AYO NGAJI 5: Barangsiapa Mengenal Dirinya, Dia telah Memiliki Kesadaran Batin kepada Allah SWT.
Oleh: Kyai Nur Kholik Ridwan.
Imam sufi Yahya bin Muadh al-Razi berkata:
“Man `arafa nafsahu `arafa rabbahu”.
Terjemah Jawa: “Sopo wong kang wis ngerti nafsune, wong mau ngerti marang Gusti Allah”.
Terjemah Indonesia: “Barangsiapa telah mengenal dirinya (mengerti kepada nafsnya) dia telah memiliki kesadaran batin kepada Allah”.
Kata-kata ini ada yang menyebut hadis Nabi seperti disebut Abu Nuaim dalam Hilyatu al- Auliyā, al-Munawī dalam Faidu al-Qadir, dan Al-Ajluni dalam Kashf al-Khafa’. Tetapi banyak juga yang menyebut bukan hadis Nabi, seperti al-Nawawi, Ibn Taimiyah, al-Zarkasyi, Ibn Aţaillah dan lain-lain. Al-Nawawi menyebut tidak punya validitas sebagai hadis nabi, dan Ibn Taimiyah menyebutnya sebagai hadis maudu’. Sedangkan al-Zarkasyi mengutip perkataan Imam al-Sam’ani, menyebutkan bahwa kata-kata ini dari ulama sufi terkenal yaitu Imam Yahya bin Muadh al-Razi.
Yang pasti, kata-kata ini sangat terkenal di kalangan para ahli tasawuf. Saya menemukan kata-kata ini dari naskah karangan Imam Yahya bin Muadh al-Razi, yaitu ketika membuka Kitab Jawahiru al-Ţashawwuf lil `Arif Billah al-Zahid wal Waiz Yahya bin Muadh al-Razi (Kairo: Maktabah al-Adab, 2002), yang dikumpulkan Said Harun, hikmah no. 6. Dan kata-kata ini dikutip oleh banyak ulama fiqh dan sufi, dan dirujukkan kepada imam ini. Salah satunya dikemukakan oleh Ibnu Hajar al-Haitamai dalam al-Fatawa al-Hadithah.
Shaikh Tajuddin Ibn ‘Aţaillah dalam Laţāif al-Minān menjelaskan bahwa ia mendengar gurunya Shaikh Abu al-Abbas al-Mursi mengatakan hadis ini mempunyai dua kandungan makna. Pertama, barangsiapa yang mengetahui sifat dirinya yang selalu diliputi oleh kelemahan dan ketergantungan kepada Allah SWT, niscaya ia akan kenal dengan kemahaberkuasaan, kemuliaan, serta keagungan Allah SWT. Sehingga dalam proses yang pertama ini seseorang harus mengenal dirinya terlebih dahulu, baru setelah itu dia bisa mengenal Tuhannya. Ini merupakan jalan orang-orang al-sālikīn (orang-orang yang tengah dalam perjalanan menuju Allah SWT). Kedua, barangsiapa telah mengenal dirinya, maka hal itu isyarat terhadap keyakinan bahwa ia telah mengenal Allah sebelumnya. Proses seperti ini biasanya diperoleh oleh mereka yang dijuluki dengan al-Majdhūbin (orang-orang yang fana dalam berzikir kepada Allah).
Dari kata-kata hikmah di atas, perhatikan penggunaan kata `arafa, bukan dengan `alima, meskipun sama-sama memiliki arti mengetahui atau mengenal, karena keduanya berbeda. Dari kata `alima, ahlinya disebut `ālim. Seorang `ālim membutuhkan bukti-bukti argumentasi, baik dengan logika atau dengan nash, dari sini seorang ahli fiqh, bisa disebut fāqihun `ālimun, dan kalau dia bertambah ma’rifatnya, diberi gelar fāqihun`ārifun. Sementara seorang arif tidak memerlukan bukti-bukti argumentasi, tetapi pembenaran. Ilmu yang didapatkan seorang `alim berasal dari ta’līm; dan ilmu yang didapatkan seorang arif berasal dari tazkiyat al-nafs. Seorang arif pekerjaannya adalah membersihkan penyakit-penyakit batin dan mengisinya dengan akhlak yang baik, dan seorang `alim menyusun argumentasi-argumentasi untuk menyusun dalil-dalil dan mengeluarkan kesimpulan-kesimpulan.
