The news is by your side.

Anakku, Engkau Sorgaku

Anakku, Engkau Sorgaku | NU Online LTN Nahdlatul Ulama Jawa BaratTiada satu orang keluarga pun berharap, anaknya menjadi penjahat, bahkan bakal menjuruskan ke neraka!
Salahkah seorang anak, bila mempunyai keinginan berbeda dengan orang tuanya ? Lalu model anak yang bagaimanakah yang menjadi idaman ? Adakah contoh yang ideal?

Pengajaran Luqman kepada anaknya

Meski hanya beberapa ayat yang disebutkan dalam al-Qur’an, namun sosok bapak ini begitu sohor kebajikannya. Pernyataan pertama:

وَلَقَدْ ءَاتَيْنَا لُقْمَـٰنَ ٱلْحِكْمَةَ أَنِ ٱشْكُرْ لِلَّهِ ۚ وَمَن يَشْكُرْ فَإِنَّمَا يَشْكُرُ لِنَفْسِهِۦ ۖ وَمَن كَفَرَ فَإِنَّ ٱللَّهَ غَنِىٌّ حَمِيدٌۭ

“… sesungguhnya telah Kami berikan hikmat kepada Luqman, yaitu: “Bersyukurlah kepada Allah. Siapa yang bersyukur (kepada Allah), maka sesungguhnya ia bersyukur untuk dirinya sendiri dan siapa yang tidak bersyukur, maka sesungguhnya Allah Maha Kaya lagi Maha Terpuji” (Luqman 31:12)


Follow Channel LTNNU Jabar di Whatsapp untuk mendapatkan update artikel terbaru. Klik Link ini >> Channel LTNNU Jabar


 

Jika pendidikan orang tua kepada anaknya sejak balita diajarkan tentang “syukur” tertanam, maka anak terus teringat hakikat dirinya sebagai mahluk, sehingga hilanglah sifat sombong dan muncullah sifat welas asihnya.

Benang merahnya, orang yang bersyukur adalah orang yang sedang melakukan kebaikan dan abai terhadap kelebihan dirinya. Sedangkan orang yang berbuat kebajikan adalah dirinya sedang membuat tempat yang nyaman di sorga. Sebaliknya, orang yg tidak tahu berterima kasih adalah sedang menempatkan dirinya pada kesombongan dan Tuhan tidak memerlukan manusia semacam itu.

Disebutan dalam al-Qur’an yang kedua:

وَإِذْ قَالَ لُقْمَـٰنُ لِٱبْنِهِۦ وَهُوَ يَعِظُهُۥ يَـٰبُنَىَّ لَا تُشْرِكْ بِٱللَّهِ ۖ إِنَّ ٱلشِّرْكَ لَظُلْمٌ عَظِيمٌۭ

“… (ingatlah) ketika Luqman berkata kepada anaknya, di waktu ia memberi pelajaran kepadanya: “Hai anakku, janganlah kamu menyekutukan Allah, sesungguhnya menyekutukan (Allah) adalah benar-benar kezaliman yang besar” (Luqman 31:13).

Tidak boleh berbuat kemusyrikan. Seorang ayah terang-terangan menekankan arti kehidupan yg lurus. Tuhan yang Esa menjadi tumpuan segala sendi. Tidak boleh memiliki Tuhan tandingan, meski dalam konsep dan ibadah. Apalagi dalam praktik mencari penghidupan.

Nasihat Luqman (anak Anqa ibnu Sadun) kepada anaknya (Saran) yang merupakan buah hatinya, maka wajar bila ia memberikan kepada orang yang paling dikasihinya sesuatu yang paling utama dari pengetahuannya.
Luqman menasihati pula anaknya agar berbakti kepada dua orang ibu dan bapak.

وَقَضَى رَبُّكَ أَلا تَعْبُدُوا إِلا إِيَّاهُ وَبِالْوَالِدَيْنِ إِحْسَانًا

“…Tuhanmu telah memerintahkan, supaya kamu jangan menyembah selain Dia dan hendaklah kamu berbuat baik pada ibu bapakmu dengan sebaik-baiknya” (Al-Isra 17: 23)

Al-Qur’an sering menyebutkan secara bergandengan antara perintah menyembah Allah semata dan berbakti kepada kedua orang tua.

