Selayang Pandang Sejarah Nahdlatul Ulama di Jawa Barat
Sejarah sebagai peristiwa sosial, merupakan sumber pelajaran berharga untuk dapat memahami masa lalu, masa kini dan juga merancang masa depan. Kearifan dan kecerdasan dalam memahami sejarah, merupakan modal awal dalam merancang masa depan yang lebih baik. Seiring dengan hal tersebut, apabila kita mengenal pepatah yang menyatakan bahwa pengalaman adalah guru yang terbaik. Maka sesungguhnya murid yang terbaiknya adalah mereka yang memiliki kecerdasan untuk memetik pelajaran dari pengalaman sejarah bangsa, negara serta daerah lokalnya. Dengan demikian, kemampuan untuk membaca sejarah diharapkan mampu mengkontruksi masa depan yang lebih baik.
Pada saat kita tengah membenahi kondisi bangsa dan negara, serta merancang masa depan Indonesia yang lebih baik, maka pemahaman terhadap kondisi sejarah lokal sebagai sub bagian dari sejarah nasional menjadi hal yang sangat penting. Untuk itulah redaksi mencoba menampilkan sebagian tulisan tentang sejarah NU di Jawa Barat yang ada dalam buku “NU Jawa Barat Sejarah dan Perkembangannya” Hasil karya Tim LTN NU Jawa Barat. Mudah-mudahan ada guna dan manfaatnya bagi para pembaca.
[toc]Sejarah adalah bagian dari sebuah pergerakan manusia. Sejarah juga adalah ide-ide. Karenanya, sejarah adalah kehidupan itu sendiri. Kamis, 16 Juni 1938. Saat itu, sekira pukul 13.00 WIB terdengar sebuah dentuman bom di sekitar Caringin Menes Banten Jawa Barat (kini masuk Provinsi Banten). Namun aneh. Tak ada histeria warga. Tak ada jeritan kesakitan atau raungan merana dari orang-orang sekitar daerah ledakan bom itu. Padahal yang meledak itu adalah betul-betul bom, bukan bom dalam pengertian kiasan. Sebaliknya, warga malah bersorak-sorai. Raut muka mereka menunjukkan kegembiraan yang kuat. Tua-muda, pria-wanita, dengan wajah sumringah malah semakin berusaha mendekat pada sumber suara ledakan itu.
Jangan salah menerka. Memang, ledakan itu bukan serangan bom Belanda yang memang sudah sejak dua-setengah abad lebih masih bercokol di Bumi Pertiwi. Namun sebuah tanda permulaan “pesta besar” dimulai. Saat itu adalah waktu yang sangat istimewa. Hari itu sebuah pertemuan para “petinggi” Nahdlatul Ulama (NU) berskala Nasional digelar di Caringin Menes. Benar, NU pada saat itu menggelar Kongres (kini, Muktamar) yang ke-13.
Pawai NU Pertama di Jawa Barat
Disaksikan ribuan warga, ratusan kiai-ulama NU sejak Banyuwangi hingga Labuhan Banten berkhidmat mengikuti musyawarah menentukan langkah NU ke depan bagi kepentingan Jam’iyyah NU sendiri maupun kontribusinya bagi kepentingan bangsa yang saat itu masih didzalimi kaum penjajah.
Sebelumnya, puluhan ribu masyarakat siswa-siswi Madrasah Mathlaul Anwar Nahdlatul Ulama (MA-NU) yang mayoritas datang dari pelosok Banten dan sebagian Lampung, bergerak bersama dalam langkah penyambutan Kongres NU di jalan-jalan kecil dan besar. Derap langkah para pemuda pemegang panji-panji kebesaran NU mengepulkan debu jalanan bercampur dengan tetes keringat yang mengucur seperti kerasnya muntahan semangat perjuangan gegap-gempita kegembiraan dalam dada mereka menyambut dilangsungkannya hajat besar itu.
Pawai itu adalah pawai NU pertama di Jawa Barat. Pawai itu adalah yang terbesar dari sekian banyak aktifitas rapat akbar NU pertama di Jawa Barat. Sangat luar biasa. Siapa gerangan “sohibul bait” yang bergerak di belakang layar acara gempita itu?
