AYO NGAJI 4: Rahmat Allah Diantara Ahli Maksiat Dan Ahli Taat
Oleh: Kyai Nur Kholik Ridwan.
Allah berkata kepada Shaikh Abdul Qadir al-Jilani bi al-ilhami al-qalbi:
“Mā ba`uda `annī ahadun min ahli al-ma`āşi wa mā qaruba ahadun minnī min ahli al- ţa`āt” (Shaikh Abdul Qadir al-Jīlanī, al-Risālah al-Ghauthiyah, No. 40).
Terjemah Jawa: “Ora adoh songko Aku, suwijine wong kang ahli maksiat, lan ora cedek songko Aku suwijine wong kang ahli tho’at”.
Terjemah Indonesia: “Tidak jauh dari-Ku seorang pun dari kalangan ahli maksiat, dan tidak dekat dengan-Ku seorang pun dari kalangan ahli taat”.
Ahli maksiat, adalah mereka yang melakukan kesalahan-kesalahan, meninggalkan perintah-perintah Allah, dan melakukan larangan-larangannya, seperti meninggalkan shalat, gemar berjudi, melakukan korupsi, dan lain-lain. Ahli taat, adalah sebaliknya, yaitu orang yang melakukan amal-amal kebaikan dan menjauhi larangan-larangannya.
Ahli maksiat dikatakan tidak jauh dari Allah, yaitu apabila mau bertaubat, dan tidak putus harapannya kepada Allah, Dzat pemilik harapan, dan sungguh-sungguh berharap pada Allah, Yang Maha Luas rahmat-Nya, siang dan malam (gelem ngarep-arep marang Gusti Allah, ingkang luas rohmatipun, rina lan wengi). Suara halus hatinya segera melakukan penyesalan, meskipun manakala ia melakukan maksiat imannya telah pergi. Allah menyebut dirinya dengan al-Ghaffār dan al-Rahīm, Maha pengampun dan luas rahmatnya tak terbatas.
Mereka ini adalah para ahli maksiat yang menyadari selalu memiliki kekurangan di hadapan Allah. Merasa ada kesalahan dan merasa ada cela di hadapan Allah. Batin merasa menyesal itulah yang disukai Allah. Setelah itu, para ahli maksiat itu tidak dirundung kesedihan, tetapi justru berubah, berusaha berubah dan seperti kata Kanjeng Nabi mereka memerangi nafsunya, memasuki medan jihad akbar. Para ahli maksiat ini memperoleh kemurahan, karena selalu ingat kepada Allah, merasa butuh kepada Allah.
Bahkan terhadap para ahli maksiat yang begitu banyak apa yang dilakukan, selagi ajal belum tiba, kemurahan Allah selalu dibuka. Seorang muslim harus beriman kepada Allah, beriman kepada takdir, kapan pun Allah bisa menggerakkan seseorang untuk berubah dan kapan pun orang bisa berubah dengan izin Allah. Beriman kepada Allah, Allah sanggup menjadikan manusia apapun dan dalam bentuk apapun, dalam wujud kelakuan seseorang.
Meskipun maksiat terus dilakukan oleh seseorang, orang tersebut haruslah terus menerus ingat Allah dan menyesal, dan berusaha menyadari kemurahan Allah itu begitu luas, meskipun belum bisa berubah seketika itu. Berdoa untuk bisa husnul khatimah di akhir hayat hidup di dunia adalah langkah terbaik, dengan memohon kemurahan Allah, dan berdoa sebanyak mungkin ya arhama rahimīn, irhamnā bi rahmatika, Wahai Dzat yang Maha belas kasih, kasihanilah aku sebab rahmat-Mu; juga beristighfar.
Sifat Allah yang Pemurah, ditemukan oleh para ahli maksiat yang bertaubat dengan penyesalan dan kemauan untuk berubah. Mereka menemukan Allah dan kembali lewat dominasi kesadaran sifat-sifat Allah, karena di dalam hati kecilnya pun masih berkata, Allah sanggup mengambil diriku manakala aku sedang bermaksiat, tetapi kenyataannya itu tidak terjadi, alangkah Pemurah-Nya Allah, Dzat yang bersifat Pemurah dan Pengampun.