Kedua orang tua adalah jalan kelahiran anak dan mereka yang diberi amanat oleh Allah terhadap anak yang dilahirkan.

وَوَصَّيْنَا الإنْسَانَ بِوَالِدَيْهِ حَمَلَتْهُ أُمُّهُ وَهْنًا عَلَى وَهْنٍ

“…Kami perintahkan kepada manusia (berbuat baik) kepada dua orang ibu bapaknya; ibunya telah mengandungnya dalam keadaan lemah yang bertambah-tambah” (Luqman 14)

Mujahid (dalam Tafsir ibn Katsir) mengatakan yang dimaksud al-wahn adalah penderitaan mengandung anak. Menurut Qatadah, adalah kepayahan yang berlebih-lebihan. Sedangkan menurut Ata Al-Khurrasani, lemah yang bertambah-tambah.

وَفِصَالُهُ فِي عَامَيْنِ

“…dan menyapihnya dalam dua tahun.” (Luqman 14)

Yakni mengasuh dan menyusuinya setelah melahirkan selama dua tahun, seperti yang disebutkan dalam ayat lain.

وَالْوَالِدَاتُ يُرْضِعْنَ أَوْلادَهُنَّ حَوْلَيْنِ كَامِلَيْنِ لِمَنْ أَرَادَ أَنْ يُتِمَّ الرَّضَاعَةَ

” Para ibu hendaklah menyusukan anak-anaknya selama dua tahun penuh, yaitu bagi yang ingin menyempurnakan penyusuan. ” (Al-Baqarah 233).

Berangkat dari pengertian ayat ini Ibnu Abbas dan para imam lainnya menyimpulkan, masa penyusuan yang paling minim enam bulan.

Sesungguhnya Allah menyebutkan jerih payah ibu dan penderitaannya dalam mendidik dan mengasuh anaknya yang karenanya selalu berjaga sepanjang siang dan malamnya. Hal itu tiada lain untuk mengingatkan anak akan kebaikan ibunya terhadap dia.

وَقُلْ رَبِّ ارْحَمْهُمَا كَمَا رَبَّيَانِي صَغِيرًا

Ucapkanlah, “Wahai Robb-ku, kasihilah mereka keduanya, sebagaimana mereka berdua telah mendidik aku waktu kecil.” (Al-Isra 24)

Oleh karena itu, diterangkan pula:

أَنِ اشْكُرْ لِي وَلِوَالِدَيْكَ إِلَيَّ الْمَصِيرُ

“Bersyukurlah kepada-Ku dan kepada dua orang ibu bapakmu, hanya kepada-Ku lah kembalimu” (Luqman 14).

Anak yang sukses dunia dan akhirat bukan milik orang tua yang bergelimangan harta dan jabatan yang tinggi. Boleh jadi dari keluarga sederhana, bahkan budak belian pun dapat mendulang kesuksesan. Seperti halnya dalam catatan sejarah, bahwa Luqman adalah semula budak dari Habasah yang kesehariannya adalah penggembala kambing. Ibn Katsir menulis dalam tafsirnya mengisahkan kehidupan Luqman yang manusia biasa, bukan nabi. Ibn Katsir juga menyebut, bahwa ada sebagian kalangan menganggap Luqman adalah kalangan ambiya.

Mengurai pendapat, bahwa Luqman bukan nabi, namun memperoleh kedudukan terhormat pada masa sebelum kenabian dan kerosulan Daud adalah karena Luqman jujur.

Luqman adalah seorang qadi di kalangan Bani Israil di masa Nabi Daud a.s. Ibnu Jarir mengatakan, bahwa Luqman adalah seorang budak berkulit hitam, berbibir tebal, dan bertelapak kaki lebar. Lalu ia kedatangan seorang lelaki saat sedang memberi kuliah di majelis orang banyak, maka lelaki itu bertanya kepadanya: “Bukankah kamu yang pernah menggembalakan kambing bersamaku di tempat anu dan anu?” Luqman menjawab, “Benar.” Lelaki itu bertanya, “Lalu apakah yang membuatmu menjadi seorang yang terhormat seperti yang kulihat sekarang?” Luqman menjawab, “Jujur dalam berkata dan diam tidak ikut campur terhadap apa yang bukan urusanku.”

