The news is by your side.

Pendidikan Berbasis Pesantren

Pendidikan Berbasis Pesantren | NU Online LTN Nahdlatul Ulama Jawa Barat

Oleh: Ahyar Ahmad Sirojuddin

Dalam kerangka usaha memberdayakan para generasi muda bangsa, pendidikan dituntut mampu mengembangkan secara dinamis terhadap perubahan dan perkembangan yang terjadi, khususnya di masyarakat. Dalam hal ini, pendidikan bukan hanya terfokus tehadap perkembangan intelegensia atau soal kemajuan kognitif semata, melainkan harus terfokus pula terhadap pembentukan kepribadian yang kreatif, proaktif dan mandiri di dalam kehidupannya. Terlebih dalam menghadapi persaingan secara global.

Di dalam pasal 3 UU dinyatakan dengan jelas tentang fungsi dari pendidikan Nasional yaitu:

Pendidikan Nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan dan bertaqwa kepada Tuhan yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap kreatif, mandiri, dan menjadi warga Negara yang demokratis serta bertanggung jawab.

Dalam hal ini, pemerintah membentuk berbagai lembaga pendidikan baik secara formal maupun pendidikan non formal. Pemerintah pun membantu pendidikan yang diselenggarakan secara swadaya masyarakat seperti pondok pesantran, pengajian dan lain sebagainya.

Dalam implemantasinya pelaksanaan pendidikan pesantren sesuai dengan kebijakan, antara lain; pertama, intruksi presiden (INPRES) nomor 1/1994 menegaskan; “satuan pendidikan yangn dikenal sebagai pesantren dimungkinkan menyelenggarakan program pendidikan daras tersendiri yang penyetaraannya dengan pendidikan dasar disetujui oleh Mentri pendidikan dan Kebudayaan”. Kedua, kesepakatan bersama Menteri pendidikan nasional dan Menteri Agama Nomor; I/UX.B/2000 dan Nomor; M/86/2000, tentang “pondok pesantren Salafiyah sebagai pola wajib belajar pendidikan dasar”. Ketiga, surat keputusan bersama Dirjen Dikdasmen dan Dirjen Lembaga Islam, Nomor; E/83/2000 dan Nomor; 166/C/kep/DS/2000, tentang “pedoman pelaksanaan pondok pesantren Salafiyah sebagai pola wajib belajar pendidikan dasar”. Dengan pemberlakuan undang-undang nomor: 2/1989 dan undang-undang nomor; 20/2003 tentang sistem pendidikan nasional. Kebijakan-kebijakan ini merupakan landasan hukum bagi pendidikan pesantren sebagai penyelenggara pendidikan keagamaan dan juga pendidikan umum.

Menyoal tentang pendidikan Pesantren, menurut Ayung D, (2007: 1301) bahwa kehadiran peasntren sebagai lembaga pendidikan Islam yang berada di tengah-tengah masyarakat Indonesia merupakan produk kultur yang menghasilkan produk kultural yang tidak saja tercermin dalam cara hidup para santri dan keseluruhan aktivitas kelembagaan, tetapi juga pada masyarakat lingkungannya dalam arti luas. Sebagai lembaga sosial keagamaan, sejak awal pertumbuhannya, aktivitas pesantren ini dilandasi oleh suatu sistem nilai dan tata nilai yang menjadi dasar acuan. Namun tata nilai ini dari waktu ke waktu berubah-ubah lantaran perubahan pemahaman dikalangan para pengasuh pesantran dalam menanggapi situasi yang baru, atau juga karena berbagai faktor yang datang dari luar.

Perubahan-perubahan tata nilai itu memungkinkan terjadinya perubahan dalam tatanan dan prilaku sosial diantara berbagai unsur yang berkaitan dalam proses pendidikan, terutama dengan kegiatan yang berkaitan dengan sistem pendidikan yang dianut.

Semua perubahan itu tidak terlepas dari upaya peningkatan mutu serta upaya mempertahankan eksistensinya ditengah-tengah masyarakat, sejalan dengan tuntutan dan tantangan yang datang dari luar terhadap produk-produk pesantren. Hanya saja seberapa jauh perubahan-perubahan tata nilai dan prilaku dalam pesantren itu pun sangat tergantung pada kemauan dan kemampuan para pimpinannya dalam menanggapi tuntutan masyarakat dan seberapa besar komitmen mereka terhadap tata niali yang menjadi bahan acuan pendidikan selama ini.

