Bukti Kecerobohan Pengkritik Hadis
Suatu ketika, saya iseng membaca buku karya “minhum“, yang maksud isinya mengkritisi amaliah warga nahdliyin, ia memulainya dengan manganalisa dalil-dalil yang dipakai pijakan beramal oleh warga nahdliyin. Tujuannya sudah barang tentu mau mencari kelemahan dari dalil-dalil tersebut, dalam hal ini adalah hadis Nabi SAW., sudah barang tentu tujuan akhirnya ingin memvonis bahwasanya amaliah tersebut adalah miss landing, sehingga kemudian dengan mudah dapat dinilai bid`ah oleh mereka.
Namun sayangnya, setelah saya teliti lebih jauh, langkah kritis mereka dengan sendirinya tidak memiliki makna apa pun, karena ternyata banyak sekali ditemukan kesalahan-kesalahan analisa sebagai akibat kekurangfahaman mereka terhadap istilah-istilah teknis yang biasa dipakai oleh para ulama ahli hadis dalam menilai pribadi (jarh wa ta`dîl) para periwayat hadis (râwiy). Mereka hanya asal mengutip kemudian menerjemahkannya, tanpa tahu lebih jauh tentang apa maksud makna dari istilah penilaian tersebut.
Nah, dalam makalah kali ini, penulis akan menyinggung beberapa bukti yang menegaskan bahwa tindakan asal mengutip dalam melakukan penelitian terhadap kredibilitas seorang rawi dapat menimbulkan kekeliruan yang sangat fatal, ini terjadi ketika sang peneliti tidak mengindahkan penjelasan makna dari para ahli hadis, melainkan mengartikannya sendiri (dengan keterbatasan pengetahuannya) melalui alat definisi umum, sehingga istilah teknis tersebut mengalami pereduksian makna, yang pada akhirnya makna yang ditangkap oleh sang peneliti tidak sesuai dengan apa yang dimaksud oleh para nâqidl. Berikut contoh-contohnya:
- Pendaifan dari Abû Hâtim (w. 327 H) [1] secara menyendiri.
Ketika meneliti rawi yang bernama Dlamdlam bin Zur`ah al-Hadlramiy. Seorang peneliti yang ceroboh akan secara langsung menilai beliau sebagai rawi daif (dla`îf), dengan alasan bahwa Abû Hâtim telah men-jarh-nya dengan pernyataan daif.[2] Sayang hanya karena ia tidak paham terhadap sosok nâqid dalam timbangan para ahli lainnya, Ia kemudian apriori terhadap banyaknya nâqid lain yang justru men-ta`dîl Dlamdlam dengan sifat tsiqah.[3] Dan kaidah umum yang menyatakan bahwa jarh yang tidak dijelaskan (seperti dalam kasus ini) adalah tidak dapat diterima,[4] juga tak dihiraukannya.
Mengenai penilaian Abû Hâtim terhadap rawi secara umum, Imâm al-Dzahabiy (w. 748 H) memberikan catatan khusus sebagai berikut:
Apabila Abû Hâtim memuji seorang rawi, maka peganglah ucapannya, karena beliau tidak akan memuji seseorang kecuali dia itu orang yang sahih hadisnya. Namun apabila beliau menilai lemah, maka tangguhkan dahulu untuk melihat penilaian nâqid yang lain, apabila ada seorang nâqid yang justru memuji rawi tersebut, maka jangan diambil pencelaannya Abû Hâtim, disebabkan beliau terlalu keras dan kaku (muta`annit) dalam menilai seorang rawi.[5]
Pernyataan Imâm al-Dzahabiy, tentang ke-muta`annit-an Abû Hâtim tersebut dibenarkan pula oleh Imâm Ibn Hajar dalam mukadimahnya terhadap kitab Fath al-Bâriy,[6] serta oleh Imâm al-Laknâwiy,[7] juga oleh Dr. Mahmûd Thâhir.[8] Disebabkan dalam hal ini, terdapat bukan hanya seorang nâqid yang justru menilai Dlamdlam bin Zur`ah sebagai rawi yang tsiqah, melainkan banyak, di antaranya Imâm al-Hâkim memasukkan beliau ke dalam jajaran Imâm al-Tsiqât yang masyhur dari daerah Syam.[9] Bahkan nâqid keras sekaliber Ibn Ma`în (w. 233) pun turut memberikan penilaian tsiqah,[10] maka pencelaan Abû Hâtim tersebut tidak dapat dijadikan pegangan lagi, dan gugur dengan sendirinya. Di samping itu, ketika menilik kaidah yang telah disepakati oleh mayoritas ahli hadis, bahwasanya jarh yang tidak dijelaskan (ghayr mufassar) tidak dapat menggugurkan ta`dîl seorang rawi.[11] Maka penilaian Abû Hâtim di atas, sekali lagi tidak dapat dijadikan pegangan, karena tidak menjelaskan penyebab Dlamdlam bin Zur`ah dinilai daif.
