya adalah bisikan-bisikan, tidak jarang adalah setan.

Guru bisa mengarahkan bagaimana cara mengatasi dan berikhtiar menutup suara-suara yang masuk yang mengganggunya, dengan dzikir, ibadah sunnah, dan berdoa terus menerus kepada Allah. Guru juga selalu mendoakan murid-muridnya. Karenanya kalau berwirid dengan mengambil ilmu dari google, atau buku, maka google dan buku itu tidak ikut mendoakan. Keberkahan dari seorang guru, dari gurunya dan dari gurunya lagi sampai kepada Kanjeng Nabi, bisa menjadi wasilah Allah memberikan perkenan dan ridha-Nya. Belum lagi kalau ikut gerbong, seperti ikut thariqat tertentu, seseorang akan mendapatkan do’a dari para pengamal thariqat untuk rekan-rekannya, yang biasanya dengan kalimah ilā hadrati ilā jami’i ahli silsilati ajma’in wa uşūlihim wa furū’ihim, wal akhidīna ‘anhum, bahkan ketika kita sedang tidur sekalipun. Padahal jumlah pengikut di gerbong tarekat itu jumlahnya bisa jutaan orang, atau ribuan.

Dengan kita memiliki guru dan merasa membutuhkan guru, kita juga telah berhasil menghancurkan kesombongan dalam diri kita. Ini adalah permulaan yang penting dalam menekuni dunia suluk. Artinya akan berhubungan juga dengan di perjalanannya nanti, karena kita sudah merasa kecil, banyak dosa, dan banyak kesalahan, sehingga akan lebih mudah menundukkan nafs dalam diri kita. Maka kita akan membutuhkan pembimbing dan selalu berdo’a kepada Allah, tanpa melakukan penyangkalan-penyangkalan dengan basis rasio (akal).

Kalau kita tidak punya guru, dan merasa bahwa, dengan diri sendiri sanggup, dengan membaca kitab atau buku sanggup untuk menekuni dunia suluk, dia akan lebih lama untuk menundukkan ego. Karena dia masih memupuk suluknya dengan rasio dan kesombongan. Padahal inti dari dunia suluk, adalah merasakan dan mengetahui kita ini tidak siapa-siapa, kita ini kecil , menundukkan ego nafs, dan menundukkan tentaranya, yaitu setan. Kita ini semu. Akan kembali kepada-Nya. Hancur di dalam tanah. Dan, dengan sendirinya, ketika membutuhkan orang lain, yaitu guru, kita sudah berangkat di titik pertama, dengan mengalahkan ego kita sendiri, di samping menambah silaturrahim. Maka mengambil jalan dan mengikuti Kanjeng Nabi, haruslah ingat al-‘ulamā’ warathatu al-anbiyā. Maka, dalam mengambil ilmu wirid, yang dimaksud adalah ulama thariqat dan yang ahli ijazah untuk itu, bukan ahli aqwal. Perkara ada orang digelari ulama yang begini dan begitu, itu soal lain. Semoga Allah memberkahi kita dan anak-anak kita dengan selalu ingat kepada-Nya.

Kyai Nur Kholik Ridwan

Murid Qadiriyah Naqshabandiyah Shathariyah, Dzikrul Ghafilin dan Ratib al-Haddad.

Anggota Pengurus Pusat Rabithah Ma’ahid Islamiyah Nahdlatul Ulama (PP RMI-NU).

Leave A Reply

Your email address will not be published.