Shalat dan Implementasi Sosial: Meng-‘Install’ Pemimpin Ideal
La Ode Muhmeliadi, IP – “Ketuhanan Yang Maha Esa”, sila pertama dalam Pancasila yang menerangkan bahwa Indonesia merupakan negara yang berprinsip pada nilai-nilai ketuhanan. Prinsip tersebut seyogyanya harus diejawantahkan dalam konteks sosial, hingga tercipta nilai-nilai kemanusiaan, nilai persatuan, nilai demokrasi, dan nilai keadilan sosial.
Setiap warga Negara Indonesia berkewajiban memeluk agama berdasarkan keyakinan dan kepercayaan masing-masing. Islam, beguti juga agama lainnya, mengajarkan ruh kebaikan dan keadilan. Dalam hal ini adalah frekuensi individu, seberapa baik dan konsisten (istiqamah) dalam berhubungan atau menjalankan perintah Tuhannya. Karena etika publik seseorang akan terlihat baik, berdasarkan proses peribadatan yang baik pula.
Salah satu cara peribadatan tersebut ialah melaksanakan shalat. Shalat bermakna doa. Yang dimaksud berdoa yaitu meminta pertolongan, petunjuk, keselamatan dan kebahagiaan di dunia dan akhirat. Dalam pengertian lain, shalat merupakan ibadah kepada Tuhan Yang Maha Esa yang wajib dilakukan bagi umat muslim sesuai tata cara, rukun, syarat dan bacaan tertentu. Syaikh Muhammad bin Qasim (2005) dalam Fathul Qarib, shalat adalah rangkaian ucapan dan perbuatan yang diawali dengan takbir dan diakhiri dengan salam, serta syarat-syarat yang telah ditentukan.
Setiap yang hidup pasti ada tujuan penghabisannya. Begitupun dengan orang yang melaksankan shalat, goal akhir pencapaiannya adalah kebahagian dalam kehidupan setelah di dunia, kehidupan yang abadi dan kekal. Akan tetapi, bukan sebatas itu, melainkan bagaimana dengan shalat bisa membentuk pribadi yang beradab, manusia unggul, memiliki jiwa kepemimpinan yang adil dan bijaksana, mengimplementasikan nilai-nilai ketuhanan dalam kehidupan sosial, dan relevan berdasarkan dinamika perkembangan zaman.
Bukan Sekedar Ritual Agama
Ibnu Abdil Bari (2020) dalam bukunya Tadabbur Bacaan Shalat: Menyelami Makna Memetik Hikmah mengatakan bahwa shalat memiliki tujuan utama, yaitu: Mengingat Allah Subhanahu wa Ta’ala dan bertaqarub (mendekatkan diri) kepada-Nya; Mengagungkan Allah Subhanahu wa Ta’ala; Tunduk dan patuh kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala; Menyucikan jiwa; dan, Mencegah perbuatan keji dan mungkar.
Tujuan tersebut merupakan cita-cita fundamental setiap umat beragama. Akan tetapi, perlu adanya implementasi sosial dalam menjalankannya. Ruh sholat akan terlihat jelas jika setiap individu yang taat beribadah meleburkan diri dalam kelompok masyarakat. Bersamaan meleburnya individu dalam masyarakat, maka bersatulah antara agama dan negara, antara spirit ketuhanan dan etika sosial, yang menjadi paket komplit antara hubungan dengan Tuhan dan hubungan dengan manusia.
Dalam mengaplikasikan, sekurang-kurangnya ada tiga indikator keberhasilan untuk mewujudkan tujuan tersebut.
Pertama, Terciptanya Perdamaian dan Harmonisasi. Jika seseorang benar dalam shalatnya (atau ibadah lainnya), maka ia akan selalu merasa diawasi oleh Tuhannya. Hingga mustahil untuk membuat pertikaiaan, konflik, kegaduhan, saling mencela, atau hal semisalnnya. Dengan tuntunan beragama yang baik menciptakan kehidupan yang damai, rukun dan sejahtera.