Sekarang ini, pesantren memperkenalkan berbagai keterampilan, Daulay (2007:26) memperkenalkan tiga “H” kepada para santrinya. H pertama, head artinya kepala, maknanya mengisi otak santri dengan ilmu pengetahuan. H kedua, heart artinya hati, maknanya megisi hati santri dengan iman dan taqwa, dan H ketiga, hand artinya tangan. Dari ketiga hal tersebut, tentunya pesantren diharapkan mampu mengsilkan para generasi Agama dan bangsa yang berkualitas secara pemikiran, hati, dan keterampilan.

Dalam perkembangannnya, kini perlahan pendidikan pesantren banyak yang membuka diri dan merespon positif terhadap perubahan-perubahan yang terjadi dalam mempertahankan eksistensinya ditengah masyarakat, meskipun masih banyak pula pesantren-pesantren yang menolak terhadap adanya perubahan dan lebih mengikuti pemahaman tekstual, asli (tradisional).

Pesantren yang sudah terpengaruh dengan pola pendidikan modern, arti tekstualnya telah diimbangi oleh pemahaman-pemahaman kontekstualnya. Perkembangan seperti ini cukup kondusif untuk menopang inovasi, apalagi dikaitkan dengan usaha-usaha untuk membuktikan kebaikan inovasi itu sendiri di dalam sistem kehidupannya masyarakatnya. Sesi keterpaduan itu mengindikasikan bagaimana suatu ide atau praktek baru dapat dikembangkan dalam kurikulum untuk membawa perubahan-perubahan yang membawa kepada perbaikan atau peningkatan mutu lulusan pesantren. Ayung D, (2007:1320).

Di antara perkembangan dan tantangan modernitas itu adalah, pesantren dihadapkan pada persoalan kemasyarakatan, dan dituntut untuk mampu menyelesaikannya. Azyumardi Azra misalnya, mencontohkan pesantren Suryalaya Tasik Jawa Barat yang melakukan praktek penyembuhan narkoba dengan pendekatan keagamaan. Azyumardi Azra juga mencontohkan fenomena pesantren yang harus tanggap menghadapi globalisasi dengan cara mendirikan pendidikan tinggi. Menurutnya, baru ada beberapa pondok pesantren yang menyelenggarakan pendidikan tinggi, seperti: pondok pesantren Gontor dengan Institut Pendidikan Darussalamm dan Ponpes Tebuireng jombang dengan Universitas hasyim Asy’arinya. Kebanyanyakan pesantren, menurutnya, hanya menyelenggarakan pendidikan tingkat Ibtidaiyyah, tsanawaiyyah, dann ‘Aliyyah. Azyumardi Azra (1998: 97 dan 103).

Dalam pertumbuhannya, pondok pesantren telah mengalami beberapa fase perkembangan. Hasil penelitian LP3S Jakarta, seperti yang dikutip oleh nawawi, telah mencatat 5 macam pola fisik Pondok pesantren sebagai berikut:

  1. Pondok pesantren yang hanya terdiri dari masjid dan rumah kiai. Pondok pesantren seperti ini masih bersifat sederhana sekali, di mana kiai masih mempergunakannya untuk tempat mengajar, kemudian santri hanya datang dari daerah sekitar pesantren itu sendiri.
  2. Pondok pesantren selain masjid dan rumah kiai, juga telah memiliki pondok atau asrama tempat menginap para santri yang datang dari daerah-daerah yang jauh.
  3. Disamping memiliki pola tersebut di atas dengan menggunakan sistem weton dan sorogan, pondok pesantren ini telah menyelenggarakan sistem pendidikan formal seperti madrasah.
  4. Selain pola-pola di atas, pesantren telah memiliki tempat untuk pendidikann keterampilan, seperti peternakan, perkebunan dan lain-lain.
  5. Di samping memiliki pola keempat tersebut, terdapat bangunan-bangunan seperti; perpustakaan, dapur umum, ruang makan, kantor administrasi, toko dan lain sebagainya. Pondok pesantren tersebut telah berkembang atau bisa juga disebut pondok pesantren pembangunan. Nawawi: (2006: 5).

Dari uraian di atas, dalam perkembangannya beberapa pondok pesantren telah memiliki ciri khas dalam bidangnya masing-masing, dan terus mencari bentuk mengembangkan polanya menyesuaikan dengan alur perkembangan yang terus mengalami pertumbuhan.

Sebagaimana penelitian disertasi terdahulu, yang membahas tentang “Manajeman Pendidikan pesantren dalam Membina dan mewujudkan Sikap dan Keterampilan kewirausahaan Santri (Studi Kualitatif pada Pesantren Darunnanjah DKI Jakarta dan al-Asariyah Nurul Iman Bogor parung jawa Barat)”.

Berasumsi dari peneliti sebelumnya, dengan fokus penelitian yang sama, akan tetapi objek penelitian yang berbeda. Peneliti dalam pembahasannya akan lebih bersifat eksplikatif yaitu memperluas pemabahsan, dari pembahasan peneliti sebelumnya.

