The news is by your side.

Semangkuk Gulai dari Kiai Manshur Syaerozi

Semangkuk Gulai dari Kiai Manshur Syaerozi | NU Online LTN Nahdlatul Ulama Jawa Barat

Perjalanan kali ini ditemani oleh tamu istimewa asal jember, Cak Farid namanya. Dia seorang aktifis PMII Universtas Jember yang sedang mengadakan penelitian di Kantor PBNU dan Kantor Arsip Nasional Jakarta. “Cak sudah siap?” Tanya saya. “ Okey Siap, saya langsung pesan grab ke statsiun Citayam aja yah.” Jawab Cak Farid.

Rabu (9/8) saya, Cak Farid dan Kiai Hasan meluncur ke Statsiun Citayam. Alhamdulillah kereta sudah kosong, kami pun bisa menikmati duduk dengan penuh kenyamanan dan sepanjang perjalanan kami membicarakan banyak hal terkait fenomena gerakan para aktifis perdamaian dan alim ulama yang terdepan dalam menyampaikan dakwah ramah.

Tak terasa commuter yang membawa kami telah memasuki statsiun Pasar Minggu dan kamipun pada akhirnya harus turun dari kereta dan melangkahkan kaki keluar dari statsiun menuju ke sebuah terminal. “ Kang saya izin ke Arsip Nasional dan Besok langsung berangkat ke semarang, terima kasih atas jamuannya.” Lugas Cak Farid. “ sama-sama, hati-hati di jalan dan jika ke Jakarta lagi jangan lupa mampir ke Citayam.” Jawab saya.

Kami berpisah di terminal, kemudian naik angkot lagi dan menjalankan tugas menyampaikan sejarah kemuliaan Nabi Muhammad saw di sekitar Buncit Raya, Jakarta selatan. Acara kajian di akhiri dengan shalat dhuhur berjamaah dan makan siang.

Pukul 13.30 langsung menuju statsiun pasar minggu baru, sarung, batik NU dan kopyah nasional masih melekat di tubuh saya. Perjalanan kali ini bergerak ke arah statsiun Cikini. Beberapa menit kemudian suara speaker otomatis commuter menyatakan kereta memasuki statsiun yang dituju, saya pada akhirnya turun dan menuruni anak tangga statsiun menuju pintu keluar.

Teman saya menyatakan, jika ingin santai naik metromini saja! Saat itu ternyata metromini dan angkot wujudnya seakan tiada. Di bawah bangunan beton rel kereta hanya ada jajaran para tukang ojeg yang sibuk mencari penumpang sambil menawarkan jasanya. “ ustadz PBNU, PBNU yuk….ongkosnya murah ustadz.” Teriakan salah satu pengojek. Saya pun yang tengah sibuk menulis alamat PBNU di aplikasi grab akhirnya membatalkan. “ ke Kantor PBNU berapa?” Tanya saya. “ Rp. 10.000 aja ustadz.” Jawab tukang ojeg.

Akhirnya saya pun naik. Dalam perjalanan sedikit saya memulai obrolan, “ Bang, abang ko tahu kalau saya mau ke PBNU?” Tanya saya. “ Ustadz pakaiannya gaya santri, jadi saya tahu pasti mau ke kantor PBNU.” Jelas tukang ojeg. Obrolan hangat terus berlanjut terkait Ibu kota dll. Pada akhirnya tiba juga di depan Kantor PBNU jalan Kramat Raya, Jakarta.

Saat turun dari ojeg ternyata ada seorang Kiai yang saya kenal tengah berjalan menuju kantor PBNU, beliau bernama Kiai Muiz Ali Murtadha dan aktif di PBNU sebagai pengurus Lembaga Tamir Masjid, LTM PBNU. Saya langsung menghampiri Beliau, “ Assalamu ‘alaikum Kiai.” Ucapku sambil mengambil tangan kanan beliau dan menciumnya. “ Wa ‘alaikum salam, dari mana mau kemana?” Kiai menjawab salam dengan penuh kehangatan dan kembali bertanya. “ Saya dari Bogor Kiai, mau mengundang pegiat medsos, Kang Savic Ali.” Jawab saya.

Sambil ngobrol saya dan Kiai Muiz terus melangkah hingga masuk ke dalam lift bersamaan. “ Kiai saya mau mampir ke Kantor LTM juga.” Ucap saya. “ Kalau begitu, ayo kita ke lantai 4.” Ajak Kiai Muiz. Sampai di Lantai 4 langsung memasuki Kantor LTM PBNU, disana ternyata ada KH Manshur Syaerozi, Kang Ali Sobirin dan Suyanto. “ Assalamu alaikum.” Ucap saya sambil menghampiri mereka dan mencium tangannya. “ Wa ‘alaikum salam wr. wb.” Jawab hadirin yang berada di ruang LTM.

“ Dari mana nih?” Tanya Kiai Manshur. “Saya Abdul Hadi Hasan, dari Citayam, aktif di LTM PCNU Kab. Bogor.” jawab saya sambil memperkenalkan diri. Akhirnya saya duduk di sisi Kiai Manshur, dalam pertemuan itu saya ditanya banyak oleh Kiai. “ Jadi kamu tinggal di Citayam?” tanya Kiai Manshur memulai obrolan dengan penuh kehangatan. “ Saya tinggal di Garut, karena ada tugas ngajar di Pesantren jadi ya sementara nginap di Citayam.” Jawab saya.

