Surat Terbuka untuk Tengku Zulkarnain tentang Jubah vs Batik
Assalaamu’alaikum Warohmatullahi Wabarokaatuh.
Bismillaahirrohmaanirrohiim.
Allohumma Sholli ‘ala sayyidina Muhammad, wa ‘ala aalihi washohbihi ajma’in. Wa ba’du…
Semoga Allah swt senantiasa melimpahkan rahmatNya kepada Ustaz Tengku Zulkarnain.
Rasulullah saw bersabda:
من لبس ثوب شهرة في الدنيا، ألبسه الله ثوب مذلة يوم القيامة
“Barang siapa mengenakan pakaian syuhroh (nyeleneh/tidak lazim) di dunia, Allah akan memakaikan pakaian kehinaan untuknya di hari kiamat.”
Dalam riwayat lain ada tambahan, “Lalu dikobarkan api pada pakaian itu”.
Ada pula riwayat lain yang redaksinya jika diterjemahkan menjadi “Barang siapa mengenakan pakaian syuhroh maka Allah berpaling darinya sampai dia melepaskan pakaian itu.”
Redaksi lain yang diriwayatkan oleh Ibnu Abdil Barr, jika diterjemahkan berbunyi, “Barang siapa memakai pakaian syuhroh, Allah akan berpaling darinya meskipun dia seorang wali.”
Banyak sekali ulama yang memberikan penjelasan mengenai apa itu pakaian syuhroh, di antaranya Ibnu Taimiyah, Assyaukani, Abul Walid al-Bahji, Syaikh Abdul Qodir Al-Jilani, Ibnu Ruslan, dan lain-lain.
Jika penjelasan dari para ulama itu dirangkum, kita akan mendapatkan pemahaman bahwa pakaian syuhroh adalah pakaian yang tidak lazim dan terlihat aneh atau nyeleneh pada suatu masyarakat. Ketidak-laziman itu bisa jadi karena pakaian itu pakaian orang asing, atau warna dan bentuknya memang aneh dan terlalu menyolok, meskipun hasil kreasi orang setempat.
Pakaian syuhroh juga bisa berarti pakaian yang sengaja dipakai untuk menarik perhatian orang sehingga ia menjadi terkenal atau mendapat pujian; baik dipuji karena indahnya pakaian itu, atau dipuji karena buruknya pakaian itu sehingga ia dianggap sebagai orang yang zuhud terhadap dunia.
Al-Walid Al-Baji mengatakan bahwa Rasulullah saw tidak menyukai pakaian yang tidak lazim; yaitu pakaian yang membuat pemakainya terkenal karena jeleknya atau terkenal karena indahnya.
Adapun Assyaukani mengatakan bahwa jika suatu pakaian dimaksudkan untuk mengundang perhatian orang, bagus atau jelek, maka sama haramnya.
Ibnu Taimiyah menyatakan bahwa tuntunan dalam berpakaian adalah agar seseorang mengenakan pakaian yang lazim dan mudah didapatkan menurut warga daerah tempat dia tinggal.
Hadis di atas, dengan berbagai macam redaksi dan jalur riwayat, sangat terkenal di kalangan para ulama sehingga mereka berbicara mengenai hukum mengenakan pakaian syuhroh.
Ibnu Taimiyah berpendapat bahwa memakai pakaian syuhroh hukumnya haram. Adapun dalam mazhab Hanbali, memakai pakaian syuhroh hanya dianggap makruh, tidak sampai haram. Dalam madzhab Hanbali ada penekanan kata “pakaian yang tidak sesuai dengan daerah tempat tinggal.”
يكره لبس ما فيه شهرة, أو خلاف زي بلده من الناس
“Makruh memakai pakaian yang masuk kategori syuhroh, atau tidak sesuai dengan pakaian orang umum di suatu daerah/negara.”
Imam Ahmad pernah menyuruh orang mengganti pakaian karena pakaiannya tidak lazim, tetapi beliau tidak mengatakan itu haram, sambil memberitahu seandainya orang tersebut memakainya di Makkah atau di Madinah, maka beliau tidak akan menyuruhnya mengganti pakaian tersebut. Tetapi di tempat Imam Ahmad melihat orang itu, pakaian yang dikenakannya terlihat nyeleneh, sehingga masuk dalam kategori syuhroh.
Para ulama Kuwait sebagaimana dirangkum dalam mausu’ah fiqhiyah juga menganggap semua jenis pakaian yang tidak lazim dipakai suatu masyarakat tertentu, maka hukumnya makruh.
Perlu diketahui juga bahwa tidak semua yang bersifat tradisional pasti boleh dipakai, karena yang tradisionalpun, jika sudah tidak lazim dipakai, maka ia menjadi syuhroh juga.
Al-Hashin mengatakan bahwa Zubaid Al-Yami mengenakan Burnus, semacam jubah yang ada tudung kepalanya, tetapi oleh Ibrahim Annakha’i disalahkan. Al-Hashin membela Zubaid dengan mengatakan kepada Annakha’i bahwa orang dulu biasa memakai itu.
Annakha’i menjawab, “Ya benar, dulu orang-orang memakainya, tapi orang-orang itu sudah wafat semua. Kalau sekarang orang memakai burnus, maka akan jadi perhatian orang dan ditunjuk dengan jari sebagai orang aneh.”
