Banser, HTI dan Perang Jamal
Oleh Ayik Heriansyah
Banser jadi bintang sejak dulu kala. Sebelum HTI berdiri, Banser sudah mencatat prestasi sebagai penjaga ulama, umat dan negara yang terpercaya. Kesetiaan Banser kepada ulama, umat dan negara sudah teruji dan terbukti meskipun buku-buku sejarah tidak mencatatnya dengan rapi. Sebenarnya diakui atau tidak, kita butuh Banser.
Saya sendiri baru sadar akan Banser. Waktu masih kecil di kampung saya, saya tahunya Banser sering latihan baris-bebaris di depan rumah setiap menjelang 17 Agustus. Tetangga saya ketua GP Ansor-Banser. Mereka latihan dalam rangka mengikuti pawai. Seiring perjalanan waktu saya sedikit paham apa itu Banser. Banser itu hebat. Kadang oknumnya berulah itu wajar-wajar saja.
Kontras dengan Banser, HTI diciptakan memang untuk merongrong negara. Di negeri Islam dari Maroko sampai Merauke, Hizbut Tahrir ditakdirkan jadi pemberontak. Di Indonesia, Hizbut Tahrir terhitung lebih beruntung dibandingkan rekan-rekan mereka di negara lain. Di Irak dan Libya anggota Hizbut Tahrir dihukum gantung. Di Suriah diberodong senjata. Di Arab Saudi dan Yordania jadi pesakitan. Di Turki dan Pakistan, dipenjara. Di Uzbekistan, Tajikistan dan Turkmenista, anggota Hizbut Tahrir dibunuh penguasa.
Salahkah para penguasa itu? Tidak ada yang salah sebab kegiatan politik Hizbut Tahrir berbahaya bagi keselamatan bangsa dan negara. Entah fiqih siyasah apa yang dikaji Hizbut Tahrir, yang pasti praktik menghalalkan segala cara terjadi di setiap negeri tempat Hizbut Tahrir melakukan gerakannya. Memfitnah, membuat makar dan mengadu domba sesama umat dan ormas Islam, lumrah dilakukan Hizbut Tahrir, termasuk HTI.
Insiden bakar bendera HTI 2 hari yang lalu di Garut jadi bahan bakar HTI untuk menyerang NU, Ansor dan Banser. Dengan kepiawaiannya bermain opini di media sosial, HTI berhasil memprovokasi umat dan ormas Islam. HTI ingin memukul NU, Ansor dan Banser menggunakan tangan pihak ketiga. Sungguh besar dosa HTI yang menyulut permusuhan umat Muhammad Saw.
Kita harus menoleh ke belakang. Melihat sejenak sejarah kaum umat Islam di masa Khulafaur Rasyidin. Krisis, kisruh dan konflik politik umat telah diperingatkan oleh Baginda Nabi Saw. Mari kita ambil hikmahnya supaya terhindar dari malapetaka yang seharusnya tidak perlu terjadi.
Sejarah umat mungkin bercerita lain andaikan tidak ada penyusupan dan provokasi kaum Khawarij di barisan kaum muslimin. Persoalan penanganan terhadap pembunuh Khalifah Utsman mencapai titik temu setelah Khalifah Ali mengutus Al Miqdad bin Al Aswad dan Al Qa’qa bin Amr untuk berunding dengan Thalhah dan Az Zubair. Mereka semua sepakat untuk tidak berperang.
Kemudian kedua belah pihak menjelaskan sudut pandang masing-masing perihal qishash terhadap pelaku pembunuhan Utsman. Thalhah dan Az Zubair berpendapat bahwa tidak boleh membiarkan pembunuh Utsman begitu saja, sedangkan pihak Ali berpendapat bawa menyelidiki siapa pembunuh Utsman untuk saat sekarang bukan hal paling mendesak. Namun, hal ini bisa ditunda sampai keadaan stabil. Jadi, mereka sepakat untuk mengqishash para pembunuh Utsman. Adapun yang mereka perselisihkan adalah waktu untuk merealisasikan hal tersebut.
Setelah kesepakatan itu, dua pasukan pun bisa tidur dengan tenang, sedangkan para pengikut Abdullah bin Saba – mereka para pembunuh Utsman – terjaga dan melewati malam yang buruk, karena akhirnya kaum Muslimin sepakat untuk tidak saling berperang. Demikianlah keadaan yang disebutkan oleh para sejarawan seperti Ath Thabari, Ibnu Katsir, Ibnu Atsir, Ibnu Hazm dan yang lainnya.
Ketika itu para pengikut Abdullah bin Saba sepakat akan melakukan apa pun agar kesepakatan tersebut dibatalkan. Menjelang waktu subuh, ketika orang-orang sedang terlelap, sekelompok orang dari mereka menyerang pasukan Thalhah dan Az Zubair lalu membunuh beberapa orang diantara pasukan mereka. Setelah itu, mereka melarikan diri.
Pasukan Thalhah mengira bahwa pasukan Ali telah mengkhianati mereka. Pagi harinya, mereka menyerang pasukan Ali. Melihat hal itu, pasukan Ali mengira bahwa pasukan Thalhah dan Az Zubair telah berkhianat. Serang-menyerang antara kedua pasukan ini pun berlangsung sampai tengah hari. Selanjutnya, perang pun berkecamuk dengan hebatnya.
Perang Jamal terjadi bukan keinginan Khalifah Ali, ‘Aisyah, Thalhah, Az Zubair beserta pasukan mereka. Perang itu terjadi akibat provokasi yang dilakukan oleh Abdullah bin Saba dan pengikutnya yang terlibat pembunuhan Khalifah Utsman. Bagi pelaku kejahatan negara, stabilitas pemerintahan jadi ancaman bagi mereka. Ketika pemerintah kuat sudah pasti mereka akan dihukum. Tidak ada jalan lain bagi penjahat negara selain menciptakan instabilitas, membumi hangus soliditas masyarakat untuk menghapus jejak.
Dari sini kita dapat pelajaran bahwa penjahat negara seperti HTI akan selalu membuat onar. Insiden kecil dibesar-besarkan. Bila perlu membuat hoax. Mendramatisir fakta. Contohnya Insiden pembakaran bendera HTI di Garut. Dari sudut hukum agama dan negara, membakar bendera HTI bukan tindak pidana. Untung pengurus Banser bersikap proporsional. Jika tidak, “perang Jamal” terulang lagi di sini.
Bandung, 24 Oktober 2018