The news is by your side.

“SUDURISME”, Makhluk apa itu ?

Oleh Kurnia P. Kusumah

"SUDURISME", Makhluk apa itu ? | NU Online LTN Nahdlatul Ulama Jawa Barat
Kurnia P. Kusumah

Dulu, Soekarno menggagas istilah “Marhaen” ideologi kaum nasionalis. Corak menonjol Marhaenisme adalah pemihakannya terhadap kaum miskin. Konon, Marhaen sendiri adalah nama petani miskin di bilangan Dayeuh Kolot, Bandung.

Namun para sejarawan meragukan “Marhaen” yang bukan nama orang dalam kenyataan sehari-hari, melainkan gabungan tiga nama ideolog; Marx, Hegel, dan Engel, disingkat “Mar-H(a)-En.” Ketiga tokoh inilah yang banyak menginspirasi gagasan besar Soekarno.

Saya sependapat dengan para ahli, Soekarno seorang komunikator ulung, piawai membuat simbol-simbol dan slogan-slogan demi meraih simpati massa. Misalnya, Soekarno dengan mudah mengganti nama “D.N.” Aidit menjadi Dwipa Nusantara Aidit. Padahal nama sebenarnya “Djafar Nawawi” Aidit. Begitu pula terhadap petani Marhaen. Saya kira nama sebenarnya bukan Marhaen, mungkin “Harmaen.”

Berada di belahan bumi mana pun nama seseorang selalu tidak tunggal, selalu ada orang lain menggunakan nama yang sama; misalnya, “Asep” di tatar Sunda atau “Ucok” di tanah Batak. Sedangkan “Marhaen”-nya Soekarno cuma seorang. Kita tidak akan menemukan Marhaen yang lain, di tempat lain. Kalau Harmaen, banyak. Lalu, siapa nama orang sebenarnya yang terkubur di balik batu nisan bertuliskan “Marhaen” di Dayeuh Kolot itu?

Soekarno telah merekayasa nama seseorang demi ideologi baru yang dibangunnya sendiri. Marhaenisme asli karangan Soekarno. Saya kira sah-sah saja membuat ideologi baru sepanjang memenuhi prinsip-prinsip ideologis; Marhaenisme diakui sejarawan, memenuhi prinsip ideologis dilihat dari ide-ide Soekarno yang logis, sistematis, relevan, bahkan melampaui zamannya dan yang lebih penting melekat di hati sanubari jutaan para pengikutnya.

Sudurisme ?

Siapa pun boleh, dan sah-sah saja membuat ideologi baru. Istilah “Sudurisme” belakangan ini ramai jadi viral. Konon di depan kata “isme” ada kata “Sudur” saya menduga merupakan paduan dua tokoh besar, Soekarno dan Gus Dur.

Sebagai gagasan, Sudurisme cukup menohok kepolitikan tanah air. Belum jelas benar apa makna di balik istilah itu, karena belum ada narasi yang tuntas di publik, sebuah “ideologi” yang boleh dibilang baru tayang.

Muncul di tengah masa pencalonan Presiden 2019, tampaknya si penggagas mau ngalap”berkah” dari nama besar dua tokoh, bukan sekedar mantan presiden, melainkan peretas ide-ide besar tentang keIslaman dan kebangsaan; Soekarno dan Gus Dur.

Jika ingin mengawinkan pikiran besar Soekarno dan Gus Dur, saya kira harus ada titik temu ide, gagasan dan cita-cita kedua tokoh tersebut. Titik temu itu salah satunya adalah adanya kesamaan pandangan; “nasionalisme” Soekarno dan “Pribumisasi Islam” Gus Dur. Kedua ide itu bisa bertemu dalam satu titik secara “kebetulan” (karena keduanya hidup berbeda zaman) sama-sama mengangkat pentingnya cinta tanah air.

Pribumisasi Islam adalah sebuah istilah yang pernah beredar 80-an yang dikembangkan Gus Dur. Bersama Nurcholis Madjid, Gus Dur mengangkat ide cinta tanah air, bahwa Islam bukan datang untuk menggeser budaya leluhur yang sudah mengakar diganti dengan budaya Arab. Menurut Gus Dur, kita hanya perlu menyerap ajaran Islamnya, bukan budaya Arabnya.

Nilai-nilai budaya yang berkembang di tanah air tetap harus dipertahankan. Cinta tanah air dalam wujudnya menjaga tradisi-budaya lokal, merupakan bagian tak terpisahkan dari ajaran Islam. Gus Dur melanjutkan, Islam datang bukan untuk mengganti “sedulur” jadi “akhi,” “kamu” jadi “antum,” “ibu” jadi “ummi.” Kita harus pertahankan milik kita. Inilah salah satu gagasan orisinil Gus Dur tentang cinta tanah air.

Mirip dengan Gus Dur, Soekarno mengangkat pentingnya cinta tanah air termuat dalam buku “Di Bawah Bendera Revolusi.” Soekarno mengatakan, “Kalau jadi Hindu, jangan jadi orang India. Kalau jadi Islam, jangan jadi orang Arab. Kalau jadi Kristen, jangan jadi orang Yahudi. Tetaplah jadi orang Indonesia dengan adat budaya Nusantara yang kaya raya ini.”

Soekarno dalam kesempatan lain juga mengecam keras tindakan semena-mena penjajahan. Istilah Soekarno yang popular “exploitation de’l homme par l’homme,” kemudian diubah menjadi “exploitation de’l nation par l’nation.” Slogan ini sering diteriakan di mana-mana untuk mengingatkan dunia, bahwa penjajahan suatu bangsa atas bangsa lain harus dihapus dimuka bumi. Inilah benang merah cinta tanah air Soekarno.

Cinta tanah air adalah titik temu, bahkan substansi yang harus diangkat, jika ingin memadukan pikiran Gus Dur dan Soekarno. Masih banyak lagi yang selaras dengan hal tersebut, namun yang lebih penting dan saya kira sangat sulit adalah bagaimana si penggagas mampu mengolah ide-ide gabungan menjadi ide baru yang orisinil, tetepi tidak ke luar dari konteks.

Beberapa waktu lalu, saya lihat tayangan videon script Cak Imin di grup WA, tengah pidato secara berapi-api tentang Sudurisme. Rupanya Cak Imin sang penggagas, berusaha meyakinkan publik tentang ideologi yang baru di launching-nya.

Saya perhatikan pidato Cak Imin sebagai Ketua Umum PKB dan calon wakil presiden 2019 itu tidak sedikit pun mengangkat pentingnya cinta tanah air, padahal di situlah substansinya. Bahkan cinta tanah air merupakan kredo perjuangan sehari-hari dikalangan NU, PKB, dan PDIP.

Sebagai sebuah ide dan gagasan, Sudurisme cukup unik dan sensasional di tengah keringnya idealisme rakyat saat ini. Akan tetapi, ide dan gagasan akan menjadi debu berterbangan jika si penggagas sendiri tidak mampu mendeskripsikan ide gagasannya sendiri, serta larut dalam pesona politik pragmatis menuju Pilpres 2019.

Wallohualam Bishowwab

Leave A Reply

Your email address will not be published.