Pernyataan Annakha’i ini menjelaskan bahwa pakaian tradisional suatu daerahpun, apabila sudah tidak lazim dipakai orang, maka ia termasuk syuhroh. Hal ini juga menunjukkan bahwa suatu gaya berpakaian bisa cepat berubah, bisa jadi hanya dalam hitungan satu generasi. Gaya berpakaian umat Islam di Nusantara pada abad ke 19 bisa jadi berbeda dengan abad ke 20, dan seterusnya.
Maka melihat cara berpakaian orang pada zaman dahulu, tidak bisa jadi alasan untuk meyakini bahwa cara berpakaian tersebut lebih utama dari zaman lainnya. Jenis dan bentuk pakaian, produk budaya negara tertentu, hasil kreasi bangsa tertentu, juga tidak menjadi acuan kebaikan dalam menilai cara berpakaian menurut agama.
Para ulama memberi batasan dalam berpakain yang diringkas dalam kata, Laa yashifu, walaa yasyiffu, walaa yaksyifu; “tidak menggambarkan bentuk tubuh (ketat), tidak transparan atau tembus pandang, dan tidak menyingkap aurat, kemudian ditambahkan ‘serta tidak syuhroh’.”
Syaikh Ali Jum’ah (Mufti Mesir bermazhab Syafi’i), mengatakan bahwa kebiasaan berpakaian Rasulullah saw memakai surban, membawa tongkat dan lain-lain yang lazim digunakan oleh masyarakat di tempat hidup Rasul saw pada zamannya, tidak boleh ditiru di semua tempat dan semua waktu.
Meniru gaya penampilan Rasul saw, di tempat yang tidak lazim memakai surban dan membawa tongkat bukanlah sunnah, tetapi justru termasuk syuhroh yang dilarang oleh nabi saw sendiri. Ini beda dengan sunnah memegang tongkat ketika khutbah, karena bagi sebagian ulama, hal itu merupakan urusan ibadah murni, bukan style berpakaian.
Maka tidak aneh jika Ibnu Taimiyah yang mengharamkan syuhroh-pun, menganggap ibadah tanpa memakai tutup kepala sebagai perbuatan munkar. Padahal di luar ibadah, tutup kepala bisa jadi masuk dalam kategori syuhroh pada zaman dan tempat tertentu.
Syaikh Abdul Qodir Al-Jilani juga menyatakan bahwa pakaian yang membuat orang jadi perhatian serta tidak sejalan dengan kebiasaan suatu daerah dan warganya haruslah dihindari.
Para ulama Sunni berpendapat bahwa seorang Muslim tidak selayaknya berpenampilan beda dari kebiasaan warga di mana dia tinggal dalam berpakaian, sepanjang pakaian yang biasa digunakan warga di situ tidak bertentangan dengan aturan agama.
Maka para ulama menganjurkan untuk meniru cara berpakaian Rasulullah saw itu dalam hal kesederhanaanya, bukan pada jenis rancangan busananya.
حيث كان الرسول متواضعاً في ملبسه بعيداً عن الخيلاء(
Rasulullah saw secara khusus berpesan agar umatnya kalau makan, minum, bersedekah, dan berpakaian janganlah berlebih-lebihan.
قال النبيصلعم : كلوا واشربوا وتصدقوا والبسوا ،في غير إسراف ولا مخيلة
Para ulama yang berbicara mengenai hukum memakai pakaian syuhroh ini mengaitkan larangan tersebut dengan potensi ghibah yang akan muncul dari orang-orang yang melihat keanehan pada orang-orang yang memakai pakaian syuhroh. Mereka juga mengaitkannya dengan sifat ujub dan suka dipuji dari si pemakai pakaian syuhroh.
Kalau potensi ghibah dan ujub dalam berpakaian saja dikhawatirkan oleh para ulama dan diperintahkan untuk dihindari, lalu apa kira-kira kata para ulama mengenai caci maki dan pertengkaran di media mengenai jenis pakaian mana yang paling agamis? Padahal jika sampai terjadi ghibah, si pemakai pakaian syuhroh ini dikatakan para ulama harus ikut menanggung dosa ghibah tersebut.
Jubah, sarung, daster, gamis, batik, kemeja, jas, kaos, atau apapun, bukan ukuran kebaikan dan kesalihan dan tidak bisa dijadikan sebagai acuan untuk menilai mana yang lebih religius jika dipakai. Juga tidak bisa dijadikan patokan untuk menilai mana yang lebih rendah nilai kesalihannya, asalkan tidak ada larangan syar’i padanya, misalnya bertuliskan makian, atau memuat gambar porno, gambar makhluk bernyawa secara utuh (bagi yang mengharamkannya), dan lain sebagainya.
Maafkan saya kalau terkesan mengajari, tetapi meributkan mana yang lebih baik dalam pandangan agama antara jubah dan batik, menurut saya bukan perkara yang sangat penting bagi ustadz masyhur seperti anda. Semoga Allah menyibukkan anda dengan hal-hal lain yang lebih bermanfaat. Dan karena anda ustadz terkenal, tentu tidak sulit merujuk kitab-kitab maroji’ apa saja yang menjelaskan masalah yang saya tulis di atas.
Wallahul muwaffiq ilaa aqwamitthoriq, Wassalaamu‘alaikum warohmatullahi wabarokaatuh.
Seorang Muslim biasa dengan laqob Alex Ramses.