Imam Yahya bin Muadh al-Razi, bahkan mengatakan:
“al-ālim yad`ū ilā `amārati al-dunya ma`al `uqbā, wa al-hākim yad`ū ilā `amārati al- ākhirah wa khirabi al-dunyā, wal `ārif yad`ū ilā nisyāni al-dunyā ma`al `uqbā” (Jawahir, hlm. 23); intinya orang alim itu mengajak pada dunia dan mengingatkan balasannya, orang ahli hikmah mengajak pada akhirat dan menganggap dunia tercela, dan orang arif mengajak melupakan dunia dan balasannya.
Ibnu Arabi dalam bab ţaharah di dalam al-Futuhātu al-Makkiyah, menyebut ilmu-ilmu yang dibangun dengan pondasi logika, diibaratkan seperti air sungai, di sumbernya jernih di perjalanannya dia harus bersinggungan dengan pasir, limbah dan lain-lain. Sedangkan yang dibangun dengan pondasi ma’rifat, diibaratkan air hujan, di awal dan di perjalanannya juga sama, tetap jernih. Ilmu yang didapat dari ma’rifat menghunjam, dan tidak berubah-ubah, terpatri dan menghapus ilmu-ilmu yang sudah ada yang tidak memberi manfaat bagi dirinya; dan dia menjadi dasar dari ilmu-ilmu lain yang masih memiliki manfaat untuk gerak menurun membumi, sebagai pelayanan kepada Allah.
Perkataan Imam sufi Yahya bin Muadh al-Razi di atas, dengan menggunakan kata `arafa, maksudnya, orang yang telah disingkapkan oleh Allah tentang nafs-nya, artinya sudah mengenal, sudah berdialog dan mendengar kalam-kalam dari nafs itu sendiri, yang pancaran hidupnya juga dari Allah. Orang yang seperti ini, akan menyadari dan mengenal sejatinya manusia itu semu, dan tidak berkuasa apa-apa ketika kalam-kalam nafs dibukakan untuknya, tanpa bantuan dan pertolongan Allah untuk mengendalikannya, adalah kemustahilan.
Seorang murid bertanya kepada gurunya yang telah ma’rifat tentang nafs-nya, bagaimana hal itu terjadi, dan bagaimana cara mengendalikannya?
Sang guru menjawab,
Orang yang ma’rifat terhadap nafs-nya, dia akan tahu ciri khas nafs yang merupakan salah satu daya hidup di dalam diri manusia. Dalam tahap-tahap pertama, nafs memerintah manusia, dengan kalam-kalam yang menggelegar dan menjanjikan, dengan bala tentaranya setan yang terus menggoda. Nafs memerintah dan ingin dituruti hasratnya, yaitu hasrat keduniawian, seksual, dan sejenisnya, dan dia siap akan membantu dengan jalan yang tidak benar. Daya tariknya menawarkan kelezatan sesaat, tetapi selalu tidak puas, semakin senanglah nafs dan tentaranya. Segala jalan akan dilakukan nafs untuk melampiaskan hasratnya. Baik jalan ketaatan ataupun maksiat. Dengan jalan ketaatan nafs memasukkan benih-benih penyakit-penyakit hati, seperti ` ujub dan riya.
Tahap kedua, kalam-kalam nafs adalah kemarahan, di mana nafs akan menggelegakkan kemarahan, keinginan menimbulkan kerusakan, membalas dendam, dan sedapat mungkin merugikn orang lain, dengan menyombongkan dirinya. Nafs pun siap memberikan tentaranya untuk mendukung itu, yaitu dari golongan jin.
Orang-orang yang menekuni wirid dan riyadhah, dan telah dibukakan jangkauannya ke wilayah alam lain, pertama-tama akan dihantam oleh nafs dan bala tentaranya, sebagai batu ujian yang harus dilalui. Riyadhah dan wirid sangatlah tidak disukai oleh nafs dan bala tentaranya, maka manusia bisa saja tergelincir sebab salah niat.
Sebab manusia itu dalam niatnya, menurut imam Yahya bin Muadh al-Razi terbagi menjadi tiga: “rajūlun tashāghala bi al-dunyā `anillāh madhmūmān, wa rajūlun tashāghala bi al-ākhirah mahmūdān, wa rajūlun tashāghala billah `ammā dūnahu muqarraban marfū`ān” (hlm. 173), maksudnya yaitu, “orang yang sibuk dengan dunia tujuannya meraih dunia, dicela; dan orang yang sibuk dengan akhirat, dipuji; orang yang sibuk dengan Allah dari segala sesuatu selain Allah, orang seperti ini diangkat dan didekatkan pada Allah”.
