NU Kultural di Bumi Sunda
Masyarakat Sunda dalam Bingkai Nahdlatul Ulama
Sebagai orang Sunda dan tinggal di Jawa Barat saya harus berpikir keras dan jengkel, dan ini dirasakan oleh orang Jawa Barat lainnya ketika provinsi ini disimpulkan sebagai provinsi paling intoleran. Penyematan seperti ini membuat saya dan masyarakat Sunda sedikit kesal karena tanpa dasar, alasannya pun hanya karena di provinsi ini tumbuh bibit-bibit radikalisme. Alasan historis dimunculkan kembali, DI/TII sangat mengakar di Jawa Barat. Sebutan dan simpulan seperti ini justru akan menjadi pemantik bagi sebagian masyarakat Sunda melakukan perlawanan opini kepada pemerintah. Nahdlatul Ulama sebagai organisasi besar dituntut untuk menyelesaikan penggiringan opini ini dengan alasan mayoritas masyarakat Sunda sampai saat ini tetap melaksanakan amaliah yang sama dilakukan oleh Nahdlatul Ulama.
Kita harus jujur, jika dilihat dari perspektif politis, kenapa pasangan Jokowi-Ma’ruf Amin mengalami kekalahan di Jawa Barat, tidak ada sangkut-pautnya dengan pertumbuhan radikalisme dan intoleransi di provinsi ini. Kekalahan secara politis tidak dapat disangkutpautkan dengan pertumbuhan intoleransi di satu daerah karena perbandingannya pun memang sudah tidak tepat. Kelalahan politis murni merupakan kelalahan dalam strategi dan marketing politik saja.
NU kultural merupakan entitas paling besar di Tatar Sunda. Permasalahan yang muncul dalam perkembangan ke-NU-an di Tatar Sunda dapat saya simpulkan berkutat pada persoalan adab-adaban dan kemestian hubungan antara Nahdlatul Ulama struktural dengan masyarakat kultural. Ada beberapa kejadian, misalnya tokoh sebuah pondok pesantren mengambil langkah –seolah- keluar dari Nahdlatul Ulama tetapi tetap mengerjakan amaliah Aswaja.
Alasannya sederhana, ada adab dan sopan-santun yang mulai redup. Para pengurus Nahdlatul Ulama di wilayah masih kurang melakukan pendekatan dan membuat strategi bagaimana menghadapi tokoh seperti ini. Nahdlatul Ulama harus memokuskan diri dalam membentuk para “inohong” atau melahirkan tokoh-tokoh karismatik di daerah dan berbasis pondok pesantren. Secara struktural, hubungan vertikal antara pengurus pusat dan daerah harus lebih diintensifkan mengkaji persoalan ini. Artinya, masyarakat telah kehilangan tokoh-tokoh karismatik atau figur-figur dari kalangan pesantren setelah dikelola oleh generasi kedua dan ketiga dari tokoh sebelumnya. Figur-figur inilah yang akan tetap merawat masyarakat dalam mengamalkan amaliah-amaliah keaswajaan sebagai pijakan Nahdlatul Ulama dalam berkiprah dan merawat keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Penulis adalah Guru MTs-MA Riyadlul Jannah
Buku lain :