Sumbang Solusi Bangsa melalui Munas dan Konbes
Dalam struktur organisasi NU, forum permusyawaratan tertinggi disebut dengan muktamar yang diselenggarakan setiap lima tahun sekali. Forum lain yang sangat penting adalah musyawarah nasional dan konferensi besar (munas dan konbes) yang diselenggarakan minimal selama dua kali dalam satu periode kepengurusan. Dua forum ini biasanya mendapat perhatian publik karena biasanya terdapat keputusan atau rekomendasi penting yang menyangkut sikap NU terhadap sebuah persoalan bangsa atau pandangan NU dalam sebuah permasalahan keagamaan.
Keputusan penting dalam muktamar adalah penyampaian laporan pertanggungjawaban pengurus setelah lima tahun bekerja dan pemilihan mandataris baru, yaitu rais aam dan ketua umum yang akan memimpin NU lima tahun selanjutnya. Nahkoda baru, selalu memiliki gaya tersendiri dalam mengendalikan NU terkait bagaimana menjalankan visi, misi, dan program yang telah ditetapkan sehingga selalu menarik perhatian pihak luar yang memiliki kepentingan dengan NU.
Acara munas berisikan pembahasan masalah-masalah kebangsaan yang dilihat dari perspektif keagaman atau persoalan-persoalan keagamaan kekinian yang belum terpecahkan yang terbagi dalam tiga forum bahtsul masail waqi’iyah (membahas kasus-kasus aktual), maudluiyah (membahas isu-isu tematik), dan qanuniyah (membahas masalah yang berkaitan dengan perundang-undangan). Pada forum itu, para kiai dan alim ulama yang tidak masuk dalam struktur kepengurusan Nahdlatul Ulama turut diundang untuk mendiskusikan berbagai persoalan tersebut. Semantara itu konferensi besar membahas persoalan internal organisasi, seperti evaluasi program dan penyusunan program baru.
Forum munas dan konbes telah berkontribusi menyelesaikan sejumlah persoalan bangsa seperti penerimaan NU atas asas Pancasila, masalah KB, bunga bank, atau hukum tidak membayar pajak karena maraknya kasus penggelapan dana pajak. Sebagai organisasi Islam terbesar di Indonesaia dengan pengikut yang mengakar sampai ke desa-desa, apa yang diputuskan oleh NU memiliki dampak yang signifikan dalam penyelenggaraan kehidupan berbangsa dan bernegara karena menjadi panduan para pengikut NU dalam bersikap.
Nusa Tenggara Barat (NTB) sudah dua kali menjadi tempat munas dan konbes, pertama pada tahun 1997 dan dua puluh tahun kemudian, 2017 ini, pulau seribu masjid ini terpilih kembali menjadi tempat penyelenggaraan acara. Terdapat dua isu pokok yang mengemuka, yaitu soal radikalisme dan kesenjangan ekonomi. Era kebebasan setelah berakhirnya rezim Orde Baru membuat ideologi transnasional tumbuh dan berkembang cepat di Indonesia. Setelah dua puluh tahun, eksistensi mereka semakin mengakar, sekalipun masih dalam taraf kecil. Upaya pemerintah untuk menghambat perkembangan mereka layak diapresiasi karena kalau terlambat, akan menimbulkan permasalahan terhadap harmoni dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Forum ini berusaha mencari solusi agar ajaran-ajaran radikal dan transnasional ini tidak berkembang di Indonesia.
Persoalan kesenjangan ekonomi juga menjadi perhatian dari para ulama NU ketika ada sekelompok kecil orang yang menguasai aset negeri ini sangat besar, dan komposisinya dari tahun ke tahun semakin membesar sementara di sisi lain, banyak warga negara yang masih kesulitan memenuhi kebutuhan dasarnya. Dalam pertemuan kali ini, isu yang dibahas adalah rencana redistribusi lahan guna meningkatkan kesejahteraan para petani. Isu kesenjangan kepemilikan tanah merupakan permasalahan paling krusial mengingat ada konglomerat yang menguasai lahan lebih dari satu juta hektar sementara rata-rata petani hanya memiliki lahan 0.3 hektar. Redistribusi juga tidak dimaknai sebatas pembagian lahan saja, tetapi banyak aspek yang terkait. Upaya redistribusi diharapkan dapat meningkatkan kesejahteraan para petani. Tetapi yang harus diingat adalah bahwa redistribusi bukanlah hal yang gampang karena banyak sekali pihak yang berkepentingan. Jangan sampai timbul moral hazard terkait dengan niat baik mensejahterakan para petani ini.
Media sosial, selain menghubungkan orang-orang yang sebelumnya terpisah dan sebagai sarana ekpresi diri, juga menimbulkan persoalan ketika menjadi ruang untuk menyebarluaskan ujaran kebencian dan hoaks. Sejumlah peristiwa telah memberi pelajaran bahwa jika dampak negatif tersebut tidak dikelola, akan menimbulkan persoalan dalam harmoni kehidupan berbangsa dan bernegara. Isu SARA bisa dengan mudah “digoreng” untuk kepentingan politik kelompok tertentu. Keputusan munas dan konbes ini diharapkan mampu memberi panduan bagaimana berperilaku yang baik di media sosial dan bagaimana negara mengatur ujaran kebencian ini.
RUU KUHP yang sudah dibahas setiap periode DPR sejak tahun 1960an, tetapi hingga kini belum kelar padahal keberadaannya sangat penting untuk mengatur masyarakat. KUHP yang dibuat era kolonial itu tentunya sudah tidak sesuai dengan konteks masyarakat kini. PBNU akan memberikan masukan pada isu-isu tertentu yang sangat penting. NU memiliki ahli-ahli yang sangat menguasai masalah fiqih dan hukum nasional. Dengan demikian, KUHP versi kolonial tersebut bisa disesuaikan dengan konteks kekinian dan kondisi sosial di mana masyarakat Indonesia sebagian besar adalah Muslim.
Total terdapat 18 isu yang dibahas yang merupakan turunan dari tema besar soal radikalisme dan kesenjangan ekonomi ini. Sejumlah isu merupakan isu berat yang tidak selalu populer dalam wacana publik sebagaimana isu-isu politik sesaat yang kemudian hilang dalam seminggu-dua minggu ditelan isu baru lainnya, tetapi keberadannya sangat penting untuk memajukan bangsa ini.
Jokowi dalam sambutan pada pembukaan acara menyatakan menunggu rekomendasi dari pertemuan para alim ulama NU ini. Hal tersebut tentu harus kita apresiasi bahwa niat baik NU ini mendapat sambutan dari pemerintah dan menunjukkan kesadaran bahwa persoalan-persoalan bangsa tidak dapat diselesaikan sendiri oleh pemerintah. Peran ormas Islam dan kelompok masyarakat lainnya sangat penting dalam mendukung perjalanan bangsa ini menuju situasi yang lebih baik. (Ahmad Mukafi Niam)
Sumber : NU Online