Reuni Para Pecinta Nabi SAW
Oleh: Candra Malik
ROMO Kiai Taufiq berjalan tenang melawan arus jama’ah yang bergerak ke pusat pertemuan ribuan manusia. Usai mengantar tamu-tamu istimewa hingga ke jalan kampung, ia kembali ke Ndalem, bahasa Jawa halus untuk rumah. Dari pintu tembus ke Pondok Pesantren At Taufiqi yang dipimpinnya, Kiai Taufiq bergegas ke madrasah. Di ruang yang tidak luas itu, peringatan Maulid Nabi Muhammad SAW dipusatkan. Namun, ternyata bukan ia yang memimpinnya.
Duduk di antara jama’ah, Kiai Taufiq memersilakan Syekh Mustafa Mas’ud dan Habib Abdullah Al Hadad memimpin pembacaan shalawat untuk Nabi SAW. Menyusul kemudian, Dr Al Ngatawi Zastrouw memberikan ceramah seusai Syekh Mustafa ringkas menyampaikan mukadimah. Habib Bagir Alatas yang sangat disegani pula oleh masyarakat juga duduk di antara jama’ah, bukan di deretan ketiga ulama yang di depan. Ia tampak khusyu dalam majelis mulia itu.
Demikianlah kepemimpinan diajarkan dengan akhlak yang tinggi. Meski Kiai Taufiq dan Habib Bagir lebih sepuh dan dihormati, keduanya lebih memilih laku batin untuk mendampingi ketiga ulama itu. Mengikuti dan menyimak pengajian pada Rabu malam itu dari layar di sudut-sudut gang, lebih dari dua puluh ribu jama’ah laki-laki rela duduk berdesak-desakan di empat penjuru jalan sempit di Wonopringgo, Pekalongan, itu. Memang, pesantren terletak di tengah kampung.
Inilah reuni yang sangat sederhana tapi sedemikian kuat menyentuh kalbu para pecinta Nabi Muhammad SAW. Hadirin pengajian ini antara lain alumni santri Pondok Pesantren At Taufiqi, santri yang masih mukim untuk belajar, wali santri, jama’ah pengajian rutin Rabu malam, aparat kepolisian dan tentara, serta masyarakat dari berbagai lapisan yang menjadikan Kiai Taufiq sebagai rujukan utama dalam menjalankan ajaran Islam dalam kehidupan sehari-hari.
Tak ada pengamanan yang berlebihan dalam kegiatan yang menggerakkan lautan manusia itu. Seluruhnya dalam komando yang menakjubkan. Gus Atiq Hadi Masrur, panitia maulid, mengatakan, 4.500 nampan nasi kebuli disediakan untuk jamaah. Tiap nampan dihidangkan untuk lima jamaah. Nampan-nampan dengan lauk bestik daging sapi, acar, dan lalap nanas itu mengalir di antara jamaah. Setelah rata terbagikan, barulah serentak seluruh jamaah makan dengan tertib.
Takkan ada sebiji pun nasi dibiarkan jatuh tanpa dipungut lagi. Seluruhnya bersih, licin. Ini memudahkan panitia memberesi lingkungan seusai pengajian. Tidak ada sampah berserak. Maulid Nabi SAW yang sesungguhnya juga merupakan ajang reuni para pecinta Nabi Muhammad SAW ini diselenggarakan dengan benar-benar meneladani Sang Uswatun Hasanah. Tak ada kaki bersandal yang menginjak terpal yang dijadikan alas duduk. Sandal dilepas, dimasukkan ke plastik, dan dibawa.
Mengenai kebersihan ini, yang memang disabdakan Rasulullah Muhammad SAW, sebagai sebagian dari iman, diajarkan oleh Kiai Taufiq dalam keseharian. Tiap usai salat Subuh berjama’ah, ia berjalan mengitari pondok pesantren hanya demi memeriksa apakah ada daun jatuh dari pohonnya. Jika ada, tanpa memerintah santri, Kiai Taufiq akan memungutinya sendiri. Tentu, 850 santri di pesantren yang mengamalkan Dalail Khairat ini tergopoh mendapati gurunya demikian.
Tanpa dikomando, mereka akan turut berjalan di belakang kiai sepuh yang kini telah berusia lebih dari tujuh dasawarsa tersebut. Ikut memunguti daun, sampah, dan apa pun yang tercecer di lingkungan dalam pondok. Bukan hanya itu. Rumah-rumah kayu di mana mereka menetap pun selalu dijaga kebersihan dan kerapiannya. Demikian pula kakus dan kamar mandi yang selalu langsung dibersihkan setelah digunakan. Inilah kepemimpinan sejati, yang tidak hanya berdalil dan berdalih.