Selain itu orang juga perlu ingat, ketika dosa sudah klimaks, yang ada adalah tangisan, sebagaimana disebutkan Kanjeng Nabi, “idhā tamma fujūra al-`abdi malaka ‘ainaihi fabakā bihima mata shā’a” (HR Ibnu Adi, dari Uqbah bin Amir), apabila telah klimaks dosa seseorang, maka akan menguasai kedua matanya, dan menangislah ia dengan itu kapan saja ia mau. Yang ditakutkan adalah manakala sedang berbuat dosa dan Allah menghendaki dia dipanggil hidupnya, maka orang tersebut akan su’ul khatimah. Dan kita berlindung dari hal yang demikian kepada Allah.
Mereka para ahli maksiat yang mendapat kemurahan Allah, ada kalanya:
- Khusnul khatimah di akhir hayatnya di dunia, karena di rongga mulutnya ketika meninggal, ketika diperiksa malaikat pun terdapat, keimanan kepada Allah dan penyesalan; atau meninggal padahal baru saja dia bersimpuh di hadapan orang tuanya, istri/suaminya, atau gurunya, bahwa selama ini telah banyak berbuat salah, dan memohon doa-doa mereka agar kesalahannya diampuni Allah, sambil mencucurkan air mata.
- Orang yang dikehendaki baik oleh Allah, dan dihapus kejahatan-kejahatan masa lalunya dengan hukuman-hukuman yang disegerakan, misalnya dengan diambil oleh Allah harta-hartanya, kesehatannya sampai pada taraf nol, atau sakit sampai koma, dan sampai tumbuh kesadaran semua ini telah dikehendaki Allah. Pemurah-Nya Allah tidak bisa dicegah tidak bisa ditunda dan tidak bisa disegerakan, bila Dia sudah berkehendak. Pemurah-Nya Allah menjadikannya, menyadari akan adanya Dzat yang selama ini berkuasa dan mengatur dunia, yang selama ini dilupakan, karena digelapkan oleh harta, maksiat, atau yang lain. Dua hukuman yang biasanya disegerakan adalah perbuatan zina dan durhaka kepada orang tua, sebagaimana disebutkan oleh hadis Kanjeng Nabi. Di hadis lain, dosa kepada orang tua, termasuk tidak mendoakan kepada orang tua, akan memutus rizki, baik dalam pengertian putus beneran, dan hidupnya menjadi sulit, atau dalam pengertian putus ke berkahannya, meskipun lahirnya ia memperoleh banyak rizki, karena Kanjeng Nabi mengatakan: “idhā taraka al-`abdu al-du`ā’ li al-walidainī fa ’innahu yanqaţi`u `anhu al-rizqa” (HR, ad-Dailami), apabila seorang hamba meninggalkan tidak mendoakan orang tuanya, maka dia sesungguhnya terputus rizkinya. Mereka yang mendapatkan jenis kedua ini, memperoleh kedekatan karena didominasi oleh kesadaran tentang sifat Pemurah-Nya Allah dan Ghafar-Nya Allah.
Sedangkan ahli taat dikatakan jauh dari Allah, yaitu mereka yang selalu menjalankan perintah-perintah-Nya dan menjauhi larangan-Nya dengan memperbanyak ibadah, dan menganggap ibadahnya itulah yang akan menyampaikannya kepada Allah.
Para ahli ibadah yang mengandalkan ibadahnya, bisa timbul kesombongan dengan ketaatannya, dan mereka adalah para ahli taat yang terhijab oleh ketaatannya. Berbeda dengan para ahli maksiat yang menyesali dan bertaubat, akan menjadikan penyesalannya itu selalu ingat Allah, maka para ahli taat, banyak juga karena ketaatannya, selalu memuji dirinya sendiri karena banyak taatnya. Ahli taat yang terjebak dengan mengagumi diri sendiri akan menjadi sumber kegelapan dalam dirinya dan menjadi penghalang sampainya ia kepada Allah.
Seorang guru pernah cerita, bagaimana menghilangkan ujub di dalam ketaatan, misalnya karena secara lahiriah dia sering pergi ke tempat-tempat kebajikan.
Sang guru menjawab.
Orang seperti ini tidak menyadari bahwa ketaatannya telah melupakannya kepada Allah, karena berbangga diri, dan mengunggulkan jumlah banyaknya ibadah. Orang seperti ini telah dilalaikan setan yang mendorongnya melakukan ibadah dalam jumlah yang banyak. Setan menyelinap membisikkannya, di dalam hati kecilnya, malam ini tidak ada orang di kota ini yang melakukan shalat sunnah sebanyak aku. Dan, setan pun berhasil mengganggunya lewat ketaatan. Lama-lama dia juga bosan dengan ujubnya. Ketika dia tidak ke masjid atau tempat kebajikan karena takut tidak dilihat orang, dia juga menambah benteng penghalangnya dengan Allah.