Perhelatan sangat besar itu digelar atas dukungan penuh KH Mas Abdurrahman, seorang tokoh pendidikan Islam yang kemudian mendirikan Mathlaul Anwar (MA). Selain saat itu KH Mas Abdurrahman menjabat Ketua Syuriyah NU Cabang Menes Banten, kiai sederhana dengan pikiran sangat maju inipun sebenarnya adalah salahseorang “bidan” yang ikut melahirkan NU bersama-sama KH Hasyim Asy’ari, KH Wahab Chasbullah dan sejumlah kiai-ulama lainnya, meskipun mungkin secara tidak langsung. Sejumlah nama para pendiri NU yang disebut terakhir itu adalah teman sejawatnya ketika KH Mas Abdurrahman mukim di Mekkah Al-Mukarramah dalam rangka berguru ilmu agama untuk sekian lamanya.
Kenyataan ini yang selanjutnya patut diambil hikmahnya: Ada semacam isyarat sejarah dan zaman yang memberikan suatu predikat tersendiri bagi perhelatan NU di Menes itu.
Kisah dentuman bom (dikutip dari buku “Verslag Congres Nahdlatoel Oelama”, terbitan HBNO Surabaya, 1938) itu nyatanya merupakan awal sebuah perhelatan NU di Jawa Barat yang kemudian —menurut sejumlah orang— menjadi satu momentum dan monumen sejarah pertumbuhan dan perkembangan NU secara formal di Jawa Barat.
Benarkah demikian? Wallahu a’lam bishshawab.
Harus ada pembuktian sejarah yang akan mendukung pendapat sejumlah orang tersebut ketika warga NU Jawa Barat hendak mengorek akar sejarah pertumbuhan dan perkembangan NU di Jawa Barat. Teori yang menyebutkan bahwa secara formal (sekali lagi, secara formal) peristiwa itu merupakan tonggak pertumbuhan dan perkembangan NU di Jawa Barat dimulai dari Menes, tak bisa dinafikan begitu saja karena ia memiliki alasan-alasan sejarah yang cukup kuat dan kongkret sebagaimana yang bisa kita lihat dari kisah dentuman bom di atas.
Namun persoalannya akan menjadi lain ketika kita mencoba mengorek informasi sejarah tentang sejak kapan NU masuk ke Jawa Barat dan pertumbuhannya kemudian. Sangat sulit menjawab pertanyaan tersebut mengingat hampir-hampir tak bisa ditemukan catatan tertulis yang mengisahkan cerita sekitar itu. Sumber-sumber sejarah melalui jalur cerita dari mulut ke mulut (metode oral) pun nyatanya hanya sedikit sekali yang bisa dikumpulkan.
Benar, ada sejumlah catatan yang bisa kita rujuk menyangkut kepentingan pengumpulan informasi sekitar pertumbuhan dan perkembangan NU tersebut. Namun itu bisa dihitung dengan jari sebagaimana diungkapkan KH Musthofa Bisri, Rembang Jateng. (Lihat, pengantar buku “Menapak Jejak Mengenal Watak, Sekilas Biografi 26 Tokoh Nahdlatul Ulama”). Buku-buku itupun nyatanya lebih dominan mengungkap tokoh-tokoh sejarah NU yang berada pada level nasional dan hampir semuanya (maaf) sangat Jawa (Jawa Tengah dan Jawa Timur).
Kepentingan Penelusuran Sejarah NU
Sejauh wacana kepentingan penelusuran sejarah NU, kita hanya akan menemukan sejumlah buku yang dihasilkan oleh penulis-penulis NU yang sangat terbatas jumlahnya. KH Musthofa Bisri mencatat sejumlah buku yang mengisahkan tokoh-tokoh NU itu, di antaranya buku “Sedjarah Hidup KHA Wahid Hasyim dan Karangan Tersiar” yang ditulis oleh H Aboebakar, Kepala Bagian “D” Kementerian Agama RI berdasarkan SK Menteri Agama RI KH Mohammad Ilyas. Kemudian buku tentang (biografi) KH A Wahab Chasbullah yang ditulis Prof. KH Saifuddin Zuhri, tentang (biografi) KH Bisri Syansuri oleh KH Abduurahman Wahid (Gus Dur), tentang (biografi) KH Ma’shoem Lasem yang ditulis oleh Sayyid Haidar, tentang (biografi) KH R Asnawi Kudus yang disusun oleh keluarga beliau sendiri.
Biografi KH Hasyim As’ari sendiri justru baru bisa dikorek secara lebih lengkap dalam buku cetakan Kuwait karya Sayyid Muhammad Asad Syihab yang berjudul “Al-‘Allaamah Asy-Syeikh Muhammad Hasyim Asy’ari Waadli’ulabinati Istiqlaali Indonesia” (Maha Kiai Muhammad Hasyim Asy’ari Peletak Batu Pertama Kemerdekaan Indonesia).
