REFLEKSI PERAN MUJADDID TERKAIT SATU ABAD NU
Zahro Diniyah – “Mendigdayakan Nahdlatul Ulama Menjemput Abad Kedua Menuju Kebangkitan Baru” ialah tema yang diangkat dalam rangka peringatan satu abad Nahdlatul Ulama.
Para pemangku NU sepakat bahwa, tema tersebut merupakan harapan aplikatif dari hadits Rasulullah SAW yang diriwayatkan oleh Imam Abu Dawud :
إِنَّ اللهَ يَبْعَثُ لِهَذِهِ الْأُمَّةِ عَلَى رَأْسِ كُلِّ مِائَةِ سَنَة مَنْ يُجَدِّدُ لَهَا دِينَهَا
Artinya: “Sesungguhnya Allah mengutus untuk umat ini, pada setiap akhir seratus tahun, orang yang memperbaharui untuk umat agama mereka”
Dikutip dari perjalanan spiritual era demi era, Umat Rasulullah SAW dikaruniai para mujaddid ( pembaharu ) di setiap seratus tahun sekali.
Yang dimaksud mujaddid di sini tentulah bukan pihak yang hendak mengganti ketetapan syari’at, sebab Islam ialah ajaran yang sudah final lagi paripurna. Namun, sebagai agama yang berpijak pada Al-Qur’an dengan sebagian teksnya yang bersifat universal, tentu ajaran mulia Islam tidak bisa rampung diartikan hanya dalam waktu beberapa pekan.
Al-Qur’an ialah sumber ajaran yang berlaku sepanjang zaman. Maka, bagaimana cara menerapkan jika faktanya peradaban manusia secara periodik mengalami perubahan ?
Di sinilah sang mujaddid diperlukan, agar segala sisi kehidupan umat Nabi akhir Zaman ( para Nahdliyyin khususnya ) mulai dari segi sosial, intelektual, ‘ubudiah dan wathaniyahnya tetap selaras dengan visi misi Al-Qur’an.
Pasca Kepemimpinan Rasulullah SAW dan berakhirnya era khulafaurrasyidin, lahir seorang mujaddid di akhir abad ke satu yakni Umar bin Abdul Aziz. Sebagai salah satu khalifah dari Bani Umayyah, beliau dikenal dengan kejujurannya dalam merawat negara.
Abad kedua diprakarsai oleh seorang mujaddid sekaligus pencetus madzhab Syafi’i, yakni Muhammad bin Idris yang piawai dalam fan ilmu Fiqih.
Abad ketiga lahir pula sang mujaddid yang menjadi rujukan warga Nahdliyyin di bidang teologi, yakni imam Asy’ari.
Dan pada abad kelima kita mengenal seorang Hujjatul Islam, mujaddid yang masyhur dengan konsep kesufiannya yakni Imam Al-Ghazali. Dan masih banyak lagi para mujaddid yang hadir di setiap abad guna melakukan interpretasi terhadap funun ajaran Islam.
Nahdlatul Ulama ialah sebuah Jam’iyyah yang identik dengan dunia kepesantrenan, dimana syari’at Islam dipelajari secara bertahap dan kaffah di dalamnya. Oleh karenanya, para tokoh yang lahir dari sana bukanlah pemuka agama yang eksis lewat pembelajaran yang praktis.
Aspek religi bukan sebuah pengetahuan yang layak disampaikan dan dibumikan dengan seenaknya. Butuh kedalaman ilmu pengetahuan dan kearifan pengalaman yang menjadi syarat utamanya. Itu sebabnya kesuksesan warga Nahdliyyin dalam menjaga eksistensi Jam’iyyah nomor 1 di Indonesia ini tidak lepas dari peran para Ulama yang kaya akan keahlian di berbagai bidang ilmu agama, yang dahulu mendedikasikan jiwa raga untuk menuntut ilmu dalam waktu yang lama. Mulai dari KH Hasyim Asy’ari yang membidani lahirnya kumpulan karya bernama Irsyadussari. Kemudian KH Wahab Hasbullah yang malang melintang di beberapa pesantren yakni pesantren Langitan Tuban, Tebuireng Jombang, Mojosari Nganjuk, Bangkalan Madura dan lainnya.
Menjelang era millenial, Nahdlatul Ulama juga masih memiliki para tokoh yang tetap masyhur dengan kecendikiaannya.
Siapa yang tak kenal dengan KH Said Aqil Siradj ? Ketum PBNU periode 2010-2021 yang kita kenal mahir di bidang sejarah. Hampir semua nama-nama ulama dalam pertalian sanad dihafal olehnya. Begitupun dalam membacakan hadits-hadits Nabi dan isi kandungan Al Barzanji, beliau layak dikatakan ahlinya ahli.
Di bidang ilmu tafsir kita kenal Prof. Dr. M Quraish Shihab, muallif kitab Tafsir Al Misbah yang sangat fenomenal.
Tidaklah berlebihan jika kita meyakini bahwa Satu atau beberapa tokoh dari kalangan Nahdliyyin sangat layak dan mampu menjadi mujaddid abad ini ataupun abad-abad berikutnya. Sebab beliau semua bukanlah hasil didikan yang bersifat cepat saji, melainkan para penggiat literasi agama yang tidak berhenti memeperkaya diri dengan faktor-faktor penunjang untuk memahami Kalam Ilahi.