Demikian lbn Katsir memaparkan riwayat Lukman. Benang merahnya adalah: mengajarkan pernyataan Lukman (a) jujur dalam berkata (b) diam, tidak mencampuri yang bukan urusannya.

Petuah orang tua kepada anaknya akan membekas, sama halnya nasihat seorang ibu saat anaknya pergi ke rantau: “nak, nanti kalau buru-buru ingin buang air besar, tapi tidak ada tempatnya, carilah batu kecil dan masukan ke kantong saku.” Anaknya pun mempercayainya dan mujarab, tidak jadi buang hajat. Adakah korelasinya?

Apalagi jika nasihat orang tua (disampaikan berulang-ulang) yang merupakan teladan dari Luqman, tentu akan diingat sepanjang masa.

“Kami berikan kepada Luqman hikmah” (31:12). Hikmah diurai dalam Tafsir Jalalayn antara lain ilmu, agama dan tepat pembicaraannya, serta kata-kata mutiara yang diucapkannya cukup banyak serta diriwayatkan secara turun-temurun.

Sebelum Nabi Daud diangkat menjadi rasul dia selalu memberikan fatwa dan Luqman sempat mengalami zaman kenabian Nabi Daud, kemudian ia meninggalkan fatwa dan menimba ilmu dari Nabi Daud. Luqman pernah mengatakan, “Aku tidak pernah merasa cukup, apabila aku telah dicukupkan.” Suatu hari Luqman ditanya seseorang, “Siapakah manusia yang paling buruk itu?” Jawabnya: “Dia adalah orang yang tidak mempedulikan orang lain yang melihatnya sewaktu mengerjakan kejahatan.”

Mutiara nasihat Luqman tersebut tepat, bila kedua orang tua membingkaikan kepada anak-anaknya, karena guru pertama bagi seorang anak adalah orang tuanya.

Disebutkan, bahwa

كُلُّ مَوْ لُودٍ يُولَدُ عَلَى الفِطْرَة فَأبَوَاهُ  يُهَوِّدَانِهِ أَوْ  يُنَصِّرَانِهِ أَوْ يُمَجِّسَانِهِ

“Setiap anak yang dilahirkan dalam keadaan fithroh (bertauhid), maka kedua orang tuanyalah yang menjadikan Yahudi, Nasrani, atau Majusi” (al-Bukhori, no.1384 dan lmam Muslim, no.2658, Hadits dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu).

Setiap anak yang baru lahir adalah fitroh. Pengertian fitroh berdasarkan al-Qur’an adalah “lahir dalam keadaan beragama Islam.”

فَأَقِمْ وَجْهَكَ لِلدِّينِ حَنِيفًۭا ۚ فِطْرَتَ ٱللَّهِ ٱلَّتِى فَطَرَ ٱلنَّاسَ عَلَيْهَا ۚ لَا تَبْدِيلَ لِخَلْقِ ٱللَّهِ ۚ ذَٰلِكَ ٱلدِّينُ ٱلْقَيِّمُ وَلَـٰكِنَّ أَكْثَرَ ٱلنَّاسِ لَا يَعْلَمُونَ

“… Hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada agama Allah, (tetaplah atas) fitrah Allah yang telah menciptakan manusia menurut fitrah itu. Tidak ada peubahan pada fitrah Allah. (Itulah) agama yang lurus, tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui” (Rum 30:30).

Dus, yang menyimpangkan anak dari Muslim menjadi kafir (Yahudi, Nasrani, dan Majusi) adalah orang tua. Orang tua secara berurutan: (a) kandung (b) lingkungan (c) sekolah. Faktor (a) adalah tanggung jawab sejak bayi dalam buaian dan ini juga yg sangat berharap, anaknya menjadi sholih. Apa jadinya jika tidak menanamkan dan menguhkan kembali “fitroh”-nya sebagai anak manusia. Allah menggambarkan dalam al-Qur’an macam-macam pilihan anak manusia dan konsekuensi logis dari orang tua terhadap nilai akhir perjuangannya. Apakah orang tua akan terseret ke neraka atau masuk sorga berkaitan dengan pendidikan anaknya? Tentu jika salah asuh, bagian nerakalah bagian akhirnya. Akan tetapi, bila betul asuhannya, sorga yang didapatkannya.