“ Jadi selain di LTM, aktif dimana saja?” tanya Kiai Manshur. “ Saya aktif mengajar di Pesantren Al Awwabin Bedahan Kota Depok, juga di beberapa Majelis Taklim dan Musholla di sekitar Jakarta, Bogor dan Depok.” Jawab saya. Kiai Manshur nampak tertarik dengan aktifitas saya, pada akhirnya saya cerita berbagai macam pengalaman mengajar dan dakwah di beberapa kota.

“ Wah, bagus! Berkah. Kamu masih muda, teruslah aktif demi mencerdaskan bangsa.” Ucap Kiai Manshur memberikan semangat.

Saat itu salah satu sekretarisnya nampak sibuk menyiapkan makan sore ( disajikan ba’da ashar mungkin memang khusus menjamu tamu dari bandung). Beberapa mangkuk gulai daging kambing, dan Sop ikan nampak disiapkan di meja makan di mana kami asyik mengobrol terkait kemajuan LTM. Kebetulan saat itu ada Kang Suyanto, pengurus LTM PCNU Kota Bandung.

Kang Suyanto adalah Muharrik masjid teladan di Jawa barat, dia datang ke PBNU atas undangan Kiai Manshur. Sebelum menikmati makan sore, dia banyak menceritakan pengalamannya dalam menggerakkan Celengan Gismas, yang uangnya digunakan untuk kemakmuran masjid dan jamaah.

Semangkuk Gulai dari Kiai Manshur Syaerozi | NU Online LTN Nahdlatul Ulama Jawa Barat

“ Ayo makan, kalian pasti belum makan kan?.” Tanya Kiai Manshur sambil mempersilahkan. “ Terima kasih Kiai, Saya sudah makan Kiai.” Jawab saya.
“ Ayo makanlah, kita makan berjamaah, apa kamu tidak mau keberkahan, mari cicipi walau sedikit.” Ajak Kiai Muiz.

Akhirnya saya, Kiai Manshur, Kiai Muiz dan Kang Suyanto beserta satu pengurus LTM lainnya menikmati makan siang berjamaah. Saat makan beberapa kali Kiai Manshur dan Kiai Muiz menyendokkan daging dan ikan bagi saya dan Kang Suyanto. Sungguh semangkok gulai kambing yang nikmat dan berkah, betapa tidak ! Disajikan oleh Ulama, dan dinikmati di Kantor PBNU. Sungguh pengalaman yang luar biasa.

Makan sore saat itu mengingatkan kepada sejarah Rasul Saw yang mengajarkan segala hal terkait beragam aktifitas muslimin bilkhusus para Sahabat dan keluarga Rasul. Dalam kajian sejarah selalu dijelaskan bahwa Rasul Saw makan selalu berjamaah, mengajarkan makan Dengan kesederhanaan dan secukupnya serta menganjurkan makan sesuatu yang terdekat disisi kita.

Lepas makan, kami semua melanjutkan obrolan diiringi dengan candaan khas Kiai Manshur dan Kiai Muiz. Keduanya alim, bersahabat serta humoris, tapi dalam humornya menyimpan banyak pelajaran akidah dan akhlak aplikatif.

“ Kang Suyanto, umur berapa?” Tanya Kiai Manshur pada Muharrik Masjid yang duduk di samping saya. “ 29 Kiai,” Jawab Kang Suyanto. “ Sudah Nikah?” Tanyanya kembali. “ Belum!” Jawab Kang Suyanto. “ Kenapa belom, kamu belajar dan nikah disuruh siapa?” Tanya Kiai Manshur. “ Belajar disuruh Sama orang tua, nikah juga nanti disuruh oleh mereka.” Jawab Kang Suyanto.

“ Salah, Yang nyuruh Allah! Kalo Allah Yang memerintahkan justru kamu harus jalankan, harus yakin, semua kebutuhan juga akan terpenuhi dengan keberkahan.” Ucap Kiai Manshur sambil menasihati.

Kiai Manshur menasihati dan memberikan arahan dengan caranya sambil sesekali melepas tawa. Nasihat yang sarat makna dan berlandaskan akidah Aswaja Annahdliyah dilontarkan langsung mengena ke hati. “ Kita harus yakin, sama halnya ketika kita diberi amanah mengurus, memakmurkan masjid dan jamaahnya. Allah Maha Kaya dan Maha Kuasa, bergerak barokah.” Ucap Kiai Manshur dengan penuh ketegasan.

Sop, gulai dan nasi dalam mangkuk telah dinikmati hingga tak tersisa, obrolan terus berlanjut hingga terdengar suara muadzin mengumandangkan azan magrib. Akhirnya kita semua bergegas turun dari lantai 4 ke lantai dasar dan melaksanakan shalat magrib berjamaah di Masjid PBNU. Lepas shalat, saya pun pamit kepada Kiai Muiz karena harus melanjutkan tugas, bergerak ke arah Cempaka Putih, Jakarta.

Leave A Reply

Your email address will not be published.