- Penilaian Laysâ bi Syaiy’in dari Ibn Ma`în.
Ketika meneliti rawi yang bernama `Âmir bin Yasâf, penilaian tsiqah dari Ibn Ma`în[12] dalam riwayat al-Barqiy, selalu dianggap angin lalu, karena dibenturkan dengan penilaian lain dari Ibn Ma`în dalam riwayat al-Dûriy yang menggunakan kalimat: (لَيْسَ بِشَيْءٍ),[13] yang secara umum diartikan “tidak ada apa-apanya/hadisnya tidak perlu ditanggapi”. Padahal apabila dicermati lebih jauh, menurut Ibn al-Qaththân al-Fâsiy (w. 628 H),[14] penilaian (لَيْسَ بِشَيْءٍ) dari Ibn Ma`în tersebut bukan berarti pencelaan/peremehan, melainkan maksudnya adalah menjelaskan bahwa rawi tersebut sangat sedikit meriwayatkan hadis,[15] atau tidak banyak meriwayatkan hadis.[16]
Contoh lain, sifat lâ ba’sa bihi (لاَ بَأْسَ بِهِ) umumnya disematkan kepada rawi yang menempati martabat keempat,[17] sebagai sinonim dari sifat shadûq (صَدُوْقٌ) yang berarti satu tingkat di bawah sifat tsiqah (ثِقَةٌ), namun bagi Ibn Ma`în penyifatan dengan menggunakan kalimat lâ ba’sa bihi atau kalimat laysâ bihi ba’s bukanlah demikian, melainkan justru menunjukkan maksud tsiqah,[18] hal tersebut berdasarkan keterangan yang diterima dari Ibn Abiy Khaytsamah (w. 279 H) atas hasil diskusinya dengan Ibn Ma`în.[19] Terlebih bila ditunjang dengan kalimat penyifatan lain yang menunjukan ke-tsiqah-an rawi tersebut.[20]
- Penilaian Layn al Hadîts dari Ibn Hajar.
Sifat layn al hadîts (ليّن الحديث) secara etimologi mengandung arti “lemah hadisnya”. Sedangkan dalam terminologi ilmu hadis, secara umum, sebagaimana disebutkan oleh Imâm al Dâruquthniy (w. 385),[21] mengandung makna celaan (tajrîh) yang tidak sampai menjatuhkan martabat keadilan seorang rawi.[22] Dengan kata lain, sifat tersebut merupakan kategori tajrîh teringan yang paling dekat ke dalam kategori ta`dîl. Kategorisasi seperti itu diikuti pula oleh Abû Hâtim, Ibn Shalâh, al Nawawiy, al Dzahabiy, dll. Dari makna umum inilah rata-rata sang peneliti beranjaknya, sehingga setiap rawi yang dinilai layn al hadîts oleh Imâm Ibn Hajar, maka divonis daiflah ia, wal hasil hadisnya pun dienyahkanlah begitu saja.
Namun ternyata Imâm Ibn Hajar memiliki definisi tersendiri untuk istilah layn al hadîts, yaitu seorang rawi yang memenuhi kriteria sebagai berikut:[23]
- Sedikit riwayatnya,
- Tidak diketahui penyebab sedikitnya riwayat tersebut, dan
- Riwayatnya menyendiri.
Menurut penelaahan Dr. Walîd al `Âniy, apa yang dimaksud Layn al Hadîts oleh Imâm Ibn Hajar adalah memiliki konotasi Tafarrud Maqbûl,[24] yang mengandung makna rawi tersebut sering meriwayatkan hadis secara menyendiri namun periwayatannya itu dapat diterima. Selanjutnya beliau tegaskan bahwa hadis dari rawi yang disifati Layn al Hadîts menurut Imâm Ibn Hajar masuk ke dalam kategori hadis hasan li dzâtih. Konsep seperti ini diikuti pula oleh muridnya, yaitu Imâm al Sakhâwiy ketika menjelaskan contoh hadis hasan li dzâtih dalam kitabnya Fath al Mughîts. Bahkan terkadang Imâm Ibn Hajar menghukuminya sahih, seperti kepada Wiqâ’ bin Iyyâs.[25]
- Penilaian Mudallis.
