Savic Ali Ungkap Alasan PBNU Ambil Peran Ciptakan Perdamaian Dunia
Jakarta, NU Online
Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) di bawah kepemimpinan KH Yahya Cholil Staquf (Gus Yahya) saat ini sedang menaikkan level NU ke tingkatan yang lebih tinggi. Selama beberapa tahun, sejak mengemban amanah Katib ‘Aam PBNU, Gus Yahya kerap keliling ke berbagai negara.
Setelah menjadi Ketua Umum PBNU, Gus Yahya telah melangsungkan pertemuan dengan banyak pemimpin negara. Lalu PBNU menginisiasi gelaran Religion of Twenty (R20) pada November 2022 mendatang. Forum tersebut bakal mempertemukan para tokoh agama sedunia untuk membahas persoalan dunia hari ini dan masa depan.
Selain itu, PBNU membuat agenda Halaqah Fiqih Peradaban yang sejak Agustus 2022 digelar secara serentak dan bergiliran di 250 titik pesantren se-Indonesia. Halaqah akan diselenggarakan hingga puncaknya nanti pada Januari 2023, yakni forum Muktamar Internasional Fiqih Peradaban yang menghadirkan tokoh-tokoh Muslim sedunia.
Beberapa hal itu direncanakan dan akan dilaksanakan dengan tujuan untuk mewujudkan salah satu agenda besar PBNU di bawah kepemimpinan Gus Yahya, yakni menciptakan perdamaian dunia.
Ketua PBNU Mohamad Syafi’ Alielha atau Savic Ali membeberkan alasan dari upaya Gus Yahya dalam menciptakan perdamaian di dunia itu. Salah satu alasan paling mendasar adalah karena PBNU ingin menghentikan sentimen atas dasar agama, ras, dan identitas.
“Kalau kita semua masih konflik, bumi ini hancur. Karena sekarang senjata sudah jauh lebih canggih daripada zaman dulu. Nuklir yang ada di dunia hari ini cukup digunakan untuk menghancurkan seluruh permukaan bumi,” ungkap Savic Ali dalam Halaqah Fiqih Peradaban di Pesantren Cipasung, Tasikmalaya, Jawa Barat, Sabtu (17/9/2022).
Savic menegaskan, para pemimpin agama di dunia saat ini dihadapkan dengan pekerjaan rumah untuk menghentikan sentimen berdasarkan identitas yang sekarang sedang merebak. Politik identitas terus terjadi di banyak negara, termasuk di Indonesia.
“Di Amerika, kulit putih terhadap kulit hitam. Di India, Hindu terhadap minoritas Muslim. Sama juga, di Indonesia ada kelompok yang selalu berusaha menggunakan politik identitas untuk membenci kelompok agama lain. Ini pekerjaan rumah para pemimpin agama,” ungkap Savic.
Apabila problem di dalam internal agama-agama tidak selesai, jika para pemimpin agama tidak mampu memikirkan tentang peradaban di atas muka bumi untuk dibicarakan bersama-sama, maka warga dunia tidak akan punya masa depan.
Sebab, lanjut Savic, teknologi persenjataan di dunia saat ini sudah sangat kuat dan canggih. Kota-kota bersejarah di Suriah, kini hancur lebur. Kuffah, kota bersejarah dalam peradaban Islam di Irak juga sudah hancur karena dilanda perang bertahun-tahun.
“Kita tidak bisa membayangkan kalau perang meletus. Tidak ada yang membayangkan ada perang antara Rusia dan Ukraina, karena ada PBB (Perserikatan Bangsa-Bangsa). Tetapi hari ini, (perang) itu terjadi,” tutur Savic.
“Dulu orang membayangkan dunia modern atau globalisasi membuat orang semakin terbuka, tetapi ternyata yang ada orang semakin tribalistik berdasarkan warna kulit, suku, dan agama,” imbuhnya.
Itulah yang menjadi tantangan sekaligus alasan mengapa NU akhirnya memilih untuk mengambil peran peradaban atas keberlangsungan kehidupan manusia di muka bumi ini. Melalui Halaqah Fiqih Peradaban, NU akan sanggup merumuskan fondasi untuk bergerak menciptakan peradaban yang damai bagi dunia.
