The news is by your side.

Problematika Pendidikan Agama Islam

Oleh Suwendi

Problematika Pendidikan Agama Islam | NU Online LTN Nahdlatul Ulama Jawa BaratKementerian Agama RI melalui Keputusan Menteri Agama Nomor 42 Tahun 2016 tentang Organisasi dan Tata Kerja (Ortaker) Kementerian Agama membuat salah satu unit kerja baru di lingkungan Direktorat Jenderal Pendidikan Islam, yakni lahirnya Sub Direktorat Pendidikan Agama Islam pada Perguruan Tinggi Umum (Subdit PAI pada PTU) pada Direktorat Pendidikan Agama Islam (Dit. PAI). Selain Subdit PAI pada PTU, dalam Ortaker tersebut tetap mempertahankan Subdit PAI untuk mulai jenjang usia dini, pendidikan dasar dan pendidikan menengah, yakni Subdit PAI pada PAUD, Subdit PAI pada SD, Subdit PAI pada SMP, dan Subdit PAI pada SMA.

Hanya saja, Subdit PAI pada SMK yang sebelumnya tersendiri kini melebur dengan Subdit PAI pada SMA. Kelahiran Subdit-subdit ini hendaknya patut dilihat dalam konteks bahwa Kementerian Agama terus berikhtiar secara serius dalam memberikan pelayanan atas pembelajaran terhadap mata pelajaran Pendidikan Agama Islam (PAI) mulai dari pendidikan anak usia dini, pendidikan dasar dan menengah hingga jenjang pendidikan tinggi.
Layanan PAI yang dilakukan oleh Kementerian Agama ini tunduk pada Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 55 tahun 2007 tentang Pendidikan Agama dan Pendidikan Keagamaan. Sebagaimana dijelaskan dalam pasal 1 peraturan itu, pendidikan agama merupakan “pendidikan yang memberikan pengetahuan dan membentuk sikap, kepribadian, dan keterampilan peserta didik dalam mengamalkan ajaran agamanya, yang dilaksanakan sekurang-kurangnya melalui mata pelajaran/kuliah pada semua jalur, jenjang, dan jenis pendidikan”.
Sementara pada pasal 3 ayat (1) disebutkan bahwa “setiap satuan pendidikan pada semua jalur, jenjang, dan jenis pendidikan wajib menyelenggarakan pendidikan agama”. Ayat (2) menyatakan “Pengelolaan pendidikan agama dilaksanakan oleh Menteri Agama”. Atas dasar peraturan itu, Kementerian Agama memiliki tugas pokok dan fungsi (tupoksi) yang sangat strategis dalam membekali seluruh siswa pada sekolah dan mahasiswa pada perguruan tinggi umum untuk mampu mengamalkan ajaran agamanya dengan baik.
Sungguh pun demikian, tampaknya PP 55 tahun 2007 ini cenderung belum dijadikan landasan atau dasar kebijakan umum dalam pengelolaan pendidikan, termasuk di lingkungan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) dan Kementerian Riset dan Teknologi dan Pendidikan Tinggi (Kementristek-Dikti). Hal ini ditandai, misalnya, terdapatnya tumpang tindih dalam pengelolaan pendidikan agama, baik di tingkat Kemendikbud maupun Kementristek-Dikti. Pengelolaan yang dimaksud di antaraya adalah penetapan kebijakan yang terkait dengan kurikuler PAI, pengangkatan dan penempatan guru/dosen PAI serta pengadaan buku ajar PAI.
Di sisi yang lain, sejauh ini untuk jenjang pendidikan dasar dan menengah misalnya,Dit. PAI telah menetapkan sejumlah rambu-rambu penyelenggaraan PAI dan sejumlah layanan lainnya. Atas kondisi ini, tumpang tindihnya pembinaan PAI di lapangan sangat mudah ditemukan. Jika tumpang tindih itu dilakukan secara serius, pada sisi tertentu, maka akan semakin kuatnya penyelenggaraan PAI. Akan tetapi, jika tumpang tindih itu dilakukan dengan setengah hati, tanpa koordinasi dan pembagian yang jelas, pada sisi yang lain, justeru akan melemahkan penyelenggaraan PAI itu sendiri.
Belum lagi untuk penyelenggaraan PAI untuk Perguruan Tinggi Umum, yang cenderung masih menyisakan problem yang sangat beragam. Aspek kebijakan, akademik, teknis, maupun penyelenggaraan PAI pada unit-unit kampus PTU cenderung menunjukkan fenomena problem “gunung es”. Tentu, kondisi demikian ini merupakan tantangan tersendiri yang harus segera diselesaikan secara cepat, tepat,  dan efektif.
Padasisi lain, persoalan PAI pada layanan pendidikan umum ini cenderung perlu mendapat perhatian serius dari semua pihak, baik pemerintah, penyelenggara lembaga pendidikan, dan masyarakatluas, terutama terkait gejala mutakhir yang menyedot perhatian masyarakat luas, yakni menguatnya pemahaman dan gerakan radikal pada pendidikan umum. Penelitian bertajuk “Guru Agama, Toleransi, dan Isu-isu Kehidupan Keagamaan Kontemporer di Indonesia.” yang dilakukan oleh PPIM (Pusat Pengkajian Islam dan Masyarakat) UIN Jakarta 2016 menunjukkan temuan bahwa 78 persen guru agama sebagai responden itu setuju jika Pemerintah RI berdasyarkan syariat Islam dan 77 persen responden mendukung organisasi-organisasi yang memperjuangkan syariat Islam.
