Belajar Ilmu Huduri di Sekolah
Srie Muldrianto*) – Beberapa tahun lalu sebelum covid 19, seorang teman mengeluh karena temannya mau meminjam uang untuk sebuah keperluan. Teman saya mengeluhkan karena merasa terganggu dengan si peminjam karena merasa tidak dekat dan hanya kenal karena sekantor. Setelah teman saya yang mengeluh pergi kemudian teman saya yang lain (seorang ustadz) bercerita bahwa dia pernah membaca sebuah kisah bahwa “seorang yang meminjam uang sesungguhnya sudah hilang setengah dari harga dirinya jadi jangan hilangkan seluruh harga dirinya dengan tidak memberi pinjaman”.
Teman saya yang seorang ustadz tersebut adalah teman saya yang sangat lembut, bahkan agak sulit menemukan dia benar-benar marah, bahkan saya sering melihat dia jarang menolak permohonan bantuan baik pinjaman atau bantuan lain. Bahkan beberapa orang yang saya kenal ada yang tidak mengembalikan pinjamannya tapi anehnya dia tidak merasa menyesal telah memberi pinjaman yang tidak dikembalikan. Saya baru mengerti bahwa dia seolah-olah merasakan (hadir) penderitaan orang lain di dalam dirinya sehingga dia menjadi lembut dan peduli dengan penderitaan orang lain.
Ternyata ustadaz tersebut dulunya lahir dari keluarga yang kurang beruntung, hidup sangat miskin bahkan untuk sekolah tingkat SMP saja orang tuannya tidak mampu membiayai dirinya. Penghinaan, atau mungkin direndahkan orang lain adalah suatu hal yang biasa. Puluhan tahun kemudian, telah dia lalui kuliah sambil berjualan, membantu dosennya, jualan buku dan berbagai kegiatan lain dia lakukan. Dia merasakan penderitaan orang-orang yang menderita betapa pedih dan sakitnya. Dia memiliki banyak pengetahuan yang didapat dari pengalaman hidupnya yang pahit. Baginya pengetahuan tersebut menjadi alasan mengapa dia harus membantu orang yang hidupnya kurang beruntung. Pengetahuan yang dia ketahui, dia dapatkan langsung hadir dalam dirinya. Inilah yang disebut dengan ilmu huduri. Ilmu huduri adalah semacam pengetahuan yang didapat langsung dirasakan mungkin semacam ainul yakin atau haqul yakin. Pengetahuan inilah yang sulit kita temukan di sekolah. Padahal pengetahuan jenis ini sangat penting karena dampaknya sangat besar bagi kehidupan seseorang, bagaimana mungkin kita bisa berempati pada penderitaan orang yang terpaksa berhutang, orang yang membutuhkan bantuan, hinaan, cercaan, dan berbagai kesulitan hidup lainnya jika kita tidak pernah merasakan semua itu.
Betapa bahayanya sikap kita yang saling membenci, menjatuhkan, memusuhi, dan betapa pentingnya kehidupan dengan cinta, saling bahu membahu dan berkolaborasi. Tapi bagaimana mungkin cinta kasih, empati itu akan tumbuh jika kita tidak memiliki ilmu huduri seperti tersebut di atas. Belajar di sekolah perlu pengembangan metode, strategi dan teknik agar siswa tumbuh rasa empati, cinta kasih, saling membantu dengan belajar ilmu huduri. Bagaimana caranya?
Kesulitan, penderitaan merupakan bagian dari kehidupan. Tak mungkin kita bisa menghindarinya oleh karena itu siswa harus belajar berbagai kesulitan dan penderitaan dalam praktik kehidupan, tak cukup dengan mengetahui lewat pikirannya tapi juga harus mengetahui lewat rasa atau pengalaman hidupnya. Memanjakan anak secara terus menurus dapat menjadi racun di masa depan. Oleh karena itu sejatinya pembelajaran di sekolah harus dibagun secara terintegrasi dengan realitas kehidupan yang sesungguhnya. Sekolah tidak membatasi diri pada lingkungan yang steril dari berbagai permasalahan lingkungan dan kehidupan. Anak harus tahu dan merasakan kehidupan di sekelilingnya. Anak harus disiapkan dengan melibatkan diri pada aktivitas sosial. Beberapa sekolah telah mempraktikan kegiatan home stay atau hidup dan tinggal di rumah penduduk yang kurang beruntung sehingga dia mampu merasakan penderitaan orang lain.
Ilmu rasa, ilmu huduri, atau pengalaman dalam praktik dalam pembelajaran merupakan satu kesatuan dengan ilmu pikir, konsep, pemahaman, Analisa, sintesa, dan evaluasi (HOTS) agar menjadi memanusia. Bukankah pendidikan adalah sebuah proses memanusiakan manusia?
Ada kawan saya dulu kuliah di Mesir dari S1 dan S2 nya di Al Azhar Cairo, katanya dia pernah baca sebuah penelitian terkait gaya tafsir orang yang tidak menikah dengan tafsir orang yang menikah dan punya anak. Katanya gaya tafsirnya berbeda yang tidak menikah dan tidak punya anak agak sedikit keras atau mungkin to the point. Sementara tafsir yang ditulis oleh orang yang menikah dan punya anak lebih lembut. Mungkin saja yang tidak menikah tidak memiliki pengetahuan huduri mencintai anak yang demikian tinggi.
Pembelajaran di sekolah merdeka belajar telah menerapkan model pembelajaran langsung hadir ke dalam diri siswa seperti model pembelajaran Project Base Learning dan Contextual Learning. Model pembelajaran seperti ini mirip dengan pendekatan irfani atau ilmu tasawuf yang mengedepankan hati, rasa, dan cinta. Ilmu ini dalam tradisi mantiq biasa disebut ilmu huduri (Presentif Knowledge) yang berbeda dengan ilmu Khusuli (Ilmu pada umumnya) yang dicari melalui upaya keras membaca, menganalisa, mendiskusikan sebuah ilmu.
*Penulis adalah Aktivis JATMAN Purwakarta, Dosen Ilmu Pendidikan STAI Dr. KH. EZ. Muttaqien Purwakarta