The news is by your side.

Esensi implisit Hadist Yaumul Itsnain ” Maulidu ar-Rasul”

Iroda Auliya – Perayaan Maulid Nabi Muhammad SAW., adalah Bid’ah Hasanah atau sebenarnya bukanlah suatu Bid’ah ?
Berbagai literatur analisis prespektif Al-Qur’an dan Hadist tentang perayaan Maulid Nabi Muhammad SAW., telah banayak di elaborasi oleh para penulis, yang memaparkan kebolehan juga termasuk sebagian dari amal soleh dan merupakan bid’ah hasanah dalam mengadakan sebuah perayaan ( Muzakki, 2016 ).

Gambaran Bid’ah

Madzhab Hanafi
Ibnu Abidin dalam kitab Hasyiyah Ibnu Abidin, hlm.1/376, menyatakan: “Bid’ah terkadang wajib hukumnya seperti membuat dalil kepada penduduk yang sesat, belajar ilmu nahwu untuk faham terhadap Al-Kitab (Al-Qur’an) dan As-Sunnah. dan Mandub hukumnya seperti memperbarui, contohnya membangun sekolah, dan setiap kebaikan yang tidak ada pada As-Shodru Al-Awwal (kepemimpinan Rasulullah). Makruh hukumnya seperti menghias-hias masjid. Dan Mubah hukumnya seperti merasa puas ketika makan, minum dan menggunakan baju”.

Madzhab Maliki
Ahmad bin Yahya Al-Wansyarisi dala Mi’yar Al-Mu’rib menyatakan: “Ulama’ madzhab Maliki walaupun mereka sepakat untuk mengingkari bid’ah secara umum, namun kenyataannya adalah bid’ah menurut mereka terbagi menjadi lima bagian. Yang benar soal bid’ah adalah apabila dihadapkan pada kaidah syari’ah maka menyesuaikan dengan hokum kaidah syari’ah tersebut”.

Madzhab Syafi’i
Abu Nuaim meriwayatkan pernyataan Imam Syafi’i : “Bid’ah itu ada dua, bid’ah terpuji dan bid’ah tercela. Apabila ia sesuai dengan Sunnah Nabi maka tergolong kepada bid’ah terpuji, begitupun dengan sebaliknya. Imam Syafi’I berargumen kepada perkataan Umar bin Khattab dalam pelaksanaan solat tarawih di bulan Ramadlan : “sebaik-baik bid’ah adalah ini”.

Madzhab Hanbali
Ibnu Rajab Al-Hanbali dalam Jami’ Al-Ulum wal Hukm menyatakan : “Yang di maksud dengan bid’ah adalah perkara baru yang tidak ada dasar dalilnya dalam syari’ah. Adapun perkara yang memiliki dasar argumentasi syari’ah maka itu bukanlah bid’ah dalam istilah syari’ah, walaupun bisa di sebut bid’ah secara bahasa”. A.Fatih Syuhud, Ahlusunnah Wal Jamaah, hlm. 109.

Pada pemaparan tersebut Ahlusunnah Wal Jama’ah membedakan bid’ah menjadi dua; yakni Bid’ah Hasanah dan Bid’ah Sayyiah. Tidaklah semua yang benar terjadi saat ini berlainan dengan zaman Rasulullah SAW., menjadikannya suatu bid’ah. Tak ayal bila pakaian, kendaraan dan makanan pun akan menjadi bid’ah. Oleh karena itu, cara pandang filsafat tentang bid’ah harus bercirikan radikal dan rasional. Radikal yang dimaksud adalah memberikan ruang bebas untuk berfikir namun dengan batasan rasio ( masuk akal ). Namun, aliran yang mengklaim bid’ah perilaku kalangan NU tidak sepenuhnya salah. Mereka mensandarkan ucapan itu kepada hadist riwayah Tirmidzi bahwasanya Nabi Muhammad SAW., bersabda :

ايّاكم و محدثات الأمور , فإن شر الأمور محدثتها , و إن كل محدثة بدعة , و إن كل بدعة ضلالة

” Jauhkanlah dari memperbarui perkara. Karena seburuk-buruknya perkara adalah membuat hal baru (inovasi). Dan setiap perkara yang baru adalah bid’ah dan setiap bid’ah adalah sesat”.