Dikisahkan pada zaman Bani Isroil, Nabi Musa mendapinya seorang anak lelaki sedang memandikan dua ekor babi, jantan dan betina. Nabiyullah itu memperhatikan dengan seksama, mulai dari menyiram, membersihkan, mengeringkan dgn kain, dan berakhir dengan menciuminya. “Hai fulan! Tahukah kamu, apa yang dikerjakan?” Tanya Nabi Musa. “Tahu Tuan, ini babi,” jawab anak lelaki itu. Nabi Musa mengatakan, bahwa memelihara babi itu kan haram. “Mengapa engkau malah memandikan dan menciuminya?”

Anak itu menjawab: “Betul, tapi ini sebenarnya kedua orang tua (yang karena dosa dapat kutukan) kami yang dikutuk demikian. Aku berbakti kepada orang tuaku dan taat pada Allah. Dahulu mereka mengajarkan nilai-nilai agama kepadaku sejak kecil, maka aku pun berbuat baik kepadanya. Akhir kisah itu, Allah mengembalikan wujudnya menjadi manusia.

Sebaliknya dalam kisah isro mi’roj, Kanjeng Nabi menjumpai orang tua yang sholih masuk neraka akibat anaknya yang tidak kenal agamanya.

Saat masih berjaya, orang tuanya tidak mendidik anaknya dengan benar. Dalih kasih sayang yang berlebihan, membiarkan apa saja yang dikerjakan anaknya tanpa larangan. Contoh kecilnya: tidak disuruh ke mesjid untuk sholat bagi yang laki-laki sedang dia ke mesjid dan banyak amalan sholihnya. Seakan-akan orang tuanya jalan sendiri menuju sorga. Sampai tetangganya berujar: “Pak Haji, mana putranya, saya belum melihat digandeng ke sini (mesjid)?” Dijawab dengan enteng: “lya, sedang sibuk belajar, sebentar lagi ujian sekolah.”

Waktu pun berlalu, setelah dewasa anak-anak tersebut lebih sering di luar rumah atau di kamar daripada datang ke mesjid.

Itulah pilihan orang tua dalam membesarkan putra-putrinya. Apakah kelak akan menjadi generasi robbi rodliya atau generasi milania yang berjibaku dgn kemaksiatan?

Ada lima pilihan yang akhirnya menjadi catatan akhir kehidupan.

1. UJIAN/ COBAAN HIDUP

Hidup adalah ujian, sehingga orang miskin dapat ujian, orang kaya dapat ujian, pejabat dapat ujian, rakyat dapat ujian, Anggota DPR juga kena ujian, dan presiden pun sebagai jabatan ujian.

Anak lahir tidak normal (punya kekurangan di mata manusia) sebagai ujian. Anak lahir cakep, juga ujian.
Ada ujian yang manyak mendekatkan diri kepada Allah, yaitu ujian yang bersifat kekurangan. Adakalanya ujian dengan kesenangan lebih cepat melupakan Tuhannya. Orang yang sedang diuji dengan kekurangan, maka mereka sering berdoa. Apa pun doanya!

Jadi anak adalah bagian dari ujian, maka harus dididik dengan benar, karena setiap anak memiliki potensi yg berbeda, sehingga yang mengerti bahasa tubuhnya adalah orang tuanya.

وَاعْلَمُوا أَنَّمَا أَمْوَالُكُمْ وَأَوْلَادُكُمْ فِتْنَةٌ وَأَنَّ اللَّهَ عِنْدَهُ أَجْرٌ عَظِيمٌ

“…ketahuilah, hartamu dan anak-anakmu itu hanyalah sebagai cobaan dan sesungguhnya di sisi Allah-lah pahala yang besar.” (Al-Anfal 28)

إِنَّمَا أَمْوَالُكُمْ وَأَوْلَادُكُمْ فِتْنَةٌ وَاللَّهُ عِنْدَهُ أَجْرٌ عَظِيمٌ

“Sesungguhnya hartamu dan anak-anakmu hanyalah cobaan (bagimu) dan di sisi Allah-lah pahala yang besar.” (at- Taghabun 15)

Orang tua hendaknya berhati-hati. Keindahan itu tidak boleh melalaikan. Kenikmatan memandang tidak boleh melalaikan dari tugas orang tua dalam mendidik anaknya.