Ketika ditemukan seorang rawi yang disebut sebagai pelaku tadlîs (mudallis),[26] kadang orang bertindak simplistis dengan menerapkan pola silogisme: rawi mudallis berarti hadisnya mudallas, hadis mudallas adalah hadis daif, maka natijah/antesedennya adalah hadis yang di antara rawinya mudallis berarti hadisnya daif. Sepintas alur logika tersebut tampak benar, namun apabila dicermati, ternyata sebenarnya tidak mantiqiy. Ini disebabkan kalimat dalam premis mayornya (muqaddimah kubrâ) belum final. Mengapa? Karena suatu hadis yang di antara rawinya terindikasi mudallis, tidak automatically dihukumi berstatus daif, berhubung seperti diungkapkan oleh Dr. Hamzah al-Malîbâriy, bahwa tidak ada seorang pun dari ulama ahli hadis yang menganggap bahwa tadlîs itu merupakan salah satu faktor yang menyebabkan cacatnya aspek keadilan seorang rawi, karena pada hakikatnya tadlîs itu bukanlah suatu perbuatan bohong.[27] Terlebih ketika yang melakukannya adalah seorang rawi yang terkenal tsiqah. Pendapat tersebut senada dengan apa yang diungkapkan oleh Syaikh `Abd al-Rahmân bin Yahyâ al-Mu`allimiy dan para ahli hadis lainnya.[28]
Perbuatan tadlîs baru bisa menimbulkan efek terhadap kecacatan rawi, hanya apabila telah memenuhi kriteria sebagai berikut, yaitu:
- Sering melakukan tadlîs.
- Tidak disertai kalimat transmisi pendengaran (simâ`).
- Rawi tersebut dikenal daif, hingga muncul ulama lain yang mengingkarinya.
Dan secara faktual, rawi mudallis itu terdiri dari beberapa martabat, di antaranya hanya menempati martabat tadlîs pada dua tingkat pertama, yang mana telah disepakati oleh para ahli,[29] bahwa hadis-hadisnya dapat diterima dengan pertimbangan ia seorang Imâm, atau sangat jarang melakukan tadlîs, atau hanya “tersangka” saja, atau hanya melakukan dari guru yang tsiqah saja.[30] Dengan kata lain hadis yang diriwayatkan oleh rawi tersebut tidak dapat dikategorikan sebagai hadis daif.
Menilik betapa rumitnya dimensi ilmu hadis, maka pantaslah Imâm al-Khathîb, seorang ahli hadis terkenal berkata:[31]
وَمَذَاهِبُ النُّقَّادِ لِلرِّجَالِ غَامِضَةٌ دَقِيْقَةٌ وَرُبَّمَا سَمِعَ بَعْضُهُمْ فِي الرَّاوِيِّ أَدْنَى مَغْمَزٍ فَتَوَقَّفَ عَنِ الإِحْتِجَاجِ بِخَبَرِهِ وَإِن لَّمْ يَكُنِ الَّذِي سَمِعَهُ مُوْجِبًا لِرَدِّ الْحَدِيْثِ وَلاَ مُسْقِطًا لِلْعَدَالَةِ
Artinya: “Dan ragam pendapat dalam hal kritik terhadap rawi, merupakan sesuatu yang sangat samar dan sulit. Kadang sebagian dari mereka mendengar celaan/aib ringan terhadap rawi, kemudian ia berhenti menggunakan hujah dengan hadisnya, padalah sebenarnya apa (celaan) yang ia dengar itu tidak sampai mengakibatkan harus tertolak hadisnya serta tidak menjatuhkan keadilannya (yang paling utama)”.
