Demang Pagedangan Nairem dan Perang Cirebon Raya 1888
Wahyu Iryana, sejarawan, kader muda NU – Sejarah adalah anak sulung ingatan. Ia merekam kisah-kisah yang tak tertulis di batu nisan, tapi bersemayam di kepala orang-orang yang masih sudi mengingat. Salah satu fragmen yang jarang disorot dalam mozaik perlawanan Nusantara adalah perjuangan Demang Pagedangan Nairem dalam Perang Cirebon Raya tahun 1888. Jika kita mau membuka lembaran tua dalam Boendel Tjirebon 1888, menyisir jejak dalam Baban Kana, serta mencermati arsip-arsip kolonial Belanda, kita akan menemukan kisah perlawanan yang keras kepala melawan penguasa kolonial yang rakus.
Prahara di Tanah Cirebon
Perang Cirebon Raya tahun 1888 bukanlah sekadar letupan kecil dalam sejarah perlawanan di Jawa Barat. Ini adalah babak yang menggambarkan perlawanan rakyat terhadap penindasan Belanda yang kian menjadi-jadi. Salah satu tokoh yang menjadi garda depan dalam perlawanan ini adalah Demang Pagedangan Nairem. Nama yang kini nyaris terlupakan, meski ia pernah berdiri gagah menantang kekuasaan kolonial dengan segala daya dan upaya.
Menurut catatan dalam Boendel Tjirebon 1888, Demang Pagedangan Nairem adalah pemimpin lokal yang berani. Ia bukan sekadar pejabat desa yang sibuk mengurusi sawah dan ladang rakyat. Ia adalah seorang pemimpin yang menyadari bahwa kekuasaan kolonial telah menggerus hak-hak rakyatnya. Saat Belanda semakin menekan pajak, merampas tanah, dan memonopoli hasil bumi, Nairem tak tinggal diam.
Ia menggalang kekuatan dari rakyat Cirebon yang sudah lama muak dengan penindasan. Bersama para pejuang dari berbagai daerah, ia menghimpun kekuatan, menyusun strategi, dan mengobarkan semangat perlawanan. Di sinilah letak signifikansi perang ini—ia bukan hanya perlawanan spontan, melainkan gerakan yang terorganisir dengan matang.
Penulis coba menulis syair tentang Malam di Cirebon, 1888
Suara angin membawa desir gelisah,
pada daun jati yang meluruh di tanah.
Di kejauhan, kudengar langkah,
bukan kuda Belanda, tapi marah yang membara.
Di bawah langit yang muram,
orang-orang berbisik tentang perang.
Ladang yang subur kini jadi medan,
di mana darah dan doa berpadu di tanah.
Aku ingat namamu, Nairem,
di antara asap dan pekik perlawanan.
Sejarah mungkin lupa menulismu,
tapi angin masih menyebutmu pelan.
Benteng-Benteng Perlawanan
Buku Baban Kana menyebutkan bahwa perjuangan Demang Pagedangan Nairem berpusat di beberapa titik strategis di Cirebon dan sekitarnya. Desa-desa seperti Pagedangan, Kedondong, hingga wilayah pesisir menjadi benteng perlawanan. Dengan taktik gerilya, mereka menyerang pos-pos Belanda, menyabotase jalur logistik, dan memutus komunikasi antar-garnisun kolonial.
Tak mudah bagi Belanda untuk menumpas perlawanan ini. Meskipun mereka memiliki pasukan yang lebih modern, mereka kesulitan menghadapi serangan gerilya yang datang tiba-tiba lalu menghilang ke rimba. Arsip Belanda mencatat bahwa perlawanan di Pagedangan berlangsung sengit. Pasukan Belanda harus mengerahkan bala bantuan dari Batavia untuk meredam gelombang perlawanan ini.
Namun, meski perlawanan ini begitu gigih, akhirnya Belanda berhasil merebut kembali kendali atas wilayah Cirebon. Demang Pagedangan Nairem ditangkap setelah pengepungan panjang yang melelahkan. Ia dibawa ke Batavia untuk diadili, dan seperti banyak pejuang lainnya, namanya perlahan menghilang dari ingatan publik.
Pelajaran dari Perlawanan
Sejarah selalu menyimpan ironi. Pejuang seperti Demang Pagedangan Nairem, yang mempertaruhkan nyawa untuk kebebasan rakyatnya, justru jarang disebut dalam buku pelajaran atau monumen besar. Padahal, kisahnya bukan sekadar cerita lama yang bisa dikubur begitu saja.
Perang Cirebon Raya 1888 mengajarkan kita bahwa perlawanan bukan hanya soal senjata, tapi juga soal keberanian untuk berkata tidak pada ketidakadilan. Demang Pagedangan Nairem mungkin tak lagi ada, tapi semangatnya tetap hidup dalam ingatan mereka yang masih peduli pada sejarah.
Jika kita tak ingin kisah seperti ini menguap begitu saja, sudah saatnya kita menghidupkan kembali narasi-narasi yang terlupakan. Bukan hanya sekadar mengenang, tapi juga mengambil hikmah—bahwa setiap zaman punya pertarungannya sendiri, dan keberanian adalah mata uang yang tak pernah kehilangan nilainya.