Jika orang tua dikaruniai harta, utamakan nilai religius atau rohani daripada kesenangan jasmani. Pendidikan di sekolah umum tidak jamin mereka menjadi anak sholih, pendidikan religius lebih menjaminnya. Banyak fakta membuktikan, bahwa anak yang berkebutuhan khusus dapat lebih unggul daripada seorang anak yang keadaannya normal, sehingga orang tua jangan berkecil hati jika memiliki keluarga yang demikian. Bahkan ujian itu dapat mengantarkan ke sorga.

2. MAHLUK LEMAH

Meski setiap anak yang dilahirkan memiliki perjanjian suci dengan Allah, bahwa dia menerima Islam (agama fitroh) sebagai pegangan hidupnya, namun masih perlu bimbingan orang tuanya. Ia masih dalam keadaan lemah, walaupun anak yang baru dilahirkan menerima warisan harta triliunan atau langsung diangkat sebagai raja.

وَلْيَخْشَ الَّذِينَ لَوْ تَرَكُوا مِنْ خَلْفِهِمْ ذُرِّيَّةً ضِعَافًا خَافُوا عَلَيْهِمْ فَلْيَتَّقُوا اللَّهَ وَلْيَقُولُوا قَوْلًا سَدِيدًا

“…hendaklah takut kepada Allah orang-orang yang seandainya meninggalkan di belakang mereka anak-anak yang lemah yang mereka khawatir terhadap (kesejahteraan) mereka. Oleh sebab itu, hendaklah mereka bertakwa kepada Allah dan hendaklah mereka mengucapkan perkataan yang benar.” (An-Nisa’ 9)

Orang tua diminta agar memperhatikan benar generasi setelahnya. Tidak boleh hadir generasi lemah sepeninggal orang tuanya. Perhatian besar orangtua untuk meninggalkan segala hal yang membuat mereka kuat adalah merupakan kewajiban.

Kelemahan yang paling dikhawatirkan adalah dalam masalah keimanan, pemahaman agama, ibadah dan akhlak. Dus, disebut kemiskinan iman.

Para orang tua harus menyiapkan agama anak-anaknya. Karena pasti Allah akan menanyakan amanah itu kepada para orangtua.

Mengejar kedudukan di akhirat lebih mulia daripada mengejar kedudukan di dunia.

النَّاسُ أَرْبَعَةٌ
وَالْأَعْمَالُ سِتَّةٌ فَالنَّاسُ مُوَسَّعٌ عَلَيْهِ فِي الدُّنْيَا وَالْآخِرَةِ وَمُوَسَّعٌ لَهُ فِي الدُّنْيَا مَقْتُورٌ عَلَيْهِ فِي الْآخِرَةِ وَمَقْتُورٌ عَلَيْهِ فِي الدُّنْيَا مُوَسَّعٌ عَلَيْهِ فِي الْآخِرَةِ وَشَقِيٌّ فِي الدُّنْيَا وَالْآخِرَةِ وَالْأَعْمَالُ مُوجِبَتَانِ وَمِثْلٌ بِمِثْلٍ وَعَشْرَةُ أَضْعَافٍ وَسَبْعُ مِائَةِ ضِعْفٍ فَالْمُوجِبَتَانِ مَنْ مَاتَ مُسْلِمًا مُؤْمِنًا لَا يُشْرِكُ بِاللَّهِ شَيْئًافَوَجَبَتْ لَهُ الْجَنَّةُ وَمَنْ مَاتَ كَافِرًا وَجَبَتْ لَهُ النَّارُ وَمَنْ هَمَّ بِحَسَنَةٍ فَلَمْ يَعْمَلْهَا فَعَلِمَ اللَّهُ أَنَّهُ قَدْ أَشْعَرَهَا قَلْبَهُ وَحَرَصَ عَلَيْهَا كُتِبَتْ لَهُ حَسَنَةً وَمَنْ هَمَّ بِسَيِّئَةٍ لَمْ
تُكْتَبْ عَلَيْهِ وَمَنْ عَمِلَهَا كُتِبَتْ وَاحِدَةً وَلَمْ تُضَاعَفْ عَلَيْهِ وَمَنْ عَمِلَ حَسَنَةً كَانَتْ لَهُ بِعَشْرِ أَمْثَالِهَا وَمَنْ أَنْفَقَ نَفَقَةً فِي سَبِيلِ اللَّهِ كَانَتْ لَهُ بِسَبْعِ مِائَةِ ضِعْفٍ