Savic berharap, nilai-nilai Islam Ahlussunnah wal Jamaah yang wasathiyah (moderat) akan bisa menjadi fondasi bagi dunia. Bukan saja hanya untuk umat Islam, tetapi nilai Islam Ahlussunnah wal Jamaah itu bisa menjadi stimulus untuk menciptakan kehidupan dunia yang lebih baik.
“Sehingga umat manusia yang hidup di atas bumi bisa hidup berdampingan menciptakan peradaban yang lebih maju dan berkemanusiaan,” tegas Savic.
Peran Peradaban NU
Saat ini, PBNU berkepentingan agar gagasan tentang peradaban di masa depan dibahas di pesantren-pesantren oleh para kiai dan nyai. Sebab, Gus Yahya memahami bahwa sejak awal kelahirannya, NU memiliki peran peradaban.
Menurut Gus Yahya, NU lahir bukan semata-mata untuk kepentingan kebebasan bermazhab di Tanah Hijaz, Makkah dan Madinah, di bawah kepemimpinan Ibnu Saud. Tetapi NU berdiri yang terpenting adalah sebagai respons atas runtuhnya Turki Utsmani karena umat Islam di dunia telah kehilangan hakim (penentu hukum).
Meski begitu, NU tidak memiliki kepentingan untuk mendirikan kekuasaan politik. Savic Ali menegaskan, NU dianggap satu-satunya organisasi yang didirikan agar bisa menjadi kiblat bagi umat Islam di dunia tetapi tidak berkepentingan punya kekuasaan secara politik atau teritorial.
“Gus Yahya meyakini bahwa tidak mungkin NU didirikan hanya urusan untuk merespons Ibnu Saud. Tetapi memang merespons runtuhnya Turki Utsmani. Gus Yahya menyadari dan memahami bahwa NU dirikan bertujuan untuk peran peradaban, mestinya hari ini memasuki abad kedua NU, kita harus bisa menghidupkan kembali semangat itu,” tegas Savic.
Menurut Savic, Gus Yahya sangat percaya diri bahwa NU memiliki legitimasi kuat untuk memimpin peradaban atau mengajukan gagasan-gagasan tentang masa depan peradaban dunia. Bahkan, bukan hanya sebagai NU tetapi juga sebagai Indonesia.
Gus Yahya sering bercerita, di saat para perempuan di Amerika dilarang untuk terlibat dalam pemilihan umum (pemilu), Indonesia justru mengikutsertakan perempuan pada pemilu tahun 1955. Ini menandakan peradaban Indonesia lebih maju daripada Amerika karena tidak ada diskriminasi atas dasar gender.
Kemudian, di berbagai kesempatan, Gus Yahya selalu menjelaskan bahwa di dalam Muktamar Ke-13 NU di Menes pada tahun 1938, telah ada dua perempuan yang berpidato di depan para kiai.
“Artinya, NU sudah sangat progresif, Indonesia juga sudah sangat progresif pada zaman itu. Karena di Amerika sampai 1960-an, perempuan kulit hitam dilarang nyoblos (pemilu). Kalau naik bus, dia harus duduk di belakang,” jelas Savic.
“Orang kulit hitam ketika di bus, kemudian kalau ada orang kulit putih naik, dia harus berdiri dan memberikan kursinya kepada kulit putih. Itu tahun 1960-an, Amerika masih seperti itu yang mengklaim sebagai kampiun demokrasi. Sementara Indonesia pada pemilu 1955, semua orang dewasa sudah mencoblos,” ungkap Savic.
Menurut Savic, upaya Gus Yahya yang berkeliling dunia menemui para pemimpin agama dan negara merupakan sebuah langkah untuk berpartisipasi menciptakan perdamaian dunia yang menjadi amanat UUD 1945.
“Di Pembukaan UUD 1945, bagian tugas kita adalah menciptakan perdamaian dunia. Gus Yahya berusaha melakukan itu. Tetapi harus diakui, landasan fiqih di NU belum kuat. Makanya kita harus membicarakannya (melalui Halaqah Fiqih Peradaban),” ungkap Savic Ali.
Pewarta: Aru Lego Triono
Editor: Kendi Setiawan