The news is by your side.

Saat Identitas Muslim Digunakan Menyebar Hoaks

Saat Identitas Muslim Digunakan Menyebar Hoaks | NU Online LTN Nahdlatul Ulama Jawa BaratMenyebarnya berita bohong atau hoaks melalui jaringan media sosial menjadi keprihatian banyak pihak. Hanya dengan sentuhan jari, hoaks menyebar dari grup ke grup lainnya dan menjangkau ke seluruh pelosok negeri yang selanjutnya menimbulkan emosi negatif dari masyarakat. Dan yang lebih memprihatinkan lagi adalah kabar terbaru dengan tertangkapnya anggota jaringan Muslim Cyber Army (MCA) yang diduga merancang dan menyebarkan hoaks di dunia maya.

Penyebaran hoaks dan ujaran kebencian merupakan tantangan besar dalam dunia digital saat ini. Informasi hoaks bisa menimbulkan permasalahan sosial berupa konflik SARA. Bisa melahirkan pemimpin yang tak kompeten yang terpilih dengan menebar ketakutan kepada masyarakat. Bila ini terjadi, efek yang ditimbulkannya berjangka lebih panjang.

Identitas Muslim adalah sebuah nilai luhur yang di dalamnya tersandang moralitas tinggi yang harus dijaga dengan baik. Sayangnya, hal ini digunakan oleh orang-orang yang tak bertanggung jawab untuk menggolkan tujuannya, sekalipun dengan menghalalkan segala cara dan menimbulkan dampak buruk bagi pihak lain.

Konten hoaks yang disebarkan oleh MCA umumnya berisi kritikan kepada kebijakan pemerintah dengan melakukan distorsi dari informasi yang sebenarnya. Tujuannya untuk melakukan delegitimasi pada pemerintah. Mereka juga menyebarkan isu kebangkitan PKI untuk menimbulkan keresahan di masyarakat. Dengan demikian, akan menimbulkan kesan bahwa pemerintah tidak mampu memberi rasa aman masyarakat. Karena itu, mereka tidak layak untuk dipilih kembali. Dengan sikap seperti itu, sangat penting untuk ditelusuri lebih lanjut, apakah kelompok ini ada keterkaitan dengan kelompok politik tertentu, baik partai politik atau tokoh politik secara personal?

Sebagai negara yang menganut sistem demokrasi, kritik merupakan hal yang wajar sebagai mekanisme kontrol terhadap kebijakan pemerintah. Tetapi jika berita palsu disebarkan untuk menimbulkan keresahan masyarakat, tentu hal tersebut bukan cerminan dari kehidupan demokrasi yang baik. Upaya untuk mengganggu kebijakan-kebijakan pemerintah yang baik sehingga pemerintahan dianggap gagal oleh publik sehingga akhirnya pada pemilihan berikutnya tidak dipilih masyarakat dan digantikan oleh kelompoknya bukan cara yang etis dalam berpolitik.

Sebelumnya polisi telah menggulung kelompok Saracen yang juga menyebarkan kabar hoaks ke publik. Bahkan kelompok ini diduga memproduksi dan menyebarkan konten hoaks sebagai bisnis dengan pesanan dari pihak lain untuk menghancurkan kredibilitas kelompok lain. Polisi juga telah menangkap Jornu Ginting yang kini sedang dalam proses pengadilan karena diduga melakukan ujaran kebencian melalui media sosial.

Untuk melindungi masyarakat dari berita hoaks dan ujaran kebencian, pemerintah harus bertindak tegas. Langkah ini telah dilakukan oleh pemerintah Jeman yang telah menerbitkan UU baru. Dalam aturan baru ini, perusahaan media sosial yang tidak menghapus konten hoaks atau ujaran kebencian dikenakan denda sebesar 500 ribu uero atau setara dengan 7 miliar rupiah atas setiap informasi hoaks atau ujaran kebencian yang tidak dihapus selama 1X24 jam. Mereka menemukan, twitter hanya menghapus 1 persen konten ilegal, facebook 39 persen, sedangkan youtube mampu menghapusnya sampai 90 persen. Perusahaan harus ikut bertanggung jawab atas permasalahan sosial yang diunggah di laman berita (news feed) karena mereka juga mendapat miliaran dolar dari publik.

Aparat hukum juga harus bersikap adil dalam proses pengadilan penyebar konten ilegal. Jangan sampai karena mereka pendukung oposisi, mereka diperlakukan secara berbeda dengan penyebar hoaks tetapi bagian dari pendukung pemerintah. Rasa tidak adil yang tercipta di masyarakat akan menciptakan kebencian dan perlawanan. Mereka akan merasa bahwa apa yang selama ini dilakukan merupakan suatu kebenaran karena melawan rezim yang dzalim. Proses pengadilan yang jujur dan transparan akan membuktikan rasa adil yang dapat dirasakan atau tidak publik.

Dunia kini sudah banyak berbeda dengan sepuluh atau dua puluh tahun yang lalu akibat perkembangan teknologi yang sedemikian cepat, tetapi struktur sosial, cara berpikir, dan perilaku kita masih sebagaimana era sebelumnya. Akhirnya banyak di antara kita tergagap-gagap menghadapi perubahan tersebut. Banyak tokoh yang tidak kritis dalam menerima informasi di media sosial. Para pengikutnya, karena yang membagikan informasi adalah tokoh yang dianutnya, maka mempercayai informasi tersebut. Akhirnya kredibilitas tokoh tersebut ikut turun.

Dunia internet dengan akses informasi yang murah menyebabkan adanya tsunami informasi. Belum sampai kita mencerna informasi yang ada, sudah ada informasi baru yang datang. Akhirnya menjadi kebiasaan untuk tidak memahami informasi secara tidak utuh. Dari sinilah hoaks menyebar dengan gampang. Ini menunjukkan adanya tugas berat dalam melakukan literasi media.

Mendidik masyarakat bagaimana bersikap kritis terhadap informasi yang ada di dunia maya. Ini bukan hal yang mudah karena kecenderungan kita untuk menyebarkan informasi yang sesuai dengan pandangan tanpa membaca secara utuh atau melakukan pengecekan. Salah seorang mantan menteri komunikasi dan informatika saja harus meminta maaf kepada publik karena menyebarkan foto hoaks tentang pembantaian Muslim di Myamar. Bagaimana dengan warga biasa saja? Kemungkinan untuk melakukan kesalahan akan lebih besar. (Achmad Mukafi Niam)

Sumber : NU Online

Leave A Reply

Your email address will not be published.