Kedua, Mempersatukan Perbedaan. Dinamika sosial layaknya suatu gerakan dalam shalat. Tidak ada yang mendahului atau yang didahului, semua mengikuti gerakan imam (pemimpin). Tidak lagi mengenal status sosial, entah dia seorang pejabat atau rakyat biasa, orang kaya atau miskin, kulit putih atau hitam, pintar atau bodoh, semua tetap sama dalam barisan dan gerakan.
Ketiga, Terlahirnya atau Terbentuknya Pemimpin Adil dan Bijaksana. Jiwa kepemimpinan akan terlihat dari cara seseorang mendekatkan diri kepada Tuhan, dalam ketenangannya, kedisiplinannya, istiqamahnya, kesabarannya, keikhlasannya, dan semangatnya dalam shalat. Hingga demikian tersinkron secara otomatis ruh kepemimpinan yang ideal dalam hubungan sosial, baik lingkungan masyarakat maupun lingkungan digital (sosial media).
Etika Pemimpin, Cerminan Kemajuan Bangsa
Suatu pribahasa mengatakan bahwa, jika pemimpin baik, maka negara (masyarakat) baik. Namun, jika pemimpinnya rusak, maka masyarakatnya pun akan rusak. Ini juga berlaku pada pemimpin dalam sebuah organisasi, perusahaan, atau dalam skala terkecil adalah pemimpin dalam keluarga.
Perbuatan baik seseorang muncul karena ada dorongan dari dalam hati. Buya Hamka menjelaskan lewat bukunya “Falsafah Hidup” mengutip perkataan Imam Al-Ghazali bahwa, yang mendorong hati kita berbuat baik ada tiga perkara yaitu, karena bujukan atau ancaman dari orang yang diingini rahmatnya; mengharap pujian dari pada yang akan memuji, atau menakuti celaan dari pada yang akan dicela; dan, mengerjakan kebaikan karena memang dia baik (Dr. Abd. Haris, 2012: 118).
Presiden murupakan pemimpin dalam suatu zona yang besar, ialah negara. Sebagai presiden bukanlah hal yang mudah dalam memimpin negara dengan jumlah penduduk yang hampir mencapai 280 juta. Dengan keanekaragaman budaya, agama, suku bangsa dan bahasa menuntut presiden Indonesia menjadi pribadi yang cerdas, bijak, adil dan yang utama adalah etika kepemimpinan yang baik.
Jika kita telusuri pemikiran Imam Al-Ghazali yang dikutip Buya Hamka di atas, setidaknya setiap pemimpin, khusunya presiden, harus menghindari dua dari tiga perkara tersebut. Yakni, perbuatan baik bukan berdasarkan ambisuis kekuasaan, karena dorongan atau tekanan dari orang lain, karena pencitraan publik, agar ingin disanjung atau dipuji, atau perbuatan baiknya untuk menghindari stigma negatif, dan takut celaan yang menghilangkan reputasinya.
Pemimpin Ideal Masa Depan
Seorang tokoh fenomenal, Michael Hart (1979) dalam buku terkenalnya The 100: A Rangking Of The Most Influential Persons In History, bahwa buku tersebut menempatkan Nabi Muhmmmad Shalallahu ‘alaihi wa sallam dalam peringkat pertama dari 100 tokoh berpengaruh dalam sejarah dunia.
Dasar penempatan Nabi Muhmmmad Shalallahu ‘alaihi wa sallam tersebut, salah satunya pengaruh kepemimpinan yang mendunia. Itu dikarenakan kepribadian yang dapat dipercaya dalam segala hal dan bertanggungjawab terhadap teologi Islam (Amanah), selalu berkata yang benar, jujur lisan dan perbuatannya (Shiddiq), menyampaikan kebaikan secara terbuka atau transparansi dalam menyampaikan berita (Tabligh), dan berperangai yang mulia dengan prinsip moral maupun etiknya yang dilandasi kecerdasan spiritual, intelektual, emosional dan kecerdasan sosialnya (Fathanah). Jiwa kepemimpinan inilah yang harus diteladani oleh para pemimpin bangsa.