The news is by your side.

Menyemai Nilai-nilai Islam Wasathiyah dalam Keindonesiaan

Suwanto – Adalah suatu fakta yang tak terbantahkan adanya pengorbanan besar tokoh-tokoh Islam wasathiyah dalam perumusan Pancasila. Kerelaan tokoh-tokoh Islam wasathiyah menghapus tujuh kata sila pertama (Piagam Jakarta), yang awalnya berbunyi “Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan Syariat Islam bagi pemeluknya” menjadi “Ketuhanan Yang Maha Esa” adalah salah satu buktinya.

Sejarah juga mengatakan bahwa kelahiran Pancasila penuh perjuangan dan pengorbanan seluruh elemen bangsa. Ia juga bukan hasil dari rumusan segelintir kelompok saja, melainkan titik temu kesepakatan bersama bangsa Indonesia. Lika-liku sejarah kelahiran Pancasila juga seharusnya menjadi cermin untuk diteladani bangsa ini. Pancasila adalah warisan luhur bangsa yang harus kita jaga, rawat, dan yang terpenting diamalkan dalam kehidupan berkebangsaan.

Perlu diketahui bahwa wasathiyah adalah sebuah paham Islam moderat yang mengusung Islam ramah dan rahmah. Kenapa Islam begitu mudah masuk ke Indonesia, itu pun karena dakwah yang diusung adalah bernafaskan Islam wasathiyah yang ramah, lembut, dan anti-kekerasan. Poin inilah yang tentunya memiliki kesamaan dengan nilai-nilai luhur Pancasila.

Islam wasathiyah dan Pancasila juga sama-sama mengajarkan agar cinta kasih terhadap sesama, termasuk pada orang yang berbeda agama sekalipun. Islam wasathiyah dan Pancasila di Indonesia ibarat satu tubuh, yang ketika disakiti salah satunya akan melukai yang lainnya juga.

Pancasila tidak terima jika Islam dihina, demikian juga Islam sangatlah menentang tindakan anti-Pancasila. Pendek kata, keduanya saling menjaga dan mengokohkan satu sama lain. Nilai-nilai luhur keduanya saling menyuburkan.

Dalam wadah kebangsaan Islam wasathiyah mempunyai beberapa nilai, yang juga nilai-nilainya termaktub dalam Pancasila diantaranya pertama tawasuth yaitu sikap moderat yang berpijak pada prinsip menempatkan diri dalam posisi di tengah-tengah (moderat) antara dua ujung tatharruf (ekstremisme). Ini berlaku dalam berbagai masalah dan keadaan. Nilai tawasuth selaras dengan sila ke-1, “Ketuhanan Yang Maha Esa”, yang meliputi dan menjiwai sila ke-2, 3, 4, dan 5.

Kedua, i’tidal yang berarti tegak lurus, berlaku adil (al-adl). Artinya, tidak berpihak kecuali kepada yang benar. Nilai keadilan ini termaktub juga dalam sila ke-2, “Kemanusiaan yang adil dan Beradab”, yang diliputi dan dijiwai sila ke-1 serta meliputi dan menjiwai sila ke 3, 4, dan 5. Nilai keadilan juga termaktub dalam sila ke-5, “Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia”. Sila ke-5 ini diliputi dan dijiwai sila ke-1, 2, 3, 4, dan 5.

Ketiga, tasamuh (toleransi) yaitu sikap toleran yang berarti penghargaan terhadap perbedaan pandangan dan kemajemukan identitas budaya masyarakat. Aneka pikiran yang muncul dan tumbuh di tengah masyarakat muslim adalah sebuah keniscayaan dan selayaknya mendapat pengakuan. Sikap terbuka yang demikian lebar untuk menerima segala jenis perbedaan pendapat.

Toleransi harus selalu kita terapkan, terlebih dalam kehidupan beragama. Indonesia merupakan negara yang heterogen (plural), dimana keberagaman adalah suatu keniscayaan. Oleh karenanya, sikap toleransi merupakan hal penting untuk berinteraksi dalam kebhinekaan ini. Tanpa sikap toleransi ini, hubungan antar agama akan menjadi keruh, merasa paling benar, mau menang sendiri, serta bisa dipenuhi konflik dan pertikaian. Toleransi ini selaras dengan sila ke-1.

Keempat, tawazun (berimbang) yang mengandung maksud sikap seimbang dalam berhikmat demi terciptanya keserasian antara hubungan Allah SWT dengan manusia. Sikap fanatik yang berlebihan akan memicu klaim bahwa golongan dan atau pendapatnya suatu individu/kelompok adalah yang paling benar, sehingga selain itu dianggap salah dan sesat. Tawazun selaras dengan sila ke-2 dan 5.

Su’udin Azis (2019) menjelaskan bahwa maksud dari istilah tawazun atau berimbang yaitu sikap harmonis dalam mengintegrasikan dan mensinergikan dalil-dalil untuk memproduk sebuah keputusan yang bijak dan maslahat bagi umat. Tawazun ini merupakan manifestasi dari sikap keberagaman yang anti terhadap sikap ekstrem atau tidak menghargai perbedaan pendapat.

Oleh karenanya, sudah saatnya sebagai umat Islam kita amalkan nilai-nilai integrasi dari Islam wasathiyah dengan Pancasila dalam kehidupan kebangsaan. Karena hal inilah yang bisa kita gunakan untuk menangkis berbagai bentuk radikalisme, terlebih lagi radikalisme agama. Karena dengan menjadi Islam wasathiyah itu akan merawat Pancasila dan menjaga Indonesia.

Penulis
Suwanto

Buku lain :

  • Antara Mbah Cholil Baureno dan Bojonegoro. Kontak pembelian : 0895 2851 2664 . Link resensi, klik.
  • Konspirasi Yahudi dan Rungkadnya Dinasti Ba’alwi. Kontak pembelian dan bedah buku : 0812 6143 8585. Link resensi, klik.
Leave A Reply

Your email address will not be published.