Gerakan Samba Rihlah Khittah Mahbub Djunaedi di kota Bandung
Oleh: Wahyu Iryana
Acara Halal Bi Halal (28/06/2019) yang digagas PC. NU Kota Bandung membahas tentang melacak akar historis NU di Kota Bandung menghadirkan Narasumber para kiai Kota Bandung seperti KH. Habib Syarif Assalam, KH. Maftuh Kholil, KH. Zaenal Arifin, KH. Suherman, KH. Agus Syarif Hidayatullah selaku Ketua Tanfidziyah Kota Bandung, Ketua Ansor Kota Bandung AA. Abdul Rozak, Lora Wayan sejarawan muda UIN Bandung yang produktif, Ratusan banser, dan kiai-kiai muda NU yang tidak bisa disebutkan satu persatu.
Acara yg diawali dengan lantunan ayat suci Al-Quran, Rebana Shalawat Nabi oleh santri ponpes al Afifiyah dilanjutkan dengan Tahlil dan pembacaan Yasin bersama, acara Halal Bihalal yang dikemas dengan bedah sejarah NU Kota Bandung dihadiri ratusan jamaah NU Kota Bandung, banom, lembaga dari MWC dan PAC se-Kota Bandung. Moderator sarasehan Halaqoh Sejarah Kota Bandung dipandu oleh Kiai Mako selalu sekertaris NU Kota Bandung.
Dalam pemetaan awal Sejarah NU Kota Bandung pembicara pertama Abah Zumma membeberkan data data menarik keberadaan dan geliat ghiroh NU di Bandung. Pendirian rumah berobat, kegiatan-kegiatan NU dari kursus bahasa Belanda, advokasi hukum, sampai Kongres NU di Bandung.
Selanjutnya KH. Habib Syarif memetakan data data Historis dengan fakta analisis kebenaran dilapangan, Habib juga mengingatkan bahwa nama Halal Bihalal Halal jangan dirubah rubah harus tetap, karena ini yang menamakan adalah Mbah Wahab Hasbullah. Halal bihalal historisnya adalah ketika Soekarno sebagai Presiden Republik Indonesia pertama meminta nasehat dan arahan dari Kiai Wahab untuk memecah kebuntuan para politikus di Indonesia yang membeku pasca pemilu, maka saran Mbah Wahab adalah dengan mengadakan pertemuan di bulan syawal dengan saling memaafkan kesalahan sesama anak bangsa dengan nama Halal Bihalal Halal. Nama ini diambil karena sangat Indonesia sekali tidak ke Arab Araban, ke Eropa-Eropaan, tidak juga ala-ala borjuis tapi juga tidak ndeso. Itulah mengapa warga NU dan bangsa Indonesia pada umumnya harus tetap memakai nama halal bihalal halal dalam pertemuan silaturrahim di bulan syawal untuk saling memafkan.
Habib sebagai pelaku dan penggerak di NU mengatakan bahwa style NU Kota Bandung berbeda dengan NU di daerah lain. Pasalnya di Bandung tempat berdiri-nya Ormas Persatuan Islam. NU Kota Bandung juga ditopang oleh para saudagar saudagar kaya dari Palembang dan Pekalongan hingga bisa bergotong royong membangun NU disetiap kegiatan.
Habib juga bercerita pada masa H. Swarha PC NU Bandung geraknya sangat progresif karena H. Swarha adalah seorang konglomerat, tanahnya di mana mana, usaha bisnisnya maju hingga bisa membangun kantor PCNU di Jalan Yuda. Sedangkan Kiai Zenal sebagai kader muda NU yang aktif sejak menjadi ketua Ansor tingkat ranting hingga pengurus cabang merasakan benar bagaimana menjadi pengurus Ansor maupun NU itu harus bisa ngaji dalam artian bukan hanya ngaji al Quran tapi juga bisa membaca kitab Kuning, minimal paling dasar kitab Syafinatun Najah.
Itu NU jaman dahulu semua pengurus dari tingkat ranting sampai pusat minimal harus bisa ngaji atau baca berjanji. Demikian juga Kiai Maftuh, beliau mengatakan bahwa menjadi pengurus NU sampai menjadi Ketua Tanfidziyah merupakan amanah kepada para kiai dan umat agar NU tetap kokoh dan merakyat. Kiai Maftuh merupakan ketua Tanfidziyah pertama yang asli dari Kota Bandung.
Pemaparan yang unik adalah dari Kiai Suherman mantan aktivis Ansor tersebut menceritakan bagaimana Ansor dan NU di Bandung langsung dibesarkan oleh pengurus PBNU pusat. Ada tim 9 kiai yang menjadi agisator yang ditugaskan untuk menyebarkan aswaja dan kaderisasi di seluruh wilayah seperti Kiai Wahab Hasbullah, Kiai Asnawi, Kiai Idris kamal, Kiai Wahid Hasyim, Kiai Bisri Samsuri, Kiai Solikhin, Kiai Abdul Halim, Kiai Abas, Kiai As’ad Samsul Arifin.
Termasuk generasi sesudah para Muassis seperti halnya Mahbub Junaedi sang pendekar pena, pendiri PMII, singa podium, politikus sakti, beliau juga merupakan pengurus PBNU yang ikut terjun membesarkan NU di Kota Bandung.
Pada masa Orba masih berkuasa gerakan NU dibekukan termasuk di Jawa Barat, dan lebih spesifik Kota Bandung sebagai Ibukota Provinsi. Maka tak ayal kalau Kota Bandung menjadi sorotan ke-NU-an nya hingga sekarang. Menurut Kiai Suherman Sang player organisatoris Mahbub Junaedi selain seorang penulis, orator ulung, beliau juga seorang organisatoris handal dengan jurus Samba-nya. Mahbub bisa melakukan loby loby tingkat dewa dengan para pemegang kebijakan.
Termasuk pada era Walikota Ateng Wahyudi gagasan Mahbub Junaedi tentang program Rihlah Khittah mampu membawa hasil yang menakjubkan. Pengurus NU Kota Bandung pada waktu itu yang selalu di mentor oleh Mahbub Junaedi disandingkan dengan Walikota Bandung, yang akhirnya menghasilkan NU mempunyai daya tawar tinggi dihadapan pengambil kebijakan. Di tahun 1996 gedung NU yang di Jalan Yuda Kota Bandung yang dahulu kumuh direnovasi menjadi dua tingkat dan sangat megah.
Selain itu sebelum Orba tumbang, NU masih menjadi bulan-bulanan karena dianggap oposisi pemerintah pada saat itu. Mahbub Junaedi lah yang meng-clear-kan ketegangan dengan penguasa walaupun taruhannya harus mendekam di jeruji besi sampai bertahun tahun. Itu tentunya untuk kepentingan dan kemajuan NU. Maka wajar saja ketika Mahbub Junaedi meninggal dunia, makamnya tidak di Jakarta. Walau beliau adalah orang Betawi tetapi beliau dimakamkan di kota Bandung. Ini sebagai penanda bahwa Mahbub Junaedi pernah dan ikut berjuang membesarkan NU di Bandung yang tetap eksis sampai sekarang, salah satunya karena jurus Samba Rihlah Khittah yang beliau lakukan.
Acara ditutup dengan penampilan Solawatan oleh Veve Zulfikar.