Toilet sebagai Jalan Keluar

Banyak tokoh masyarakat dan pejabat pemerintahan ikut hadir. Mereka ditempatkan di deretan tempat duduk terdepan, tepat di depan panggung, sebelah-menyebelah dengan Gus Mus sendiri.
Usai ceramah pengajian, Gus Mus kembali ke kursinya dan acara dilanjutkan dengan hiburan lagu-lagu Islami oleh Si Sri.
“Saya sangat bangga dan berdebar-debar mendapatkan kesempatan menyanyi di sini”, Sri membuka penampilan dengan sepatah-dua patah kata, “Apalagi di hadapan seorang ulama yang sangat saya kagumi dan menjadi idola saya… Guus Muuus! Mana tepuk tangannyaaa? Tepuk tangan buat Guuus Muuuusss…!”
Follow Channel LTNNU Jabar di Whatsapp untuk mendapatkan update artikel terbaru. Klik Link ini >> Channel LTNNU Jabar
Dan musik pun mulai mengedut.
Namanya ndangndut, walaupun Islami tetap saja menyondol-nyondol pinggang untuk bergoyang. Buat Sri sendiri, itu sudah naluri. Ditahan-tahan juga percuma. Ketika sudah masyuk dalam irama, ia pun melangkah turun panggung. Mendekati seorang pejabat di deretan depan, menggamit lengannya, dan membuat pejabat itu tak punya pilihan–atau tak ingin memilih–selain gabung berjoget bersama Sri.
Sementara itu, Gus Mus berkutat menahan gelisah. Entah seperti apa raut mukanya selama memaksa-maksakan diri untuk tersenyum-senyum waktu itu. Belakangan jelas sekali ia tampak lega ketika seorang panitia mendekat menyuguhkan minuman.
Gus Mus menggamit si panitia,
“Dik, toilet dimana?”
“Oh, mari saya antarkan, Pak Kyai”.
“Nggak usah. Tunjukkan saja tempatnya, biar saya ke sana sendiri”.
Panitia menunjuk pintu keluar gedung,
“Dari situ terus kearah kiri, Pak Kyai”.
Sambil mengangguk kanan-kiri, Gus Mus bergegas ke arah pintu itu. Dari situ ia langsung menuju tempat parkir mencari mobilnya, lalu menyuruh sopir cepat membawanya kabur.
Sopirnya pun heran,
“Kok tergesa-gesa, ‘Yai?”
“Aku takut diajak njoget”.