Kedudukan manusia ada empat, sedangkan amalan itu ada enam. Manusia ada yang memiliki kelapangan di dunia dan juga di akhirat. Ada yang memiliki kelapangan di dunia, namun ia fakir di akhirat. Ada yang fakir ketika hidup di dunia, tetapi di akhiratnya ia mendapat kelapangan. Kemudian, ada juga yang sengsara di dunia dan di juga di akhirat. Sedangkan amalan itu yang mendapatkan ganjaran dua kali lipat, semisal amalan itu sendiri, ada yang dilipatkan hingga sepuluh kali dan ada juga yang dilipatgandakan menjadi seratus tujuh kali. Oleh karena itu yang pertama, siapa yang mati dalam keadaan Muslim dengan tidak menyekutukan Allah dengan sesuatu apa pun, maka wajib baginya surga. Siapa yang mati dalam keadaan kafir, maka wajib baginya neraka. Kemudian, siapa yang bertekad untuk berbuat kebaikan, namun ia belum sempat melakukannya, padahal Allah mengetahui bahwa hatinya telah memiliki keinginan keras untuk melakukan amalan tersebut, maka Allah akan menuliskannya sebagai amalan kebaikan. Siapa yang bertekat untuk melakukan kejahatan, maka hal itu belum sebagai suatu keburukan dan siapa yang melakukannya, baru akan ditulis baginya satu keburukan dan keburukan itu tidaklah dilipatgandakan. Siapa yang beramal kebaikan, maka kebaikan itu akan dilipatgandakan baginya menjadi sepuluh kebaikan. Kemudian, siapa yang mengeluarkan nafaqah di jalan Allah, akan dilipatgandakan baginya menjadi tujuh ratus kali”
(Musnad lmam Ahmad 18.260)

Kelemahan dalam fisik, kelemahan dalam jiwa dan mental yang mengakibatkan mereka hanya menjadi pecundang dan bukan seorang juara. Oleh karena itu, sejak dini anak-anak diberi wawasan sesuai dengan hadis di atas. Jika diperlukan konsultasikan kepada ulama.

3. MUSUH DUNIA & AKHIRAT

Na’udzubillah! Adakah jenis anak yang bakal demikian? Jangan sampai terjadi pada generasi dan negara ini berulang-ulang. Anak yang dari kecil salah didik atau salah asuh, dewasa semakin menjadi-jadi.

Berita di media massa, tayangan si media audiovisual, dan kabar dari medsos, cukup mengerikan. Tawuran antar-pelajar, pengeroyokan anak SMP oleh temannya yang SMA sama-sama perempuan, karena rebutan laki-laki. Anak menghabisi nyawa ibunya, dan berita serem lainnya. Allah telah mengingatkan manusia akan hal ini, sehingga hati2 menghadapi tantangan zaman. Jangan karena kekayaan, anak SD sudah diberi android. Jangan karena mampu, anak SMP diberikan motor untuk sekolah, sehingga sering terjadi pelanggaran lalu lintas. Belum saatnya memiliki SlM.

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا إِنَّ مِنْ أَزْوَاجِكُمْ وَأَوْلَادِكُمْ عَدُوًّا لَكُمْ فَاحْذَرُوهُمْ وَإِنْ تَعْفُوا وَتَصْفَحُوا وَتَغْفِرُوا فَإِنَّ اللَّهَ غَفُورٌ رَحِيمٌ

“Hai orang-orang Mukmin, sesungguhnya di antara isteri-isterimu dan anak-anakmu ada yang menjadi musuh bagimu, maka berhati-hatilah kamu terhadap mereka dan jika kamu memaafkan dan tidak memarahi serta mengampuni (mereka), maka sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (At-Taghabun 14).

