Semangat Ramadhan dan Tabayun di Era Post-Truth
Oleh L. Tri Wijaya N. Kusuma
Menjalankan ibadah puasa Ramadhan tentunya kita sebagai warga Muslim telah memahami bersama makna dari puasa tersebut salah satunya adalah bagian dari ikhtiar menahan hawa nafsu. Tidak sedikit dari kita sebagai umat manusia pula yang menyadari bahwa salah satu nikmat Tuhan YME yang bernama hawa nafsu adalah dapat menjadi musuh terbesar dalam kehidupan kita sehari- hari. Ada pepatah yang mengatakan “Seribu kawan terlalu sedikit, tapi satu musuh saja kebanyakan”.
Walaupun mungkin kita dapat menaklukan beribu-ribu musuh sekalipun dalam puluhan bahkan ratusan kali pertempuran, namun sesungguhnya pemenang pertempuran yang sebenarnya adalah orang yang dapat menaklukan dirinya sendiri atas hawa nafsu yang cenderung negatif. Menaklukan diri sendiri terkait hawa nafsu jauh lebih baik daripada menaklukkan hal lain.
Dalam konteks kehidupan sosial bermasyarakat, kita dapat memahami hawa nafsu sebagai salah satu faktor yang jika tidak dapat dikendalikan dan bahkan berlebihan akan membawa dampak negatif. Dampak yang negatif itu bukan saja berimbas kepada diri sendiri tetapi juga kepada realita relasi kemanusiaan kita.
Jika kita mengamati dalam kehidupan sehari- hari saja, banyak ditemukan tanda dari seseorang yang memiliki perilaku yang didasari oleh hawa nafsu yang negatif dan berlebihan antara lain seperti mudah sekali tersinggung (atau bahasa millennialsnya “baperan”) bahkan menyalahkan orang lain, merasa tidak aman bila jabatan/posisinya terusik dan sebagainya.
Jika kita telaah kembali berdasarkan konteks kehidupan beragama khususnya Islam, manusia terbagi menjadi dua golongan. Pertama, yang berhasil dikuasai, dihancurkan, dan dikalahkan oleh nafsu sehingga tunduk di bawah perintahnya. Golongan kedua yang berhasil mengalahkan dan mengendalikan nafsunya, sehingga nafsu itu tunduk di bawah perintah dirinya.
Memang, nafsu selalu mengajak untuk melampaui batas dan lebih mengutamakan kehidupan dunia, sementara Allah SWT mengajak hambanya untuk takut kepadanya dan menahan diri dari keinginan hawa nafsu. Di dalam Al-Qur’an, Allah menyifati nafsu dengan tiga sifat: muthmainnah (tenang), lawwamah (pencela), dan ammarah bis-suu’ (penyuruh berbuat buruk).
Sehingga, baik secara kehidupan social maupun dalam konteks aturan dalam Al-quran bahwa manusia telah diberikan panduan agar mampu mengelola ego dan nafsu nya dengan baik dan benar. Celakanya, memasuki era Post-Truth justru manusi dengan ego dan nafsunya begitu liarnya melempar opini ke publik yang cenderung berdampak negatif.
Dampak di Era Post-Truth
Sudah banyak sumber atau literasi yang membahas apa dan bagaimana perilaku manusia di era post-truth. Salah satunya berdasarkan kamus Oxford, kata post-truth ditempatkan sebagai “Word of The Year” pada tahun 2016 karena kata tersebut begitu banyak digunakan oleh umat manusia, terlebih pada peristiwa terpilihnya Donald Trump sebagai Presiden Amerika Serikat dan keluarnya Inggris Raya dari Uni Eropa (Brexit).
Pada kedua momen itu, berita hoaks dengan sangat mudah disebarkan kepada masyarakat luas dan mempengaruhi opini publik. Indonesia sendiri mengalami dampak buruk dari era post-truth.Tanpa mengabaikan penyebaran hoaks pada masa sebelumnya, gempuran informasi hoaks bertaburan di media sosial selama 2-3 tahun terakhir, terutama ketika pilpres 2019 tahun ini.
Rakyat terpecah menjadi kubu-kubu yang saling serang, sindir dan lepmar opini di linimasa media sosial hanya berdasarkan informasi yang dapat dikatakan cenderung belum jelas sumber dan kebenarannya. Baru-baru ini kita pun disajikan drama hoax operasi plastik yang mampu menipu salah satu pasangan kontestan pilpres 2019.
Singkatnya, era post-truth adalah era di mana manusia hidup di dalam “kebohongan” dan menganggap hal tersebut tidak lagi sebagai masalah besar. Bisa dikatakan bahwa era post-truth melahirkan suatu informasi yang tidak jelas sumber dan kebenarannya yang membuat akal budi manusia kesulitan untuk melihatnya secara jelas.
Ruang publik masyarakat modern yang menjadi tempat manusia hidup tidak lagi kondusif untuk menyingkirkan “kebohongan” dan memeluk kebenaran. Pemahaman era post-truth semakin lama semakin kuat tertanam dalam diri setiap manusia tanpa batas negara ataupun kebudayaan, terlebih karena dibantu penyebarannya lewat media sosial dan internet.
Jika kita kembali lagi ke definisi awal sebagai golongan umat manusia, saat dimana memasuki era post-truth tersebut maka kita dapat asumsikan bahwa semakin banyaknya dari kita yang masuk pada manusia golongan pertama, yang berhasil dikuasai, dihancurkan, dan dikalahkan oleh nafsu sehingga tunduk di bawah perintahnya. Akibat dari hawa nafsu nya, banyak dari kita yang terseret arus untuk menyebar berita atau informasi yang belum jelas terbukti sumber dan kebenarannya.
Maka, sudah sepantasnya dalam bulan Ramadhan saat ini kita sebagai umat muslim memanfaatkan sebaik- baiknya untuk belajar lebih untuk menahan hawa nafsu. Selain itu pentingnya menerapkan nilai tabayun, kita ketahui bersama tabayun adalah sebuah ikhtiar untuk meneliti dan menyeleksi suatu berita, tidak secara tergesa-gesa dalam memutuskan suatu permasalahan baik dalam perkara hukum, kebijakan dan sebaginya hingga sampai jelas benar permasalahnnya, sehingga tidak ada pihak yang merasa terdzolimi atau tersakit. Tabayun sangat dibutuhkan di zaman yang penuh fitnah ini. Wallahu’alam
Penulis adalah Ph.D Candidate NCU Taiwan; Anggota PCINU Taiwan; Dosen di Universitas Brawijaya, Malang