Hanya KH Syaifuddin Zuhri, satu dari sedikit tokoh NU, yang paling banyak menulis sekitar biografi dan kisah (sejarah?) tokoh kiai-ulama yang berkiprah secara luar biasa untuk kejayaan NU di masa lalu. Sedikitnya tiga buah buku mengenainya pernah ditulisnya, yakni buku “KH Abdul Wahab Chasbullah, Bapak dan Pendiri NU”, buku “Guruku Orang-orang dari Pesantren” dan buku “Berangkat dari Pesantren”.
Namun sayang, perspektif penokohan kiai-ulama Jawa (Jawa Tengah dan Jawa Timur) dalam buku-buku itu sangat dominan. Sementara tokoh-tokoh kiai-ulama Jawa Barat (Sunda-Cirebon?) sejauh itu belum terakomodasi secara baik dan lengkap. Inilah yang menjadi sebab betapa kesulitan memonumentalisasikan profil tokoh-tokoh NU Jawa Barat yang daripadanya kemudian akan terurai pula sejarah masuk, pertumbuhan dan perkembangan NU di tatar Jawa Barat yang meliputi Tanah Priangan dan Cirebon.
Bersyukur, belakangan ditemukan sedikit catatan sejarah perjuangan kiai-ulama NU Jawa Barat dalam buku “Menapak jejak Mengenal Watak.” yang diterbitkan Yayasan Saifuddin Zuhri, tahun 1994. Sayang memang, dalam buku setebal 400 halaman itu, hanya bisa didapatkan tiga bagian tulisan biografi saja yang secara khusus mempersembahkan sejarah dan kiprah perjuangan kiai-ulama Jawa Barat dalam konteks pertumbuhan dan perkembangan NU. Ketiganya yakni biografi KH Mas Abdurrahman (1875-1942, baca “KH Mas Abdurrahman; Menyatukan NU dan Mathlaul Anwar”, hal. 73), biografi KH Abbas (1879-1946, baca “KH Abbas; Mutiara dari Buntet Pesantren”, hal. 89) dan biografi KH Zainal Mustafa (1907-1944, baca “KH Zainal Mustafa; Pejuang dari Sukamanah”, hal. 225). Sementara sebuah biografi lain, yakni tentang KH Mahrus Ali (1906-1985) hanya dikutip sedikit karena berselarasan dengan daerah asal kelahiran kiai pengasuh Pondok Pesantren Lirboyo Kediri Jawa Timur itu, yakni Gedongan Cirebon.
Padahal kita semua mafhum, NU besar bukan hanya lantaran kiprah para kiai-ulama Jawa Tengah atau Jawa Timur saja. Sedikit banyak kiai-ulama Jawa Barat pun ikut serta berperan melahirkan, menumbuhkan dan membesarkan NU.
Patut bersyukur memang, ketika belakangan ada “sedikit informasi” tambahan sekitar peran dan ketokohan kiai-ulama Jawa Barat yang terakomodir dalam sebuah catatan tertulis. Dua buah buku yang diterbitkan tahun 1998 dan 2000, bisa sedikit membuka jalan ke arah penelusuran sejarah itu. Kedua buku tersebut adalah “Tiga Tokoh Lirboyo” yang menguak kisah-sejarah perjuangan tiga kiai kharismatik yakni KH Abdul Karim, KH Mahrus Aly dan KH Marzuki Dahlan yang diterbitkan Badan Pembina Kesejahteraan Pondok Pesantren Lirboyo tahun 1998 dan buku “Perlawanan dari Tanah Pengasingan; Kiai Abbas, Pesantren Buntet dan Bela Negara”. Meski kedua buku tersebut tidak mengungkap secara khusus peran dan kiprah kiai-ulama Jawa Barat dalam masa kelahiran dan pertumbuhan NU, namun keduanya bisa sedikit memberi gambaran tentang hal dimaksud. Dalam buku kedua bahkan hanya didapatkan satu bab saja yang bisa menjembatani kelangkaan informasi tersebut dengan kisah perjuangan kiai asal Jawa Barat (Cirebon), yakni KH Mahrus Aly, di antara kisah panjang dua kiai lainnya. Kendatipun demikian dalam pola penelusuran sejarah para kiai berikut kiprah organisasinya, keduanya bisa berpeluang memberikan gambaran agak terperinci sekitar hubungan pesantren dan personel kiai-santri dalam kaitan sejarah kelahiran dan pertumbuhan NU.
Hubungan Kepesantrenan
Lantas apa yang bisa kita buat dengan data dan keterangan sangat minim dalam kaitan dengan “gugatan” kalangan nahdliyyin Jawa Barat yang menuntut ada runutan sejarah dan kiprah tokoh-tokoh NU di daerahnya (Jawa Barat)?