Dalam hadist lain riwayat Bukhori dan Muslim, Nabi Muhammad bersabda :

من احدث في امرنا هذا ما ليس منه فهو رد

“Barang siapa yang membuat hal baru dalam perkara yang bukan berasal dariku maka ia tertolak”.
Setidaknya hadist itulah yang menguatkan argumen anti-bid’ah bagi aliran Wahabi (A. Fatih Syuhud, 2019).
Termasuk dari perayaan Maulid Nabi ini juga tergolong kategori bid’ah menurut cara pandang mereka. Sebagaimana mereka menegaskan ucapannya kepada fatwa yang menyatakan bahwa Ulama’ Salaf tidak melakukan itu. Namun, sebagaian yang lainnya mengkategorikan Perayaan Maulid ini sebagai Bid’ah Hasanah yang boleh untuk dilakukan. Mengutip keterangan bid’ah dari Al-Baihaqi dalam Manaqib As-Syafi’i, hlm. 1/468; Abu Nuaim, dalam Hilyatul Auliya, hlm. 9/113, Imam Nawawi dalam Tahdzibul Asma wal Lughat, 277.

Oleh karena itu, warga NU meyatakan bahwa Perayaan Maulid Nabi Muhammad SAW., ini termasuk dalam kategori Bid’ah Hasanah. Sebagaimana juga, boleh jadi perayaan ini sebenarnya bukanlah suatu Bid’ah ?

Esensi Implisit Hadist

Terdapat ungkapan Hadist Qauliyah yang diceritakan dari Abu Qatadah Al-Ansori ra., pada bab Puasa Sunnah di dalam kitab Bulugul Maram min Adillatil Ahkam, karangan Al-Hafidz Ibn Hajar Al-Asqalani ;

عَنْ اَبِي قَتَادَةَ الأَنْصَارِى رَضِى الله عَنْهُ اَنَّ رَسُوْلَ الله صَلَّى الله عَلَيْهِ وَسَلَّم سُئِلَ عَنْ صَوْمِ يَوْمِ الْاِثْنَيْنِ, فَقَالَ : ذَلِكَ يَوْمٌ وُلِدْتُ فِيْهِ , وَبُعِثْتُ فِيْهِ, وَاَنْزَلَ عَلَىَّ فِيْهِ . رواه مسلم

Diceritakan dari Abu Qatadah Al-Ansori ra., sesungguhnya Rasulullah SAW., ditanya tentang puasa hari senin, maka Rasulullah SAW., menjawab “ Itu adalah hari kelahiranku dan pertama aku diutus dan pertama di turunkan wahyu kepadaku “. HR. Muslim, Bulughul Maram, hal 143.

Pada Riwayat hadist tersebut, jika ditilik esensi secara implisit bahwa sebenarnya Nabi Muhammad SAW., sudah merayakan hari kelahirannya dengan cara berpuasa/beribadah secara samar tanpa sepengatahuan manusia.
Sebagai seorang Utusan maka metode yang di gunakan Beliau tidak lain adalah ranah Ibadah. Beda halnya dengan manusia biasa yang mengatas namakan sebagai Ummat Beliau, berperan aktif untuk merayakan Maulid Nabi dengan cara yang berbeda-beda di setiap tempat/tradisi daerah masing-masing. Bentuk perayaan ini bukanlah bertujuan untuk membuat hal-hal baru (Bid’ah) melainkan ekspresi cinta para Ummat kepada Bagindanya.

Historis Maulid Nabi
Meninjau dari sejarah pertama kali yang merayakan Maulid Nabi Muhammad SAW., adalah Al-Mudzaffar Abu Sa’id, seorang raja di daerah Irbil, Bagdad. Beliau melakukan bersama masyarakat dengan bersama-sama berkumpul di suatu tempat sembari membaca ayat-ayat Al-qur’an, membaca sejarah perjalanan dan perjuangan Nabi Muhammad SAW., melantunkan shalawat dan sya’ir-sya;ir (pujian) kepada Beliau serta juga berisiskan ceramah agama/mauidhoh. Al-Bakri bin Muhammad Syatho, I’anah At-Tholibin, juz 3, hal 363.

Sama halnya sebuah Riwayat yang menjelaskan bahwa Abu Lahab paman Beliau tetapi seorang Kafir, tidak akan menerima siksa pada hari senin, di karenakan inilah reward Allah kerna Abu Lahab sangat bersuka ria keponakannya lahir, yakni Nabi Muhammad SAW. Bahkan ia juga mengekspresikan rasa bahagianya kepada sang pemberi kabar, yakni budaknya dengan membebaskan tuntutan budak kepadanya. Fathul Bari, Al-Hafidz Ibnu Hajar Al-Asqalani, juz 11 hal 431
Oleh karena itu, Allah memberikan limpahan rahmat –Nya kepada orang yang turut senamg atas lahirnya Rasulullah. Bahkan orang kafir selkalipun seperti Abu Lahab.

Oleh: Iroda Auliya, Maha Santri Ponpes Ainul Hasan-Wonorejo Maron, Mahasiswi prodi Perbandingan Madzhab, Syariah UNZAH.

Penulis
Iroda Auliya
Leave A Reply

Your email address will not be published.