Hilanglah sebagian besar kebahagiaan rumah tangga, karena hiasan itu kini hanya menjadi beban, penyebab ketakutan, kesedihan dan semua kesengsaraan kehidupan orangtua.

Anak yang nakal, durhaka, bodoh, menjatuhkan martabat keluarga. Saat itulah anak yang dulu diasuh siang dan malam, berubah menjadi musuh yang menyedihkan, menakutkan dan menyengsarakan.

Tentu andil besar adalah orang tua yang tidak mau memaksakan anaknya ngaji di mesjid. Tidak ada alasan kemiskinan untuk malu ke mesjid. Orang kaya pun jangan membiarkan para ustadz tidak bisa membeli kapur tulis untuk mengajari santrinya. Dorongan untuk berbuat jahat adalah akibat hubbuddunya wa karohyatil mawt.

4. SENANG DI DUNIA, MUSUH DI AKHIRAT

Sejak dari buaian penuh perhatian, sampai dewasa disiplin ketat, menuntul ilmu disediakan. Berbagai kursus dibiayai, kecuali kursus ngaji dan sholat. Dikarunia otak yang cerdas, fasilitas memadai, dan kasih sayang full. Akan tetapi, lupa fitrohnya sebagai manusia, sehingga dunia yang dikejar. Padahal dunia adalah perhiasan sementara.

زُيِّنَ لِلنَّاسِ حُبُّ الشَّهَوَاتِ مِنَ النِّسَاءِ وَالْبَنِينَ وَالْقَنَاطِيرِ الْمُقَنْطَرَةِ مِنَ الذَّهَبِ وَالْفِضَّةِ وَالْخَيْلِ الْمُسَوَّمَةِ وَالْأَنْعَامِ وَالْحَرْثِ ذَلِكَ مَتَاعُ الْحَيَاةِ الدُّنْيَا وَاللَّهُ عِنْدَهُ حُسْنُ الْمَآَبِ

“Dijadikan indah pada (pandangan) manusia kecintaan kepada yang diingini, yaitu: perempuan-perempuan, anak-anak, harta yang banyak dari jenis emas, perak, kuda pilihan, binatang-binatang ternak dan sawah ladang. Itulah kesenangan hidup di dunia dan di sisi Allah-lah tempat kembali yang baik (surga)” (Ali Imron: 14).

Setiap manusia pasti telah terhiasi hatinya dengan berbagai keindahan dunia tersebut. Hanya Allah menawarkan tempat kembali yang lebih baik di sisi-Nya dengan syarat tidak melupakan-Nya.

Anak-anak ibarat pelangi. Warna mereka yang berbeda-beda membuat suasana rumah menjadi begitu indah dipandang mata. Kehadiran mereka selalu dinantikan. Terlihat jelas di pelupuk mata orang tuanya pelangi itu, apalagi saat pelangi itu ada di tempat yang jauh, sehingga kerinduan pada anak-anak begitu membara.

Para orangtua siap untuk melakukan apa saja dan membayar berapa pun untuk mendapatkan keturunan.
Saat mereka dewasa, bahkan bergelimangan harta, orang tua dimanjakan dengan itu. Ibarat kata: mau jenis makanan yg termahal? Rumah yang supermewah? Kendaraan yang supercanggih?

Tour ke liling dunia bisa kapan saja dilalui. Semua dapat disiapkan oleh anak-anaknya, sebagai balas budi. Mereka lupa, ada yang kurang, yaitu ruang religi. Ruang religi dimabukkan oleh gelimangan harta, sehingga sesungguhnya kehidupan ibarat di ruang hampa, karena tanpa iman. Boleh jadi satu keluarga besar akan terseret ke neraka, akibat salah didik anak. Anak pandai, anak sukses, hanya sebatas dunia, nanti di akhirat tiada satu pun harta yang dibawa, kecuali kain kafan. Na’udzubillah!