Untuk sedikit membantu menguak tabir kesejarahan itu, nampaknya kita harus membuka catatan perjalanan para kiai-ulama (dahulu) yang hidup di kitaran pergumulan pemikiran perlunya lambaga umat pengamal Ahlussunnah wal Jama’ah. Khususnya pada perjalanan pendidikan sejumlah kiai Jawa Barat yang secara nyata berada —atau setidak-tidaknya— bersamaan dalam kitaran waktu kelahiran NU, tanggal 31 Januari 1926, sebelum dan atau sesudahnya.
Nyatanya, catatan hubungan pesantren dan kiai-santri ini menjadi sangat penting mengingat dari sektor inilah penelusuran sejarah bisa dimulai. Kita sebut misalnya hubungan Buntet (Cirebon Jawa Barat)-Tebuireng (Jombang Jawa Timur) pada masa kejayaan KH Hasyim Asy’ari dengan sejumlah santri seperti terwakili oleh KH Abbas bersama sang adik, KH Anas. Sayang memang, tak ada catatan tahun secara pasti yang menyebutkannya. Namun yang pasti hal itu terjadi jauh sebelum dilahirkannya NU.
Selain berguru kepada KH Hasyim Asy’ari, KH Abbas pun nyatanya berteman baik dengan KH Wahab Chasbullah yang saat itu sama-sama sedang “nyantri” kepada KH Hasyim Asy’ari. Kekentalan hubungan keduanya lantas berlanjut di Tanah Suci Mekkah Al-Mukarramah ketika keduanya belajar di sana. (KH Wahab Chasbullah, belakangan kita yakini adalah sosok kiai kharismatik yang demikian intens membangun gagasan dan seterusnya mewujudkan kelembagaan NU).
Hubungan pertemanan itu lantas semakin diikat dengan keterlibatan keduanya dalam beragam diskusi pemberdayaan pesantren dan upaya memerdekakan bangsa dan negara. (Baca: “Perlawanan dari Tanah Pengasingan”). Bersamaan dengan munculnya Sarekat Dagang Islam (SDI) pada tahun 1905 yang didirikan H Samanhudi (almuni Pesantren Buntet) dan kemudian berubah menjadi Sarekat Islam (SI), maka pada tahun 1914 atas restu KH Hasyim Asy’ari, KH Wahab Chasbullah menggulirkan forum diskusi “Taswirul Afkar”. Forum ini kemudian berubah nama menjadi “Nahdlatul Wathon” (Kebangkitan Tanah Air), pada tahun 1916. Lembaga baru itu kemudian berhasil mengagas dan melembagakan sekolah-sekolah dengan kurikulum yang mendobrak tradisi, yakni dengan cara memasukkan pelajaran-pelajaran umum ke dalam proses belajar mengajar di pesantren yang sebelumnya hanya menggunakan metode pengajian “bandungan” dan “sorogan”. Muncullah sejumlah madrasah yang berembel-embel nama di belakangnya dengan kata “Wathon” seperti “Madrasah Ahloel Wathon”, “Madrasah Faroel Wathon”, “Madrasah Hidayatul Wathon” serta “Madrasah Khitabatul Wathon”.
Tak ditemukan keterangan jelas kiprah langsung KH Abbas dalam aktifitas “Nahdlatul Wathon”. Namun yang menarik justru muncul sebuah nama kiai asal Leuwimunding Majalengka Jawa Barat di tengah-tengah aktifitas lembaga itu, yakni KH Abdul Halim [1. KH Abdul Halim dalam catatan sejarah NU yang ditulis oleh Al-Maghfurlah KH. Achmad Masduqi Mahfudz masuk dalam susunan pengurus “JAM’IYYAH NAHDLATUL ULAMA” pada tanggal 31 Januari 1926 M. atau 16 Rajab 1345 H. Lihat pada link ini.]. Dalam lingkaran forum itu KH Abdul Halim menyatu bersama kiai-kiai lain seperti KH Bisri Syansuri, KH Alwi Abdul Aziz, KH Ma’shoem dan KH Cholil (Lasem) dll. (Baca: “Menapak Jejak Mengenal Watak”).