Salah satu contoh kasus adalah ketika sampai kepada Imâm al Syâfi`iy, seorang kritikus hadis yang mencela seorang rawi, kemudian beliau menginterogasi kritikus tersebut mengenai penyebabnya, ia pun menjawab: “Karena aku lihat ia kencing sambil berdiri”. Beliau bertanya lagi: “Memangnya kenapa dengan kencing sambil berdiri?”. Ia menjawab: “Karena kaki dan celananya akan terkena cipratan, kemudian orang itu shalat”. Beliau bertanya lagi: “Memang kamu lihat orang itu shalat (tanpa menyucikannya dulu)?”. Ia menjawab: “Tidak”.[32] Dalam contoh lain, Syu`bah tidak mau menerima hadis yang diriwayatkan oleh rawi yang terlihat menunggangi keledai kurus. Ini disebabkan karena dalam pertimbangannya, rawi tersebut telah bertindak kejam terhadap binatang.[33]
Melalui riwayat tersebut tampak bahwa terkadang seorang kritikus meninggalkan hadis dari rawi yang dinilainya cacat karena telah melakukan sesuatu perbuatan yang dianggapnya tercela, padahal sebenarnya berdasarkan syariat, perbuatan itu hanyalah sebuah kesalahan kecil yang tidak sampai menjatuhkan integritas keadilan rawi tersebut. Umumnya kasus seperti itu muncul dari kritikus yang memiliki kekurangan dalam pemahamannya terhadap fikih atau karena ia lebih mendahulukan timbangan adab dari pada fikih.
Perkataan Imâm al-Khathîb di atas, menambah keyakinan kita akan betapa peliknya dunia kritik terhadap kredibilitas rawi (dikenal dengan istilah jarh wa ta`dîl). Secara metaforis, melakukan penelitian terhadap kredibilitas rawi dengan hanya mengandalkan kitab rijâl al-hadîts, ibarat memasuki sebuah lorong gelap yang banyak dipenuhi dengan labirin-labirin menyesakkan dan menyesatkan. Pada saat seperti itu, agar tidak terlanjur tersesat, yang diperlukan adalah pelita sebagai penerang jalan serta peta arah sebagai panduan jalan. Dalam hal ini, pelita dan petanya tiada lain adalah pendapat (qawl) ulama ahli hadis dan ilmu mushthalah al–hadîts, dengan kata lain, sebelum memulai kegiatan penelitian, terlebih dahulu sang peneliti harus mau memperhatikan pendapat para ulama ahli hadis terhadap hadis-hadis bersangkutan, dan harus membekali diri dengan ilmu mushthalah al-hadîts, serta jangan sampai tidak membaca kitab-kitab yang secara khusus mengulas sifat-sifat dari para nâqid itu sendiri.
Salah satu implikasi dari tersesatnya peneliti, Imâm al-Laknâwiy berkata:[34]
كَثِيْرًا مَا يَقُوْلُوْنَ لاَ يَصِحُّ وَلاَ يَثْبُتُ هَذَا الْحَدِيْثُ وَيَظُنُّ مِنْهُ مَنْ لاَ عِلْمَ لَهُ انَّهُ مَوْضُوْعٌ أَوْ ضَعِيْفٌ وَهُوَ مَبْنِيٌ عَلٰى جَهَلَةٍ بِمُصْطَلَحَاتِهِمْ وَعَدَمِ وُقُوْفِهِ عَلٰى مُصَرَّحَاتِهِمْ
Artinya: Banyak orang berkata bahwa hadis ini tidak sah dan tidak otentik. Berangkat dari hal tersebut, orang yang tidak memiliki ilmu memunculkan sangkaan bahwa hadis tersebut palsu atau daif. Kesimpulan itu dibangun di atas ketidaktahuan (kebodohan) peneliti akan istilah-istilah khas yang digunakan oleh para nâqid, serta kelalaian mereka dalam meneliti/memahami istilah-istilah umum yang digunakan oleh para nâqid”.
Inilah fakta yang tidak dapat dipungkiri, banyak sudah orang yang lancang menilai daif, atau palsu terhadap suatu hadis, bahkan menghukumi bidah terhadap suatu ritual, sebagai efek domino dari penilaian daif atau palsu terhadap hadis tersebut. Dan itu semua, tiada lain akibat dari ketidakmumpunian pengetahuan mereka terhadap ilmu ushûl al-hadîts sebagai anasir utama dalam meneliti otentisitas dan validitas dari sebuah hadis. Maksud hati hendak bersikap kritis, namun justru anarkis yang dituai.