Jadi, ada bermacam jenis orang yang melakukan riyadhoh dan wirid:
Pertama, niat dan riyadhohnya kurang kokoh, dalam sandarannya kepada Allah untuk taqarrub, dan malah mencari sesuatu untuk melampiaskan hasrat, ingin kaya, mencari materia lain, atau sejenis tujuan dunia lain, maka akan banyak dihantam oleh nafs dan bala tentaranya, dengan tawaran-tawaran yang menghancurkannya, tetapi tidak disadarinya.
Dan bila kalam-kalam nafs dituruti, dalam tahap-tahap pertama dibuka oleh Allah seseorang mampu mendengar kalam-kalam nafs, maka kalam-kalam nafs akan begitu kuat dan dahsyat, mendominasi sehingga kalam-kalam dari malaikat dan inspirasi dari Allah tidak memiliki wadah.
Nafs dan bala tentaranya akan menawarkan begini dan begitu, yang dzahirnya kemudian bertentangan dengan agama Nabi Muhammad SAW. Maka bala tentara nafs pun secara otomatis akan banyak mendatanginya, maka orang tersebut akan berhenti di alam jin, dalam upaya riyadhohnya. Ada yang terlena dengan menuruti tentara-tentara nafs ini, sampai melupakan bahwa sejatinya yang diminta harusnya adalah Allah.
Di sinilah pentingnya tetap bersandar kepada Allah, dan punya wirid keluar masuk nafs untuk bisa selamat dari gangguan tentara-tentara nafs, dibarengi doa terus menerus. Manakala orang tersebut tidak memiliki guru yang hidup, jin-jin itu menawarkan dan memerintah bergantian antara nafas dan tentara-tentaranya menghantam seseorang dengan pengecohan-pengecohan berbagai cara. Ada yang datang menawarkan sebagai hadiah riyadhah dengan ini dan itu.
Kalau sudah pada taraf ini terjadi, dan seseorang menurutinya, begitu banyak gangguan menghantam dan orang tersebut menuruti nafs-nya maka dia akan hidup dibarengi dengan kalam-kalam nafs dan jin.
Manakala dia tidak suka dan tetap bersandar kepada Allah, dengan doa, dan memiliki wirid yang berguru dari yang memiliki rantai ijazah dan baiat, maka orang ini akan kokoh, dengan rabithahnya kepada guru, nafs pun akan lunglai dan setan-setan tidak berani mengganggu; dan manakala seseorang yang dibuat oleh Allah untuk terbuka dengan alam lain, tetapi tidak memiliki guru dalam ijazah wirid dan baiat yang nyambung silsilahnya kepada Kanjeng Nabi, orang yang demikian akan diganggu jin-jin itu, dan akan berganti-ganti wirid, dan akhirnya hancur. Akhirnya dia bisa menuruti kalam-kalam nafs dan jin, menjadi budaknya jin.
Sampai taraf tertentu, kalau sudah seperti ini: ada yang kuat menghadapi kalam-kalam nafs itu dengan konsekuensi menurunnya keseimbangan tubuh karena harus melawan terus menerus kalam-kalam nafs dan jin yang tidak berhenti sepanjang waktu. Tujuan nafs dan jin membuat seseorang ragu terhadap Allah, terhadap Alquran, Kanjeng Nabi dan agama Allah, dan membuat lelah dengan kalam-kalam yang berpindah-pindah.
Karena orang seperti itu masih memiliki sandaran kepada Allah dan mohon belas kasih Allah terus menerus di hati kecilnya, dan nafs gagal membawa orang itu ke dalam bimbingan guru-guru jin, nafs itu pun akhirnya mengarahkan kepadanya dengan kemarahan-kemarahan kalamnya, untuk datang kepada seorang guru yang masih hidup agar memiliki wirid yang istiqamah. Karena nafs pada dasarnya juga dari Allah.
Dalam hal ini, wirid, rabithah kepada guru, dan berdoa terus menerus, akan mampu menghalau tentara nafs, dan nafs sendiri menyadari semakin tidak didengar kalam-kalamnya, menjadi lemas, dengan idzin Allah.
Kedua, manakala orang tersebut tidak kuat dan menghadapi kelemahan fisiknya dan kesadaran sudah taraf timbul tenggelam, akibat kalam-kalam nafs dan tentaranya dari jin yang sangat kuat menguras energinya dan mendominasinya, maka keluarganya atau orang yang dekat dengannya harus segera membawa orang ini kepada ahlinya, untuk dimintai bantuan sebagai wasilah, agar jin-jin itu bisa hilang dari dirinya, dan dicarikan cara agar orang itu kalau sukar tidur dibuat agar bisa tidur.
