Perppu Ormas, HTI dan Jejak Digitalnya
Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang No. 2 Tahun 2017 yang diteken tanggal 10 Juli 2017 yang lalu oleh Presiden Jokowi, dan kemudian disampaikan langsung oleh Menkopolhukam Wiranto pada tanggal 12 Juli 2017 kemarin dinilai sebagai salah satu cara Pemerintah untuk membubarkan Ormas yang dinilai anti-Pancasila, salah satunya HTI.
Pembubaran HTI sendiri, sebenarnya sudah diwacanakan, disampaikan melalui pernyataan pers oleh Menkopolhukan Wiranto tanggal 8 Mei 2017 alias dua bulan lalu, dengan tiga pertimbangan. Pertama, sebagai ormas berbadan hukum, HTI tidak melaksanakan peran positif untuk mengambil bagian dalam proses pembangunan guna mencapai tujuan nasional. Kedua, kegiatan yang dilaksanakan HTI terindikasi kuat telah bertentangan dengan tujuan, asas, dan ciri yang berdasarkan Pancasila dan UUD Negara Republik Indonesia tahun 1945 sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2013 tentang Ormas. Ketiga, aktivitas yang dilakukan HTI dinilai telah menimbulkan benturan di masyarakat yang dapat mengancam keamanan dan ketertiban masyarakat, serta membahayakan keutuhan NKRI.
Namun, setelah pengumuman pernyataan pers dua bulan lalu tersebut, Pemerintah terkesan lembek sekali dalam urusan ini, setidaknya seperti yang disampaikan oleh Ketum GP Ansor, Gus Yaqut.
Pasca terbitnya Perppu ini reaksi masyarakat pun beragam, yang pro maupun kontra. Buatku pribadi, Perppu Ormas ini memang ngehek dan gak ada manfaatnya bagi iklim demokrasi, tapi dalam konsep fiqhiyah, dia memenuhi kaidah dar’ul mafashid muqaddamu ‘ala jalbil mashalih.
Lebih jelasnya, bisa dibaca dan diamati jejak-jejak digital HTI, berikut ini:
HTI yang di hari-hari yang lalu, menganggap negara ini sebagai negara thaghut alias negara setan, yang menerapkan hukum thaghut alias hukum setan. Dan HTI punya panacea yang bernama Daulah Khilafah Islamiyah.
Sistem demokrasi yang kita percaya sebagai praktik ekspresi politik yang terbaik di antara yang terburuk, oleh HTI di hari-hari yang lalu, dianggap sistem kufur alias sistem kafir alias sistem yang membawa ummat kepada kekafiran alias mengantar sampeyan, dia, mereka, saya, dan kita semua pada neraka! Buat HTI tidak ada jalan selamat, selain meninggalkan demokrasi dan kembali ke pangkuan Islam dalam Naungan Daulah Khilafah Islamiyyah sekaligus dengan kesadaran penuh bahwa demokrasi bertentangan secara diametral dengan Islam!
Bahkan lebih jauh, HTI pun juga tidak percaya dengan sistem Pemilu dalam konteks demokrasi, bukan semata-mata karena dianggap bagian sistem kufur alias sistem kafir alias sistem yang menurut mereka menjerumuskan kita ke neraka, tapi juga karena Pemilu tak akan membawa perubahan apa-apa, alias tidak ada gunanya. Lugasnya, HTI berpandangan bahwa “Mengharapkan terjadinya perubahan, apalagi kemenangan Islam, melalui Pemilu jelas tidak mungkin. Daripada berharap pada sesuatu yang tidak mungkin, lebih baik seluruh potensi umat dikerahkan untuk membangun ‘jalan baru’ (baca: Daulah Khilafah Islamiyyah)”.
Lebih vulgar lagi, HTI terang-terangan bahwa mereka tidak peduli dengan kedaulatan rakyat, yaa kedaulatan sampeyan, dia, mereka, saya dan kita semua! Buat mereka yang terpenting itu adalah Kedaulatan Syariah. Dengan pertimbangan itu pula, HTI menganggap DPR sebagai wakil rakyat hanya klaim dan oleh karena itu pula, sekali lagi HTI menyerukan: Kembalikan Kedaulatan Syariah!
Sekali lagi, atas nama dan demi mengembalikan kedaulatan syariah alias menegakkan Daulah Khilafah Islamiyyah, HTI pun menyeru militer mengambil alih kekuasaan untuk menegakkan khilafah. Lugasnya alias terang-benderangnya, bisa terlihat dari pernyataan Ketua DPP HTI Rokhmat S Labib berikut: “Wahai tentara, wahai polisi, wahai jenderal-jenderal tentara Islam, ini sudah waktunya membela Islam, ambil kekuasaan itu, dan serahkan kepada Hizbut Tahrir untuk mendirikan khilafah!”
Kemudian, jika betul HTI dibubarkan berdasarkan Perppu ini, atau tepatnya dikenai sanksi administratif dan/atau pidana, khususnya dengan melihat Pasal 59 ayat (4) huruf c Perppu ini, maka menurutku, tindakan yang dilakukan oleh Pemerintah adalah bukan hanya dalam rangka melindungi kedaulatan Negara Kesatuan Republik Indonesia berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 sekaligus menertibkan ormas-ormas agar sesuai asas dan tujuannya sesuai dengan Pancasila dan UUD 1945, tapi juga bisa mengembalikan HTI pada khittahnya, habitat alamiahnya, sebagai PARTAI POLITIK – BUKAN ORMAS yang berideologi Islam sesuai Manifesto Politiknya.
Akhirnya, karena aku bukan orang HTI yang menganggap demokrasi sebagai sistem kufur yang sesat dan menyesatkan; maka aku secara demokratis mempersilakan sahabat-sahabat untuk feel free, bersepakat atau tidak bersepakat denganku.
DR Mahmud Syaltout, Pengurus PP GP Ansor
(suaraislam)