Menanggapi fenomena seperti ini, Dr. Hamzah al-Malîbâriy berkata:[35]
“Dan apa yang kami saksikan akhir-akhir ini, banyak para pemula yang berani menceburkan diri ke dalam lautan penelitian sanad dan hadis, dengan tanpa terlebih dahulu menyiapkan diri sebagai ahli, bahkan di antaranya malah telah terpedaya dengan ilmu-ilmu lain, maka mereka terjebak euforia pembaharuan dan reformasi, mereka beramai-ramai sekehendak hati mendaifkan berbagai hadis, terutama hadis-hadis mutasyabbih dan ghaib, hingga hadis-hadis yang telah dinilai sahih oleh Imâm al-Bukhâri dan Imâm Muslim, juga hadis-hadis yang telah turun-temurun diterima para ahli sebagai landasan ibadah (talaqqiy al-ummah bi al-qabûl),[36] dan itu semua tiada lain disebabkan oleh tidak sesuainya akal pikiran mereka dengan akal pikiran para ahli hadis, atau karena kesalahan di dalam memahami al-Quran. Paradigma mereka sama sekali tidak memiliki dasar ilmiah yang dibangun atas pengetahuan luas terhadap hadis dan pemahaman mendalam terhadap al-Quran. Kemudian mereka menuduh bahwasanya para ahli hadis tidak mampu menemukan kebohongan (al-kidzb) dan kesalahan (al-khatha’) di dalam matan hadis …”.
Bahkan seperti apa yang kita saksikan di sekeliling kita, tidak sedikit dari mereka yang berani berkata: “Seandainya al-Turmudziy, atau Ibn Hibbân, atau Ibn Khuzaymah, atau Ibn Hajar, atau al-Nawawiy, atau al-Suyûthiy, atau al-Munâwiy, dll melakukan penelitian hadisnya secara mendalam, maka pasti kesimpulannya akan sama dengan apa yang saya katakan”. Betapa angkuhnya mereka, hanya karena pendapatnya berbeda dengan pendapat para ahli hadis, maka para ahli tersebut dituduhnya telah berbuat lalai. Padahal, siapakah sebenarnya yang pantas disebut lalai? Apakah benar mereka lebih pintar dan lebih teliti dari pada para ahli hadis? Untuk itu sebaiknya kita renungkan perkataan tabi`în terkenal dari Bashrah, Yûnus bin `Ubayd bin Dînâr al `Abdiy (W 139 H):
إِنَّ لِلْحَدِيْثِ فِتْنَةٌ, فَاتَّقُوْا فِتْنَتَهُ.
Artinya: “Sesungguhnya dalam hadis itu terdapat fitnah, maka jauhilah fitnah tersebut”.[37]
Lain hal, ketika yang memberikan kritik tersebut adalah orang sekelas Imâm Ibn Hajar terhadap Imâm Ibn Khuzaymah, atau terhadap Imâm Ibn Hibbân, atau terhadap Imâm al-Turmudziy,[38] karena memang kapabilitas keilmuan Imâm Ibn Hajar telah memenuhi standar ilmiah untuk disejajarkan dengan pihak yang dikritisinya. Dan dalam kenyataannya, kritik yang dilayangkan Imâm Ibn Hajar jauh dari tipikal arogansi yang selalu berimbas pada sikap pencemoohan terhadap objek kritiknya.
Allah I berfirman dalam surah al-Najm (53:23):
إِنْ يَتَّبِعُونَ إِلاَّ الظَّنَّ وَمَا تَهْوٰى الأَنْفُسُ
Artinya: “Mereka tidak lain hanyalah mengikuti sangkaan-sangkaan, dan apa yang diingini oleh hawa nafsu mereka”.
[1]Ahli kritik rawi, nama lengkapnya al Imâm Abû Muhammad `Abd al Rahmân bin Abiy Hâtim al Râziy.
[2]Kitâb al-Jarh wa al-Ta`dîl, IV/468.
[3]Adil (`adl) dan sempurna kekuatan hapalannya (tamm dlabth), lihat al-Mûqidlah fî `Ilm Musthalah al-Hadîts, 67-68. Serta tahqiqnya oleh Syaikh `Abd al-Fattâh Abû Ghuddah.
[4]Al-Kifâyah fî `Ilm al-Riwâyah, I/338-339.
[5]Siyar A`lâm al-Nubalâ, XIII/260.
[6]Hady al-Sâriy, 617.
[7]Al Raf` wa al-Takmîl, 117.
[8]Al Jarh wa al-Ta`dîl bayn al-Mutasyaddidîn wa al-Mutasâhilîn, 457.
[9]Ma`rifah `Ulûm al-Hadîts, 323.
[10]Târikh `Utsmân bin Sa`îd al Dârimiy `an Abiy Zakariyâ Yahyâ bin Ma`în, 136.
[11]Tadrîb al Râwiy, 203.