Meski demikian, kita bisa diambil logika keselarasan dengan menyuguhkan komunikasi intelektual yang secara tertib tetap dipertahankan sejak jaman pertemanan dahulu. Hal itu lantas lebih diperkuat dengan kiprah KH Abbas yang kemudian membuka sekolah dengan nama “Madrasah Ibnoel Wathon” di Buntet Pesantren. Dan belakangan kemudian kita ketahui bahwa keberangkatan KH Abbas ke Tebuireng juga tak lepas dengan keberadaan KH Abdul Halim (Majalengka), sebagaimana kemudian terkisahkan dengan baik ketika KH Hasyim Asy’ari memanggil keduanya ke tengah pergumulan pemikiran dalam perbincangan bangsa di Tebuireng Jombang.
Setelah melewati pergantian nama “Taswirul Afkar” menjadi “Nahdlatul Wathon” dan kelengkapan seafiliasi lewat “Subbanul Wathon” (Pemuda Tanah Air), maka terbentuklah embrio “Nahdlatul Ulama” (Kebangkitan Ulama) setelah menjejaki perkembangan organisasi lewat “Komite Hijaz”, sebuah lembaga yang dibangun atas dasar gugatan para kiai-ulama pesantren sebagai buntut diabaikannya keterlibatan mereka dalam kongres menyangkut soal khilafat di Turki maupun di Arab Saudi. NU adalah tindak lanjut lembaga tersebut setelah melalui proses pemikiran panjang disertai proses ritual-spiritualitas KH Hasyim Asy’ari dan KH Cholil (Madura).
Keterlibatan “orang Jawa Barat” dalam kancah pemikiran di sekitar berdirinya NU sebenarnya tak bisa dilepaskan. Meski dalam kuantitas sangat terbatas dibanding kiai asal Jawa Timur dan Jawa Tengah, namun warga Jawa Barat pun nyatanya berperan serta membidani kelahiran NU lewat kehadiran dan kiprah KH Abdul Halim asal Leuwimunding Kab. Majalengka.
Drs HAE Bunyamin dalam bukunya “Awal Berdirinya NU di Tasikmalaya” (PCNU Kab. Tasikmalaya, 2000), menyebutkan, menyusul pembentukan Komite Hijaz maka terjadi perluasan wacana lewat permusyawaratan di rumah KH Wahab Chasbullah di Kampung Kertopaten Surabaya pada tgl. 31 Januari 1926 atau 16 Rajab 1344 Hijriyah. Dalam pertemuan khusus hadir sejumlah kiai besar seperti KH Hasyim Asy’ari (Tebuireng), KH Bisri Samsuri (Tambakberas Jombang), Raden Asnawi (Kudus), KH Ma’sum (Lasem) KH Ridwan (Semarang), KH Nawawi (Pasuruan), KH Nachrowi (Malang), KH Alwi Abdul Aziz (Malang), KH Abdul Halim (Leuwimunding Majalengka), KH Ndoro Muntoha (menantu KH Holil, Bangkalan Madura), KH Dahlan Abdul Kohar (Kertosono) dan KH Abdul Fakih (Gresik). (Baca: “Sejarah Kebangkitan Islam dan Perkembangannya di Indonesia” oleh KH Saifuddin Zuhri).
Pertemuan tersebut menghasilkan dua keputusan yang penting, yakni, pertama, peresmian dan pengukuhan berdirinya Komite Hijaz dengan masa kerja sampai delegasi yang diutus ke kongres umat Islam di Mekkah kembali ke Tanah Air (utusan itu terdiri dari KH Abdul Wahab Chasbullah dan Syekh Ahmad Genaim), dan kedua, membentuk jam’iyyah (organisasi) untuk wadah persatuan ulama dan tugasnya memimpin umat menuju terciptanya cita-cita izzul Islam wal muslimin. (Atas usul KH Alwi Abdul Aziz, jam’iyyah ini diberi nama “Nahdlatul Ulama” yang berarti “kebangkitan para ulama”).
Jika disimpulkan, kehadiran dan keberadaan KH Abdul Halim (Leuwimunding Majalengka) menjadi satu-satunya bukti dan wakil warga Jawa Barat yang secara langsung berada sangat dekat dengan prosesi berdirinya NU. Dengan demikian, maka dipastikan bahwa seorang kiai asal Jawa Barat pun menjadi salah seorang bidan kelahiran NU. Ialah KH Abdul Halim (Leuwimunding Majalengka) —nama ini harus selalu dirangkai dengan nama “Leuwimunding” mengingat ada dua nama besar lainnya yang persis sama asal Majalengka namun tak memiliki hubungan dengan organisasi NU. Pada perkembangan berikutnya, KH Abdul Halim (Leuwimunding Majalengka) secara struktural menjabat sebagai salah seorang Komisaris PBNU pada masa kepengurusan awal.