Jalan setan, jangan dikira hanya lewat jalan maksiat, tetapi juga bisa lewat ketaatan, yang disertai pamrih, ujub, kesombongan, serta meremehkan orang lain. Jalan taat juga jangan dikira, hanya dibentangkan Allah lewat ketaatan secara lahirah, tetapi juga bisa melewati penyesalan para ahli maksiat. Oleh karena itu, para guru ahli ma’rifat selalu menerima dengan tangan terbuka kepada ahli maksiat yang ingin berubah. Caranya dengan menanamkan kesadaran bahwa kita ini butuh kepada Allah dan rahmat Allah begitu luasnya.
Dalam kitab Kifayatu al-Atqiya’ ada nasehat seperti ini:
“Faman `arafa sa`ata al-rahmati athmarat ma’rifatuhu laha sa`ata al-raja’, waman ‘arafa shiddatanniqami athmarat ma’rifatuhu laha shiddata al-khauf wa athmara khaufuhu al-kaffa `anil ithmī ”. Maksudnya, orang yang telah tahu betapa luasnya rahmat Allah, buahnya adalah luasnya harapan kepada Allah, dan yang tahu betapa dahsyatnya siksa Allah akan melahirkan dahsyatnya ketakutan, kemudian mencegahnya berbuat dosa.
Karenanya, merendahkan diri di hadapan Allah haruslah dilakukan oleh para ahli taat, sama seperti memohon kemurahan dari kalangan para ahli maksiat. Caranya:
- Dengan doa dan istighfar terus menerus, bahkan ketika apa yang dilakukan selama ini seakan-akan sudah mencapai pencapaian kuantitas taat yang begitu banyak. Istighfar akan menunjukkan dan menegaskan kembali bahwa kita adalah hamba yang lemah, butuh kepada Allah. Di sini ini kuncinya, kita harus merasa butuh kepada Allah, dan karenanya tidak harus sedih berlarut-larut dengan maksiat yang dilakukan, dan tidak harus resah terus menerus dengan sedikitnya amal kebaikan. Lisannya istighfar mengucapkan kalimat-kalimah istighfar, batinnya merasa membutuhkan Allah dan kemudian sedikit demi sedikit berubah.
- Bersyukur, dengan kenikamatan kepada Allah atas segala kebaikannya atas ketaatan yang selama ini dilakukan, dan supaya ditetapkan menjadi amalan istiqamahnya, dengan tetap menyandarkan diri kepada Allah. Lisannya mengucapkan “Alhamdulillāh hamdān yuwāfi ni`amahu wa yukāfi mazīdah”, batinnya merasa kecil di hadapan Allah karena semua tidak bisa terwujud, bahkan termasuk ketaatan sekalipun, tanpa-Nya.
Kalau tidak demikian, ketaatan itu hanya akan berhenti pada kesombongan dan pada akhirnya berhenti pula amalan yang selama ini dilakukan. Barulah ia merasa sadar bahwa selama ini, ketaatannya adalah semu. Amalan kita pun bisa diambil oleh Allah dan orang dibawa ke titik nol, bahwa dia pun perlu bantuan orang lain. Datanglah ia kepada seorang guru. Maka jelaslah di sini, manakala istiqamahnya terus menerus sampai akhir hayatnya, itu tidak mungkin tercapai hanya dengan diri sendiri, tetapi tentu atas izin dan bantuan Allah. Manakala istiqamahnya bisa terus menerus, maka ujub dan kesombongan itu, yang menjauhkannya dari Allah akan bisa dilalui, dan ia pun bisa masuk menjadi khusnul khatimah dhahiran wa bathinan.
Tetapi manakala dia berhenti dari istiqamahnya di suatu waktu, maka ia pun disebut mantan ahli ibadah, dan kita berlindung kepada Allah dari hal yang demikian. Kalau sudah demikian orang harus ingat, sebagaimana ahli maksiat, Allah Maha Pemurah dan kembali berdisiplin diri, karena sejatinya dia adalah ahli maksiat batin dengan baju lahir ketaatan. Karenanya tidak perlu kagetan.
Kyai Nur Kholik Ridwan
Murid Qadiriyah-Naqshabandiyah-Shathariyah, Dzikrul Ghafilin dan Ratib al-Haddad. Pernah aktif di Pengurus Pusat Rabithah Ma’ahid Islamiyah Nahdlatul Ulama (PP RMI-NU).