Ketika orang itu datang dibawa kepada seorang guru yang mampu soal ini, dia hanya akan bertahan tidak lama, manakala tetap kosong dan tidak memiliki wirid, lupa berdoa kepada Allah, dan tidak memiliki dzikir nafas, maka nafs dan bala tentaranya terus akan datang dalam kalam-kalam yang lebih keras. Maka, orang seperti ini, harus banyak mengamalkan istighfar dan sholawat terus menerus, lama-lama kalam nafs itu akan mengecil, karena pertahanan yang paling baik, adalah usahanya dengan membuat pertahanan diri sendiri dengan memohon pertolongan Allah, maka orang tersebut harus segera mencari guru untuk wirid dan berdisiplin dalam wirid, dan ditanamkan kuat untuk cinta kepada Kanjeng Nabi, mulai hidup seimbang di dunia, dan tidak banyak menyepi sendirian.
Orang seperti itu perlu datang ke masjid, majlis-majlis dzikir tertentu, dan kegiatan-kegiatan yang ada interaksi dengan manusia sambil memiliki dzikir nafas, dan akalnya difungsikan secara seimbang, dan tidak mempedulikan kalam-kalam nafs dan tentaranya, maka dengan izin Allah pula bersamaan dengan wirid yang dimilikinya kalam-kalam nafs pun mengecil.
Wirid-wirid dan dzikir-dzikir itu akan menjadi penasehat nafs, mengusir tentara-tentaranya, hingga orang tersebut sanggup menjaga keseimbangan dan menjadi pusat (pancer) bagi dirinya. Nafs itu sendiri tidak bisa mati, yang sejatinya adalah juga daya hidup yang berasal dari Allah, maka cukup dikuasai, ditundukkan, dan ditenangkan. Manakala orang tersebut masih ingat kepada Allah, di tengah-tengah kalam nafs dan jin yang datang itu, Allah juga selalu memperhatikan hambaNya, para malaikat juga memperhatikannya. Suara-suara dari kalam malaikat juga kadang masuk bergantian menasehatinya, daya hidup akal juga menasehatinya, tetapi karena kalam-kalam nafs dan tentaranya mendominasi, nasehat-nasehat dari daya hidup akal dan malaikat, menjadi kecil.
Hanya terus bersandar kepada Allah, dibarengi ibadah, wirid, dan doa kepada Allah agar diselamatkan di dunia dan akhirat, agar diberi belas kasih, kalam-kalam nafs dan tentaranya itupun akan lunglai.
Meski begitu, nafs juga belum mau tunduk, meskipun sudah kelihatan lemah. Maka kalam-kalam nafs akan mengganggu lewat jalan taat dan wirid dengan mengatakan percayalah pada wirid ini itu yang akan bisa mengalahkanku, dan carilah wirid sebanyak-banyaknya. Bisa jadi bujukan itu dituruti dan banyak sekali seseorang mencari ijazah wirid sebanyak-banyaknya, dan menganggap itu suara yang benar, sampai hidupnya hanya wirid, dan mempercayai keampuhan wirid, lupa pada sandaran kepada Allah. Tetapi setelah wirid dilakukan dalam jumlah sebanyak-banyaknya, kalam-kalam nafs ternyata masih muncul untuk mengombang-ambingkannya, di bawa dari satu wirid ke wirid yang lain, sampai akhirnya satu wirid copot, dan begitu seterusnya.
Akhirnya orang yang demikian dibawa oleh nafs pada pengetahuan, bagaimnana engkau percaya kepada Allah, wirid yang banyak saja tidak berguna untukmu dan tidak mengalahkan aku. Satu kali lagi, orang seperti itu dibuat lelah karena meladeni kalam-kalam nafs, dan merasa keliru karena mempercayai keampuhan wirid yang akan bisa mengalahkan nafs.
Akhirnya hanya kembali dan bersandar kepada Allah-lah yang menyelamatkannya. Istighfar dan doa silih berganti perlu dilakukan, dengan mengamalkan wirid dari ijazah atau baiat seorang guru. Di sinilah pentingnya menyadari bahwa wirid hanya wasilah, seharusnya dikerjakan secukupnnya dengan seimbang interaksi di keluarga dan masyarakat, yang penting pondasi-pondasi wirid sebagai benteng telah dimilikinya, juga memiliki dzikir nafas, sesuai dengan guru yang memberi, entah itu istighfar, sholawat dan sejenisnya.