[12]Ahli kritik rawi, nama lengkapnya al Imâm Yahyâ bin Ma`în bin `Awn bin Ziyâd al Murriy (158-233 H)
[13]Namun di dalam kitab Yahyâ bin Ma`în wa Kitâbuh al-Târîkh Riwâyah al-Dûriy (Disertasi Dr. Ahmad Muhammad Nûr Sayf), penulis (dengan segala keterbatasannya) tidak menemukan penilaian tersebut.
[14]Bayân al-Wahm wa al-Îhâm al-Wâqi`ayn fî Kitâb al-Ahkâm, III/281.
[15]Demikian bahasa Imâm Ibn Hajar dalam Hady al-Sâriy, 591.
[16]Demikian bahasa Imâm al-Sakhâwiy dalam Fath al-Mughîts, II/292. Alfâzh wa `Ibârât al-Jarh wa al-Ta`dîl, 272. al-Raf` wa al-Takmîl, 99-100.
[17]Berdasarkan standarisasi Imâm Ibn Hajar dalam kitab Taqrîb al-Tahdzîb.
[18]Al Raf` wa al-Takmîl, 100. Alfâzh wa `Ibârât al-Jarh wa al-Ta`dîl, 18.
[19]`Ulûm al-Hadîts li Ibn Shalâh, 123-124.
[20]Ittihâf al-Nabîl, I/304. Pembahasan lebih detail untuk masalah ini dapat dipelajari di kitab Syifâ’ al-`Alîl bi Alfâzh wa Qawâ`id al-Jarh wa al-Ta`dîl, I/283-285, karya Syaikh Abû al-Hasan Musthafâ bin Ismâ`îl (Kairo: Maktabah Ibn Taymiyah, 1991).
[21]Ahli hadis bermadzhab Syâfi`iyah. Di antara hasil karyanya: Sunan al Dâruquthniy, al `Ilal al Wâridah fiy al Ahâdits al Nabawiyah, al Mujtabâ min al Sunan, al Mu’talif wa al Mukhtalif, dll.
[22]Su’alât Hamzah al Sahmiy li al Dâruquthniy, 72.
[23]Taqrîb al Taqrîb, 81.
[24]Manhaj Dirâsah al Asânîd wa al Hukm `Alayhâ, 80-84.
[25]Lihat Taglîq al Ta`lîq, II/421. Bandingkan dengan Taqrîb al tahdzîb, 1036.
[26]Secara sederhananya adalah rawi yang menggugurkan rawi lain dari rantai sanad.
[27]`Ulûm al-Hadîts fî Dlaw’ Tathbîqât al-Muhadditsîn al-Niqâd, II/200.
[28]Al Tankîl bi Mâ fî Ta’nîb al-Kawtsariy min al-Abâthîl, I/311, II/602. Itihâf al-Nabîl bi Ujûbah As’ilah `Ulûm al-Hadîts wa al-`Ilal wa al-Jarh wa al-Ta`dîl, I/131-132, 208-209.
[29]Awalnya kategorisasi dan ketentuan tersebut adalah hasil ijtihadnya Imâm al-Hâfizh Ibn Hajar, demikian menurut Syaikh Abû Hasan Musthafâ al-Sulaymâniy dalam kitabnya Itihâf al-Nabîl bi Ujûbah As’ilah `Ulûm al-Hadîts wa al-`Ilal wa al-Jarh wa al-Ta`dîl, I/104. Namun selanjutnya menjadi sebuah konsensus dalam metodologi ilmu hadis.
[30]Ta`rîf Ahl al-Taqdîs bi Marâtib al-Mawshûfîn bi al-Tadlîs, 8-14.
[31]Al Kifâyah fîy Ma`rifah Ushûl `Ilm al-Riwâyah, I/340.
[32]Op. Cit, I/337-338.
[33]Al Raf` wa al Takmîl, 28.
[34]Al Raf` wa al-Takmîl, 86.
[35]Nazharât Jadîdah fî `Ulûm al-Hadîts, 47-48.
[36]Secara khusus, insyâ’ Allâh kami akan membahas permasalahan Talaqqiy al-Ummah bi al-Qabûl dalam buku selanjutnya tentang Sunnah Tarawih Dua puluh Rakaat.
[37]Al Ilmâ’ ilâ Ma`rifah Ushûl al Riwâyah wa Taqyîd al Samâ’, 57 (Perhatikan pula catatan kakinya yang merujuk pada pernyataan Imâm al Hâkim). Jawâhir al Ushûl fiy `Ilm Hadîts al Rasûl, 144.
[38]Lihat al-Nukat `alâ Kitâb Ibn al-Shalâh, I/270-271.