5. PENGANTAR SORGA DUNIA & AKHIRAT

Inilah awal kehidupan yang baik dan diakhiri dengan kedudukan di sorga. Seharusnya pada posisi inilah anak-anak seorang Muslim. Orang tua sangat berharap, berdoa, dan berjuang sembari menghambakan diri kepada Robb-nya, sehingga perlawatan di dunia tidak sia-sia, seperti halnya Nabi-nabi Allah. Lihat Nabi Zakaria saat belum dikarunia anak, mendekat kepada Yang Maha Memberi anak.

هُنَالِكَ دَعَا زَكَرِيَّا رَبَّهُ قَالَ رَبِّ هَبْ لِي مِنْ لَدُنْكَ ذُرِّيَّةً طَيِّبَةً إِنَّكَ سَمِيعُ الدُّعَاءِ

“Zakariya berdoa kepada Robb-nya: “Wahai Robb-ku, berilah aku dari sisi Engkau seorang anak (keturunan) yang baik. Sesungguhnya Engkau Maha Mendengarkan doa.” (Ali Imron: 38)

وَالَّذِينَ يَقُولُونَ رَبَّنَا هَبْ لَنَا مِنْ أَزْوَاجِنَا وَذُرِّيَّاتِنَا قُرَّةَ أَعْيُنٍ وَاجْعَلْنَا لِلْمُتَّقِينَ إِمَامًا

“…orang orang yang berkata: “ya Tuhan kami, anugrahkan kepada kami isteri-isteri dan keturunan kami sebagai penyenang hati (kami), dan jadikanlah kami imam bagi orang-orang yang bertakwa” ( Al- Furqon: 74).

Tipe kelima ini merupakan hasil dari jerih payah orangtua. Setelah sekian lama dalam kesabaran tiada berujung, berjuang, berjibaku mendidik mereka. Saat usia telah senja, tulang telah rapuh, rambut telah putih, banyak keterbatasan, saat perlu bersandar, anak-anak yang baik itu benar-benar menyejukkan pandangan mata, menentramkan hati. Ibarat oase di tengah gurun sahara. Ibarat air sejuk bagi musafir yang telah lemas, karena dehidrasi. Anak yang berbakti. Anak yang mengerti hak orang tua. Meski belum dikarunia harta yang cukup, namun anak-anak mencoba kumpulkan untuk umrohkan orang tuanya. Bila hartanya memadai, anak-anak buatkan mesjid atas nama orang tuanya. Anak yang bisa mengangkat derajat orangtunya kelak di Surga Allah.
(A_mi_n)

Kesimpulan:

Jadikanlah anak-anak menjadi sahabat di dunia dan akhirat dengan cara mendidiknya dengan benar. Jangan terlalu dibebani dan jangan terlalu dimanjakan.

Ada pengalaman menarik cara mendidik anak sejak:

  1. Usia 4 th dimasukkan ke pondok pesantren tahfidz, usia 11 tahun hafal 30 juz. Saat usia ujian SD, ia pun dapat ijazah SD.
  2. Usia 12 tahun dimasukkan ke pondok pesantren hadist, sehingga selama 3 tahun dapat menghafal ribuan hadits. Saat ada ujian SMP, dia pun dapat mengikutinya.
  3. Usia 15 th seusia kelas 1 SMA, dia dimasukkan ke Ponpes yang membahas kitab-kitab klasik selama tiga tahun. Setamat itu, juga dapat ijazah SMA.

Anak usia 18 tahun memiliki ilmu:

  1. Hafal al-Qur’an 30 juz
  2. Hafal ribuan hadits
  3. Memahami berapa kitab klasik.

Jika langsung kerja, paling tidak, menjadi ustadz di pondok pesantren. Juga dapat meneruskan kuliah di Timur Tengah atau di Indonesia yang kini beberapa PTN elit menerima mahasiswa hafal al-Qur’an.

Konsep ini sulit dipraktikkan jika para orang tua keberatan ditinggal anaknya dalam waktu yang lama. Padahal meninggalkan orang tua untuk membangun rumah di sorga buat orang tuanya adalah hadiah terbesar dari seorang anak. (Allahu a’lam)

Leave A Reply

Your email address will not be published.