Sehingga tidak perlu menuruti kalam-kalam yang menyeru untuk mewiridkan sepanjang waktu dalam jumlah puluhan ribu, yang akhirnya, hidupnya dilupakan dari upayanya untuk menurun ke bumi, berinteraksi dengan manusia, sebagai pencapain buah dari riyadhah. Maka disadari bahwa hanya Allah yang sanggup menghentikan kekerasan kalam-kalam nafs dan menjadi tenanglah ia. Dan dari sinilah tahap nafsu menjadi muţmainnah dan menghantarkannya untuk berpindah ke hati yang bisa menjangkau kelembutan ruh, sirr, dan sirrul asrar, dan pada saat yang sama orang itu sudah dzikir nafas. Dan doa orang itupun tidak henti-hentinya kepada Allah agar nafs-nya dirahmati Allah.
Begitulah seorang guru menceritakan kepada muridnya.
Maka kata `arafa rabbahu, menjadi jelas, manakala orang ma’rifat atas nafs-nya, dan nafs-nya murka dan marah, Allah memberikan kemurahan dengan menyambut-Nya, sampai ia punya dzikir nafas. Caranya Allah mengujinya lewat nafs dan tentara-tentara nafs, manakala orang itu sejak awal menyandarkan dirinya kepada Allah, bukan kepada niat dunia. Allah tidak akan membebani yang melampaui batas kemampuan.
Pada saat yang sama Allah ingin menunjukkan kemahaperkasaan-Nya, bahwa engkau tidak siapa-siapa, engkau masih bingung, engkau belum cukup, wadahmu belum cukup, dan engkau masih harus ditempa. Janganlah pertama-tama ingin terkenal. Karena nantinya buahnya tidak enak dimakan. Kata Ibnu Aţaillah, idfin wujūdaka fi arȡi al- humūl, agar buahnya bisa dirasakan olehmu dan orang-orang di sekitarmu. Buahnya adalah akhlak gerak menurun ke bumi dalam interaksi kepada manusia dan makhluk, yang dibarengi dengan munajat, wirid yang istiqamah dan mencintai kanjeng Nabimu.
Orang seperti ini disadarkan pula, jangan terlalu tergesa-gesa, bahkan ketika itu berhubungan dengan keinginan untuk bertemu Allah atau Kanjeng Nabi sekalipun. Kamu harus berfikir, soal wadah yang engkau punya. Sudah cukup apa nggak. Bagi Allah, alam semesta seluruhnya tidak mampu menampung-Nya, karena Allah itu meliputi segala sesuatu. Akan tetapi Allah bisa hadir di hati orang mukmin yang tulus dan jernih, dan itu adalah wadah yang tadi dimaksud.
Agar wadah bisa menjangkau dan bisa diwelasi Allah, nafs juga menjadi sarana Allah untuk menghantam dan menguji seseorang bagi mereka yang tergesa-gesa untuk sampai kepada-Nya. Hantaman nafs menyadarkannya, bahwa menempa wadah agar cukup dan bisa menjangkau kehadiran-Nya bi al-qalbi, harus dilalui dengan kesabaran, dan semakin jelaslah bahwa ketergesa-gesaan adalah muncul dari nafs; dan setelah itu orang tersebut melakukan disiplin suluk kembali secara istiqamah, juga berinteraksi kepada manusia dan ikut menjadi bagian dari muşlihīn.
Dari nafs itu pula, orang dibawa untuk beristighfar kepada Allah, karena sejatinya nafs, oleh sebagian guru ma’rifat, dilihat sebagai sarana kemurkaan Allah kepada seseorang, dimana dosa-dosa seseorang ada yang disegerakan. Dengan beristighfar terus sebanyaknya, orang itu diberi wawasan kesadaran lewat af’al Allah dan şifat-Nya dari jalan kemarahan nafs dan tentaranya, disertai dengan kemauan memeranginya, bahwa dia juga penuh dosa. Akhirnya dia menyadari bahwa Allah itu Maha Perkasa sekaligus Pemurah dengan ampunan-Nya, sementara manusia lemah, dan karenanya membutuhkan Allah.
Padahal sebelumnya manusia selalu menyombongkan dengan hartanya, dengan akalnya, dan dengan wawasan ilmu-ilmu sosial yang dimilikinya. Allah memberinya dan membentuknya menjadi manusia baru, lewat ma’rifat terhadap nafs-nya; dan itu jalan Allah membersihkan hatinya dan menyiapkan wadah dalam dirinya.