Bahkan, 82 persen responden setuju dengan pernyataan bahwa Pancasila dan UUD 45 sesuai dengan Islam. Meski setuju demikian, kebanyakan dari 82 persen guru PAI yang menjadi responden tersebut, memiliki aspirasi mengislamkan atau mensyariahkan hukum-hukum Indonesia. Adapun 18 persen lainnya menyatakan tidak setuju dan wajib hukumnya mengubah Indonesia menjadi negara Islam (khilafah islamiyah). Sebagian dari 18 persen responden tersebut meyakini bahwa Indonesia dapat diubah ke sistem khilafah melalui jalan pemberontakan, perlawanan, peperangan dan terorisme.
Penelitian yang dilakukan Lembaga Kajian Islam dan Perdamaian (Institute for Peace and Islamic Studies) tahun 2010 dengan responden sebanyak 2.639 guru PAI pada SMA/SMK dan 611.678 siswa/siswi SMA/SMK yang diajarinya di wilayah Jabodetabek menunjukkan hasil sebagai berikut. Pertama, pada aspek organisasi radikal, dari 66.4 persen guru yang mengenal organisasi radikal, ternyata ada 23,6 persen mereka setuju terhadap apa yang dilakukan oleh organisasi radikal itu. Sementara dari 25,7 persen siswa/siswi SMA/SMK yang mengenal organisasi radikal, ternyata ada 12,1 persen mereka menyetujui agenda-agenda organisasi radikal itu.
Kedua, pada asepek sang tokoh radikal, dari 59,2 persen guru yang mengenal tokoh radikal itu ternyata 23,8 persen di antaranya setuju dengan yang dilakukan sang tokoh radikal. Dari 26,8 persen siswa/siswi SMA/SMK yang mengenal tokoh radikal ternyata 13,4 persen di antaranya mereka setuju terhadap yang dilakukan oleh sang tokoh radikal.Penelitian ini menunjukkan bahwa baik dari guru PAI maupun siswa/siswi SMA/SMK di Jabodetabek yang mengenal terhadap organisasi radikal dan tokohnya itu separuhnya mereka menyetujui terhadap agenda dan apa yang dilakukan oleh organisasi dan tokoh radikal itu.
Hasil penelitian Balitbang Kementerian Agama RI berjudul “Penelitian Pembelajaran Pendidikan Agama Islam di Perguruan Tinggi Umum” tahun 2015 menunjukkan bahwa Peran dan fungsi PAI di Perguruan Tinggi umum lebih banyak dilakukan oleh organisasi-organisasi kemahasiswaan dan organisasi kemasyarakatan dibandingkan dengan peran dosen PAI. Dikesankan fungsi dan tanggungjawab dosen PAI di PTU “telah diambil alih oleh organisasi kemahasiswaan maupun oleh organisasi kemasyarakatan yang ada di lingkungan kampus”, melalui berbagai tawaran kegiatan keagamaan yang dikoordinasikan oleh mahasiswa maupun ormas.Namun diakui, kegiatan-kegiatan keagamaan yang diselenggarakan oleh organisasi kemahasiswaan dan organisasi kemasyarakatan yang diikutinya lebih banyak mengembangkan ide-ide pemikiran radikal dan transnasional.
Penelitian di atas cukup memberikan fakta bahwa institusi pendidikan telah nyata diliputi fenomenaradikalisme secara kuat. Kenyataan ini hendaknya menjadi alarm dan lampu kuning bagi kita semua, baik oleh aparatur pemerintah maupun masyarakat, untuk menaruh perhatian serius terhadap layanan PAI pada sekolah dan PTU, termasuk bagi dosen PAI pada PTU. Dosen PAI pada PTU yang sementara ini mewakili sebagai kekuatan sumber daya manusia yang handal sekaligus agen perubahan (agent of change) dalam mengkonstruk masyarakat hendaknya memiliki kesadaran, keterampilan, serta kejernihan fikiran yang baik. Jangan sampe, dosen malah justeru malah menjadi bagian dari masalah radikalisme itu sendiri.
Dalam konteks KMA Nomor 42 Tahun 2016 tentang Ortaker Kementerian Agama, sejumlah problematika tata laksana kebijakan dan penyelenggaran PAI dan masalah radikalisme di lingkungan sekolah dan PTU menjadi sesuatu yang harus dijawab, utamanya oleh Dit. PAI. Direktorat dengan pola dan struktur kelembagaan yang baru, dengan melayani PAI dari PAUD hingga PTU, patut memberikan perhatian serius dan kontinyu dengan wujud kebijakan regulasi, rekognisi, dan regulasi yang maksimal. Semoga Kemenag, Kemendikbud, Kemenristek, penyelenggara lembaga pendidikan, dan masyarakat luas dapat berkontribusi dan bergotong royong dalam menyelesaikan sebagian dari problematika tersebut.
Penulis adalah Pengamat Pendidikan Islam.
Sumber : NU Online
Leave A Reply

Your email address will not be published.