Sebagai contoh, PP al-Ittifaq Ciwidey, Bandung, Pengelolaan pondok pesantren ini, meskipun dalam perkembangannya mengalami perubahan, akan tetapi tetap mempertahankan trdisi-tradisi lama yang dianggap masih relevan (al-Muhâfazah ‘ala qodim sha-lih), kemudian mengamabil dan mengembangkan pola-pola baru (al-Akhdzu bil jadidil ash-lah).

Pengkajian kitab-kitab kuning (kitab berbahasa arab yang di tulis oleh para ‘ulama abad pertengahan) secara berjenjang misalnya, ini merupakan tradisi lama yang digunakan di pesantren tersebut hingga sekarang, dan penambahan program-program baru yang diterapkan sekarang adalah adanya sekolah formal yang di peruntukkan bagi santri-santri yang ingin mengikuti pelajaran-pelajaran umum secara formal, selain pelajaran-pelajaran di pesantren.

Selain dibekali ilmu-ilmu keagamaan dan pengetahuan umum, para santri dibekali pula keterampilan-keterampilan individu, dengan menyediakan lahan bagi para santri untuk bercocok tanam, berkebun, mebudidayakan hewan ternak, dan lain sebagainya.

Secara khusus pesantren ini, pengelompokkan santrinya menjadi dua kategori, yaitu; pertama: santri salaf yang tidak mengkuti pendidikan secara formal di sekolah umum. Kedua: santri khlaf yang mengikuti pendidikan secara formal selain mereka juga mengikuti pembelajaran di pesantren. Pembagian dan penamaan dua kategori santri ini sesuai dengan yang jelaskan oleh Zamakhsari Dhofier: (1982: 41) bahwa pesantren terbagi menjadi dua kategori, yaitu kategori salaf dan kategori khlaf. Pesantren salaf ini merupakan tipe mengajarkan kitab-kitab Islam klasik sebagai inti pendidikan, dengan menerapkan sistem pendidikan madrasah untuk memudahkan sistem sorogan dan tanpa mengenalkan pelajaran umum. Sedangkan pesantren khlafi telah memasukan pelajaran umum dalam madrasah yang dikembangkan atau membuat tipe sekolah umum di lingkungan pesantren.

 

Kiai berperan aktif sebagai agen perubahann sosial,sehingga posisi kiai dalam pesantren sangat besar dalam masyarakat. Peran kiai dalam mendidik santrinya untuk memiliki sikap dan keterampilan wirausaha salah satu cara yang digunakan yaiut dengan menjadikan contoh dirinya yang sedang menjalankan bisnis berbasis Islam. Tugas utama sebagai pemimpin selain memotivasi uga harus mampu melayani kebutuhan dari dari pihak yang dipimpinnya, karena hakikat dari memmimpin itu adalah melayani atau memfasilitasi yang dipimpinnya. Allah berfirman dalam al-Qur’an surah al-Qashas:77, berbunyi:

“dan carilah pada apa yang  telah dianugrahkan Allah kepadamu (kebahagiaan) negeri akhirat, dan janganlah kamu melupakan bagianmu dari (kenikmatan) duniawi dan berbuat baiklah (kepada orang lain) sebagaimana Allah telah berbuat baik kepadamu, dan janganlah kamu berbuat kerusakan di (muka) bumi. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berbuat kerusakan.”

Berdasarkan ayat tersebut, Rasulullah bersabda: a’mal lidunyaka ta’isyu abada wa mal liaakhiratika tamutu ghadaa. Beramal untuk duniamu seolah-olah kamu akan hidup selam-lamanya, dan beramal untuk akhiratmu seolah-olah kamu akan mati esok. Dari ayat dan hadist tersebut menjadi landasan teologis yang digunakan dalamm penelitian ini sebagai landasan yang berhubungan dengan kepemimpinan Nabii Muhammad yang penuh dengan nilai-nilai ketauladanan.

Demikinlah, dalam perkembangannya persantren-pesantren yang ada pada saat ini telah banyak mengalmi perubahan-perubahan positif sesuai dengan tuntunan masyarakatnya. Dengan demikian pesantren  semoga bisa menjadi salah satu solusi dari berbagai problem di masyarakat khususnya dalam menyiapkan genarasi bangsa yang mandiri, kreatif inovatif, dan memiliki jiwa kepemimpinan sesuai dengan apa yang dicontohkan Rasul kepada ummatnya. Dengan mengusung tabligh, amanah, fathonah, dan juga memilki sifat kejujuran yang tinggi yaitu Siddiq. Amin!

Leave A Reply

Your email address will not be published.