Dari nafs pula, orang dibawa untuk mencintai kanjeng Nabi, kelalaian untuk bershalawat dan tidak mau mengambil ijazah shalawat dari seorang guru, dan menyombongkan diri benar-benar dimurkai Kanjeng Nabi. Ada seseorang yang ingin bertemu Kanjeng Nabi tetapi tidak menyadari wadah dalam dirinya untuk menjangkau nur Muhammad, belum cukup dan tidak mau mudawamah shalawat. Ingin bertemu Kanjeng Nabi, tetapi setiap hari bertolakbelakang dan tidak berakhlak seperti Kanjeng Nabi, tidak mau berinteraksi dengan umat, dan keinginan itu hanya ada dalam pikiran saja, dan menyepi.
Dengan diberi kalam-kalam nafs yang penuh kemurkaan, akhirnya dia disadarkan: “Kenapa engkau tidak datang kepada seorang guru di sekitarmu, di situlah engkau masih memiliki wadah yang kotor, kesombongan.” Dengan mengambil ijazah shalawat dan wirid-wirid lain dari seorang guru, dan mewiridkannya terus menerus, akan memberikan nafs dan tentaranya mundur. Padahal dalam hal itu, Kanjeng Nabi mewariskan ilmu kepada para ulama. Sekali lagi, dengan kalam-kalam nafs yang murka, seseorang disadarkan agar tidak sombong dan mau pergi kepada orang-orang yang lebih tua, kepada guru-guru. Kenapa engkau tidak mendatanginya. Padahal engkau setiap hari berbicara tentang pesantren, tradisi, ziarah kubur, dan lain-lain. Lagi-lagi, Allah dengan kemurahan-Nya menyadarkannya lewat kemarahan kalam-kalam nafs agar orang itu mencintai Kanjeng Nabi. Maka buktikan dengan mengunjungi orang sakit, ishlah-kan yang bertikai, baiklah pada tetanggamu, ajarilah anak-anakmu ngaji, dan lain-lain.
Maka orang yang bisa melewati kalam-kalam nafs dan tentaranya, dia telah ma’rifat kepada nafs-nya. Dan, manakala sudah bisa mudawamah, dalam wirid, bersandar kepada Allah, dan berdoa kepada-Nya terus menerus, sembari bergerak menurun untuk berinteraksi kepada masyarakat, maka nafs menjadi tenang. Dari nafs yang dikehendaki dan atas idzin Allah itu, meningkat menjadi hati yang menjadi wadah bagi wilayah yang dekat dengan ruh, sebagai sarana untuk menjangkau sirr di dalam hatinya, sampai pada sirrul asrar, suara-suara yang paling lembut yang hanya diketahui dia dan Allah.
Di dalam hatinya itu, pengetahuan ‘irfani ditanamkan, ‘ainul bashirah-nya menjadi hidup, dan dia merealisasikan fungsi kekhilafahan di bumi, karena wadahnya sudah menjangkau siap untuk merealisasikan aspek-aspek sifat-sifat dan nama-nama jamāl dan kamāl-Nya Allah di bumi. Inilah yang kemudian disebut oleh para guru dengan istilah ‘tanaman yang ditanam tidak tergesa-gesa (tanduran sing ditandur orang nganggo kesusu), ‘sebab apapun yang tergesa-gesa hasilnya tidak akan sempurna’ (sebab opo-opo nek kesusuhe wohe rasampurno).
‘Buahnya tanaman agar menancap dalam hati dan member berkah seluruhnya, menanamnya harus dalam dan tersinari matahari’ (uwohe tanduran ben dadi mancep neng ati dan memberkahi sesana, nandure kudu jeru lan kenek srengege), kata guru kami. Semoga kita termasuk orang yang diberkahi oleh Allah mampu mengarahkan nafs menjadi tenang bukan dengan jalan menurutinya, dan selalu mendoakan pada nafs kita agar nafs kita dirahmati Allah, agar tidak menggelegak memuncratkan kemarahannya. Amin.
Kyai Nur Kholik Ridwan
Murid Qadiriyah-Naqshabandiyah-Shathariyah, Dzikrul Ghafilin dan Ratib al-Haddad. Pernah aktif di Pengurus Pusat Rabithah Ma’ahid Islamiyah Nahdlatul Ulama (PP RMI-NU).