Dua Kebenaran
Jika merunut kisah tersebut, maka sejarah masuknya NU ke Jawa Barat bisa dikatakan bersamaan dengan lahirnya NU di Surabaya pada 31 Januari 1926, atau beberapa waktu saja sesudahnya. Meskipun mungkin itu baru tersosialisasi secara terbatas di kalangan kiai-ulama dengan basis hubungan Jawa Barat – Jawa Timur yang kuat. Selanjutnya pelan-pelan jam’iyyah itu merembet lewat pola hubungan santri-kiai di pesantren-pesantren yang semakin hari semakin intens bersamaan dengan semakin banyaknya santri dan kemunculan pesantren di berbagai daerah di Jawa Barat.
Pola pertumbuhan dan perkembangan NU melewati cara hubungan kiai-santri-pesantren di Jawa Barat untuk waktu yang cukup lama hanya membiaskan visi dan misi NU saja di kalangan umat secara tradisional. Waktu-waktu itu NU baru bisa menjadi organisasi eksklusif dan dikenal secara terbatas di kalangan umat.
Beruntung memang, karena sebagian wilayah Jawa Barat melakukan amaliah para Wali Songo —sebagai akibat dari gerakan pengislaman oleh Walisongo yang dimotori Syekh Syarif Hidayatullah (Sunan Gunung Jati)— maka perkembangan faham keagamaan yang diusung NU tidak mendapatkan kendala berarti. Dan itu mempermudah upaya-upaya sosialisasi secara integral apa dan bagaimana itu NU.
Kongres (Muktamar) NU ke-13 di Menes Banten juga memberi format lain bagi perkembangan NU di Jawa Barat. Seperti disebutkan di atas, perhelatan besar itu adalah bagian integral dari pertumbuhan dan perkembangan NU di Jawa Barat melewati pintu formal dan terbuka yang secara lebih umum memberi gambaran jelas sekaligus menggiring umat ke arah “pemelukan” lembaga NU. Apalagi dikaitkan dengan dukungan Mathlaul Anwar yang pada mulanya memandang hanya dengan NU-lah mereka bisa mengkolaborasi misi pendidikan keagamaan Islam. Padahal pada saat bersamaan Sarekat Islam (SI) mendekati Mathlaul Anwar agar mau bergabung dengannya. Namun karena diyakini ada beberapa perbedaan pandangan, KH Mas Abdurrahman menolaknya bergabung. (Baca: “Menapak Jejak Mengenal Watak”).
Jadi, terdapat dua pintu masuk yang sama-sama memiliki kekuatan alasan sejarah ketika kita akan mengungkap dan mengurai sejarah pertumbuhan dan perkembangan NU di Jawa Barat. Manakah yang lebih utama? Sejarah keduanya mengiyakan pertanyaan tersebut. Wallahu a’lam bishshowab.
Siapakah KH Abdul Halim?
Mengingat betapa besar peranan dan kiprah KH Abdul Halim (Leuwimunding Majalengka) dalam proses kelahiran NU, tidaklah berlebihan jika sosok KH Abdul Halim (Leuwimunding Majalengka) mendapat porsi sorotan lebih khusus dalam buku ini. Meski sumber data dan informasi hanya berdasarkan pada penuturan ahli warisnya, namun bagaimanapun akan sangat banyak manfaat yang bisa diambil dari kisah hidup seseorang yang hampir sepanjang hidupnya mengabdikan dirinya untuk kepentingan NU baik di tingkat lokal, regional maupun nasional.
Berdasarkan penuturan seorang putrinya, Ibu Farikhah yang diperkuat oleh cucu Mbah Halim —begitu selanjutnya kita sebut—, Agus Muhyiddin, diketahui bahwa KH Abdul Halim (Leuwimunding Majalengka) dilahirkan di Leuwimunding pada bulan Juni 1898. Sayang, tanggal kelahirannya tak bisa diketahui. Mbah Halim lahir dari pasangan Mbah Kedung Wangsagama dan Nyai Santamah. Tiga generasi buyutnyanya, masing-masing Buyut Kreteg, Buyut Liuh dan Buyut Kedung Kertagama, adalah tokoh-tokoh masyarakat pada masanya.
Sepanjang masa hidupnya, Mbah Halim pernah menikah dengan empat wanita yang lantas membuahkan sembilan putra-putri yang hidup hingga dewasa. Untuk pertama kalinya, Mbah Halim menikahi Nyai Hj Siti Rohmah. Dari perkawinan ini Mbah Halim tak dikarunia seorang anak pun. Kemudian menikahi Nyai Mahmudah asal Cilimus Kuningan. Dari perkawinannya dengan Mahmudah, Mbah Halim dikaruniai empat anak masing-masing Nyai Hj Chomsatun, Agus Hafidz Qowiyyun, H Ahmad Mustain dan H Mustahdi.