Romo Kiai Taufiq, yang juga termasyhur sebagai Mursyid Thariqat Naqsabandi di Pekalongan, memancarkan raut kharisma yang mendamaikan siapa pun. Tutur kata kiai yang mengaji kepada mendiang Kiai Masduqie Lasem ini lembut. Perilakunya santun. Sangat tenang, sampai-sampai ketenangannya membekukan siapa pun yang berdiri di hadapannya, hingga tak kuasa untuk tidak membungkuk hormat. Namun, Kiai Taufiq pun tak segan untuk lebih merendah menyalami orang-orang.
Tamu-tamu istimewa, para habaib, kiai, dan gus, diterimanya sendiri di Ndalem, sampai meluber ke serambi depan dan samping. Kiai Taufiq sendiri pula yang memersilakan para tamu itu mengambil hidangan. Nasi putih, nasi samin (nama lain nasi kebuli), iga bakar, kikil, sop, ayam goreng, garang asem, acar, gurami asam manis, pisang, jeruk, dan aneka minuman disantap bersama, namun Kiai Taufiq justru tak mengambil apa pun. Ia terus berjalan memeriksa kebutuhan tetamu.
Ini pulalah kepemimpinan yang semakin jarang kita dapati di negeri ini. Setelah seluruh tamu menikmati hidangan dan beramah tamah, kemudian satu per satu berpamitan, barulah Kiai Taufiq datang menghampiri saya dan Zastrouw, untuk meminta ditemani makan malam. Itu pun masih tertunda satu jam lagi karena arus manusia yang ingin bersalaman ngalap berkah sang kiai belum juga surut meski sudah tengah malam. Dengan kesabaran teramat sangat, ia menerima mereka.
Kiai Taufiq membuka percakapan sebelum kami makan. “Siapa tahu, nanti kalau saya ditanya di pintu surga tentang apa alasan saya sehingga berhak masuk surga, saya akan jawab saya pernah makan bersama orang-orang saleh seperti Anda berdua,” ucapnya. Tentu saja, kami tertunduk malu menyaksikan sikap tawadhu Kiai Taufiq. Ia kemudian menyuap nasi samin dan bestik daging sapi perlahan. Sampai habis. Tak bersisa selain sepotong tulang kecil. Tak ada yang tertinggal di piring. Licin!
Bahkan, demi memastikan seluruhnya telah dimakan tanpa sisa, Kiai Taufiq pun mengambil kerupuk. Mengusapkannya ke seluruh bagian piring, lalu memakannya. “Sedikitnya, ada enam hadits yang jelas-jelas menerangkan tentang makan tidak boleh mubadzir. Biasanya, saya usapkan tahu ke piring, lalu saya makan. Saya jilat jari-jemari sebelum saya cuci. Kita tidak pernah tahu di bagian mana dari makanan yang kita santap itu yang berkah,” jelas Kiai Taufiq, seraya mengutip hadits.
Telah puluhan tahun pula ia menjaga diri untuk tidak batal wudhu. “Tak banyak yang bisa saya amalkan dari ajaran Islam. Saya baru mampu menjalankan thaharah (bersuci),” tutur Kiai Taufiq. Betapa tidak mudah untuk selalu merendahkan diri di hadapan Allah dan merendahkan hati di hadapan sesama manusia. Romo Kiai Taufiq, dengan kepemimpinannya yang santun dan sederhana, mencontohkan pada siapa pun yang hadir dalam reuni para pecinta Nabi Muhammad SAW itu.
Hari-hari ini, kita merindukan pemimpin yang meneladani pemimpin terbaik umat manusia, yaitu Nabi Muhammad SAW. Pemimpin yang halus budi pekertinya, senantiasa memerhatikan rakyatnya, tak lelah menjaga dan menemani mereka dalam kepatuhan dan ketaatan kepada Ilahi, mengharapkan dan mengikhtiarkan kebaikan bagi kemanusiaan. Reuni-reuni semacam ini, terlebih jika diadakan oleh para pecinta Nabi Muhammad SAW, bisa digelar kapan pun dan di mana pun, juga di Monas pada 2 Desember 2018.
Tentu, dengan satu catatan, yaitu reuni itu, atau apa pun penamaannya, diadakan untuk mendekatkan diri pada Allah dan Rasul-Nya, menyatukan hati dalam iman dan amal baik, menjaga kedamaian dan perdamaian bangsa dan negara, dan tak dimaksudkan untuk mempolitisasi agama demi kekuasaan dunia. Sebagai pewaris nabi, alim ulama memegang peran paling utama untuk meneruskan tugas luhur, yaitu menyempurnakan akhlak mulia dan menjadi rahmat bagi semesta raya.
Kolom untuk Jawa Pos
Edisi Sabtu 1 Desember 2018