NU Kultural di Bumi Sunda
Pada tahun 2000, saat penulis masih duduk di bangku kuliah, persinggungan pemikiran terutama amaliah termanifestasi saat seorang dosen mengatakan muludan, rajaban, bedug, tasbeh, tahlilan, dan amaliah yang biasa dilakukan oleh Nahdlatul Ulama merupakan bentuk bid’ah, pengamalannya tidak didasari oleh dalil atau nash. Beberapa teman mahasiswa, karena sebagian besar memiliki latar belakang pesantren, saat pulang kuliah sontak berkata kepada saya: “ Biarpun dosen itu mengatakan demikian, kita mah tetap mengamalkannya (amaliah yang disebut bid’ah), kita tetep NU”.
Kisah tersebut merupakan bagian kecil dari persinggungan yang sengaja dilakukan oleh organisasi lain –hanya karena berbeda pandangan terhadap tradisi dan kultur yang telah lama berkembang di masyarakat – melakukan serangan kepada masyarakat (NU kultural). Tidak sedikit, masyarakat yang mudah dipengaruhi hanya karena –seolah-olah para propagandis tersebut- lebih memiliki kapasitas memaparkan persoalan keagamaan karena setiap hal selalu disisipi oleh dalil dari dua sumber hukum primer (Al-Qur’an dan hadits). Masyarakat kultural tentu saja tidak akan dapat melawan hujjah mereka dengan argumentasi lain saat dua sumber primer dalam Islam dijadikan alasan mengerjakan amaliah tertentu. Di kelompok Nahdlatul Ulama kultural inilah sikap skeptik mudah lahir.
Sementara itu, di masyarakat urban, persinggungan pemikiran yang lebih serius telah dimulai dua dekade lalu. Meskipun kalangan muda Nahdlatul Ulama memiliki alasan mereka mengeluarkan pernyataan-pernyataan kontroversial dalam memberikan penafsiran –secara progressif- terhadap nash, kondisi ini dimanfaatkan oleh kelompok lain sebagai sebuah aliran baru dan cenderung menyesatkan. Liberalisme dalam tubuh Nahdlatul Ulama diwacanakan dan dibahasakan kembali kepada masyarakat tradisional pengamal kultur ke-NU-an. Pandangan kalangan muda Nahdlatul Ulama telah direfleksi oleh kelompok lain bahwa Nahdlatul Ulama saat ini telah diracuni oleh virus sepilis. Pewacaaan sekularisme, pluralisme, dan liberalisme dapat dikatakan sedikit ampuh untuk menghantam pola pikir masyarakat kultural yang masih tabu dengan terma-terma berbau Barat.
Selama dua dekade tersebut merupakan fase penguatan di tubuh NU. Bahkan dapat disebut sebuah fase test-case seberapa kuat hantaman itu dapat meluluh-lantakkan benteng kultural di masyarakat. Kekhawatiran yang mucul telah terselesaikan, meskipun isu sepilis tetap digemakan, tetapi isu ini toch tidak menghantam secara masif benteng pertahanan kultural. Termasuk di Tatar Sunda. Masyarakat yang telah mengamalkan amaliah-amaliah Aswaja meskipun dari berbagai organisasi sering berbisik bahwa dirinya masih sama dengan Nahdlatul Ulama. Tradisi keagamaan yang telah dikembangkan oleh Nahdlatul Ulama tetap dilakukan oleh mayoritas masyarakat Islam. Ada satu anomali yang terjadi selam sepuluh tahun terakhir ini, yayasan yang dikelola oleh kaum Salafi telah memberikan bantuan pembangungan ribuan mesjid kepada masyarakat dengan beberapa syarat antara lain: tidak boleh ada bedug dan nama mesjid harus diganti. Tetapi masyarakat justru semakin lebih gencar melakukan aktivitas dan tradisi ke-NU-an di mesjid tersebut.
Buku lain :