Selanjutnya Mbah Halim menikahi Nyai Konaah asal Plered Cirebon yang kemudian dikaruniai lima anak masing-masing Nyai Muntafiah, Nyai Hj Hudriyah, H Mustafid, Nyai Farikhah dan KH Syaifuddin. Berikutnya, Mbah Halim menikahi Nyai Dewi Halimah asal Sindanghaji Majalengka.
Usai mengikuti Sakola Raja (Praja, sekolah umum yang diikuti oleh kalangan tertentu pada zaman penjajahan Belanda) selama dua tahun, Halim kecil melengkapi pengetahuan agamanya dengan cara mengaji di sejumlah pesantren lokal. Hingga mencapai usia 15 tahun, Halim muda sebelumnya sempat belajar di pesantren Barada Mirat Leuwimunding dibawah bimbingan Mbah Buyut Harun.
Selanjutnya meneruskan mengaji ke Pesantren Trajaya Majalengka, sebelum kemudian belajar di Pesantren Kedungwuni Kadipaten Majalengka dan selanjutnya “masantren” di Kempek Cirebon.
Pada usia 16 tahun, sekitar antara tahun 1914, Mbah Halim mengikuti jejak kedua pamannya, yakni H Ali dan H Jen, berangkat ke Mekkah Mukarromah. Hingga tahun 1917, Mbah Halim melengkapi pengetahuan agama Islam di Tanah Suci bersama sejumlah “santri” lain asal Indonesia, salah satunya adalah KH Wahab Chasbullah. Bersamaan dengan Kiai Sulaeman yang asa sedaerah, Mbah Halim lantas pulang kampung dan —untuk sementara— tinggal di tanah kelahiran.
Hanya sekitar setahun, Mbah Halim kemudian merencanakan kembali mencari ilmu di sejumlah pesantren di Jawa. Atas saran Kiai Asdi (Pajajar Majalengka), Mbah Halim kemudian memutuskan berangkat ke Tebuireng Jombang Jawa Timur. Saat itu, Kiai Asdi mengatakan, “Dul Halim, jika mau mencari ilmu maka kamu harus pergi arah timur. Namun jika kamu ingin mencari dunia (maksudnya kekayaan, Red.), maka kamu hendaknya pergi ke arah barat.”
Pada tahun-tahun itulah Mbah Halim —kiai sepuh dan alim yang hanya punya dua baju dan dua sarung saja selama hidupnya ini— berhadapan langsung dengan ghirah (semangat) perkembangan pemikiran serta dialektika faham ahlu sunnah wal jamaah di tengah perjuangan keagamaan dan kebangsaan di Tanah Jawa. Sebagaimana diketahui di awal tulisan ini, Mbah Halim ikut aktif terlibat perbincangan serius menyangkut pentingnya sebuah lembaga (institusi) yang menjamin pelaksanaan kefahaman ahlus sunnah wal jama’ah hingga kemudian lahirnya Jam’iyyah Nahdlatul Ulama (NU).
Pada kitaran tahun-tahun kelahiran NU itu, Mbah Halim lantas disepakati pula menjadi salah seorang Komisaris PBNU. Dalam pentas politik pun Mbah Halim tak pernah ketinggalan sejak NU bergabung ke dalam Masyumi maupun ketika NU sendiri menjadi partai politik. Hingga pertengahan tahun 1972, Mbah Halim masih menjadi anggota Dewan Perwakilan Rakyat Gotong Royong (DPR-GR).
Akhirnya, begitu dituturkan Nyai Farikhah, tgl. 11 April 1972 itu Allah menentukan lain atas semua semangat hidup dan perjuangan Mbah Halim. “Hari itu kami semua dikumpulkan oleh Mbah Halim. Sekitar pkl. 08.00 itu, Mbah Halim minta dicucikan sehelai baju dan kain sarungnya karena hari itu ia akan pergi jauh. Sebelumnya Mbah Halim meminta kepada kami agar jangan ‘pasea’, harus ‘akur’ sesama para putra dan cucu.”
Sesaat kemudian Mbah Halim masuk biliknya. Istrirahat dan selanjutnya mengaji. Keluarganya memaklumi kalau hari itu Mbah Halim akan berangkat ke tempat yang jauh, sebab memang jadualnya besok Mbah Halim akan menghadiri pembubaran DPR-GR di Bandung. Pada kesempatan itu juga, Mbah Halim akan menerima semacam uang pesangon sebanyak Rp 100 ribu dari pemerintah.
