NU Kultural di Bumi Sunda
Oleh Warsa Suwarsa
Hari lahir Nahdlatul Ulama ke-94 bagi penulis merupakan sebuah pencapaian luar biasa. Sebuah organisasi yang didirikan jauh sebelum Kemerdekaan Indonesia dikumandangkan masih tetap bertahan sampai sekarang. Bahkan telah melakukan sejumlah prestasi dan sejarah positif bahwa keberadaan NU diakui sebagai benteng keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Dengan bahasa cukup sederhana, NU telah dapat melalui serangkaian fase nimesis, sebuah fase krusial bagi sebuah organisasi, dengan melalui fase tersebut organisasi ini telah lahir, tumbuh, berkembang, dan bertahan sampai era revolusi industri 4.0 di samping organisasi lainnya.
Saya akui, terlalu luas hal yang harus dielaborasi jika melihat judul di atas. Untuk menarik sebuah kesimpulan terhadap judul besar tersebut memerlukan penelitian lebih serius bukan sekadar racikan kata-kata. Paling tidak, opini ini dapat dijadikan pijakan awal, apa yang seharusnya dilakukan oleh Nahdlatul Ulama agar kelompok akar rumput (NU kultural) mengakui bahwa keberadaannya tetap sebagai bagian dari Nahdlatul Ulama. Bukan hanya di Tatar Sunda, juga di setiap daerah di negara ini.
Tidak dapat dipungkiri, pergerakan sebuah organisasi selalu bersinggungan dengan keberadaan organisasi lainnya. Bahkan dapat saja bersinggungan dengan kekuasaan. Bukan hanya pertarungan dalam hal ideologi, juga akan selalu menghadapi pertarungan di ranah sosial kultural. Tata cara di dalam peribadatan pun dapat menjadi pemantik persinggungan antar organisasi.
Munculnya wacana Nahdlatul Ulama struktural dan Nahdlatul Ulama kultural sebetulnya bukan hal mendasar dalam sebuah organisasi. Namun melalui pewacanaan ini secara eksplisit tersampaikan pesan bahwa siapa pun yang mengerjakan amalan-amalan yang biasa dilakukan oleh Nahdlatul Ulama (misalnya tahlilan, selametan, kendurian, dsb), mereka masih merupakan orang-orang NU secara kultur, hanya secara struktural tidak masuk ke dalam kepengurusan Nahdlatul Ulama.
Buku lain :