Nyatanya, sekitar pkl. 11.00 itu Mbah Halim sudah dipanggil Sang Maha Kuasa. Tubuhnya tertelungkup hampir menindih lembaran kitab yang sedang dibacanya. Innalillahi wainna ilaihi roojiun. Salahseorang pendiri NU asal Jawa Barat itu telah berpulang dengan tetap membawa kesahajaan, kalau tidak dibilang kemiskinan yang tetap menghimpitnya.
Mengembangkan NU
Sayang memang, tak ada satu pun catatan khusus yang menyimpan semua kiprah Mbah Halim baik dalam kehidupan pribadinya maupun organisasinya. Satu-satunya bukti bahwa Mbah Halim terus bergerak maju tanpa lelah mengembangkan NU di Tatar Sunda, khususnya di Majalengka, adalah sekolah formal yang dirintisnya. Pada sekitar tahun 1963, Mbah Halim mendirikan Madrasah Ibtidaiyah Nahdlatul Ulama (MI-NU) —yang menjadi madrasah diniyah pertama di wilayah Kab. Majalengka. Tahun-tahun berikutnya, keluarga Mbah Halim kemudian melengkapi pula lembaga pendidikannya dengan mendirikan Madrasah Tsanawiyah Leuwimunding di bawah payung Yayasan Sabilul Halim.
Perkembangan lembaga pendidikannya, sayang, tak sepesat yang diharapkan banyak kalangan maupun keluarganya sendiri. Selain karena faktor manajemen yang hanya dikelola sendiri, persoalan politis juga menyebabkan sekolahnya selalu disorot dan akibatnya sering terjadi pasang surut. Karena keterlibatan Mbah Halim dalam aktifitas NU, kalangan politisi yang bersebrangan dengan visi politik Mbah Halim menjaga jarak. Masyarakat pun lambat-laun terpengaruh situasi politik yang berkembang dinamis, dan selanjutnya meninggalkan lembaga pendidikan itu.
Garis pemahaman logika kemudian harus kita sambungkan antara sejarah aktifitas Mbah Halim di puncak pimpinan NU dengan perkembangan NU selanjutnya di Tatar Sunda. Usai bergabung bersama sejumlah kiai dan ulama di Jawa Timur dalam babad perintisan NU, Mbah Halim dengan sendirinya mencoba mengembangkan di daerahnya.
Kisah pertemuan antara dirinya dengan KH Wahab Chasbullah dan KH Endang Zaenal Muttaqien pada tahun 1957, menjadi bukti betapa kiprah Mbah Halim tak bisa dinafikan. Saat itu Kiai Wahab mengundang Mbah Halim agar pergi ke Bandung. Di tempat itu sudah ada pula Kiai Endang Zaenal Muttaqien. “Dul, di antara sekian banyak para perintis NU hanya engkau yang belum punya pesantren. Jadi cobalah membuatnya,”kata Kiai Wahab sebagaimana ditirukan Nyai Farikhah yang mengutip ucapan Mbah Halim saat itu.
Karena Mbah Halim tak punya tanah untuk dijadikan area pondok pesantren, maka ketiganya kemudian sepakat untuk membelinya dengan cara yang aneh. Setelah ditemukan tanah kosong yang mau dijual pemiliknya seluas 1.610 m², Kiai Wahab kemudian meminta Kiai Endang Zaenal Muttaqien mencari solusi pembeliannya. Lewat cara urunan banyak orang NU, akhirnya tanah itu bisa dibeli dan langsung dijadikan area pendidikan Mbah Halim dan keluarga hingga kini.[]
thanks for your information
bagaiamana dengan sejarah munculnya NU di Kota Bandung Kyai?
Haturnuhun kasumpingan na…
Memang pembahasan yang melacak akar sejarah NU di kota Bandung yg beredar di internet agak langka Kang, di web ini hanya ada 1 artikel yang membahasnya. Sbb :
https://ltnnujabar.or.id/gerakan-samba-rihlah-khittah-mahbub-djunaedi-di-kota-bandung/
Kebanyakkan pembahasan model itu beredar dari mulut ke mulut sambi ngopi ala NU.. hehehe…
Alhamdulillah…..semoga jasa mbah halim barokah sampai akhir zaman. Peninggalannya terus maju dan berkembang. Amin..
Beliau pernah berkata nanti anak saya punya pesantren terbesar& alhamdulilah karomah beliau terwujud via anak nya yaitu prof.kh.asep saefudin chalim ,pendiri pp unggulan amanatul umah surabaya & mojokerto.