Gutenberg dan Sejarah Pers
Setelah Acta Diurna dari masa Romawi kuno (59 SM), berisi berita sosial dan politik, di akui sebagai koran pertama di dunia. Ditemukan pula koran cetak pertama Di Bao (Ti-pao) tahun 700an di Cina. Metode Pencetakannya menggunakan balok kayu, yang dipahat aksara cina.
Bentuk koran berikutnya juga masih sederhana, newsletter dan buku berita, pada 1400an. Beritanya seputar dunia bisnis para bankir dan pedagang eropa. Selanjutnya di 1500an muncul lembar berita/newsheet dipelopori Notizie Scritte (pemberitahuan tertulis) yang terbit di Venesia, Italia. Lembar berita ini biasanya dipasang di banyak tempat umum, tetapi yang ingin membacanya harus membayar 1 gazzeta yang kelak memunculkan istilah gazzeta yang menunjuk koran.
Terbitnya koran-koran di Eropa di awali dengan temuan mesin cetak Johann Gutenberg pada pertengahan abad XV yang memudahkan proses produksi. Cara kerja mesin cetak itu juga melahirkan istilah “pers” (Belanda), atau “press” (Inggris), atau presse (Prancis), berasal dari bahasa latin, perssare dari kata premere, yang secara etimologis berarti “tekan” atau “cetak”. Kemudian berkembang definisi terminologisnya sebagai “media massa cetak” atau “media cetak”.
Penerbitan awalnya tidak teratur dan memuat sedikit peristiwa, sampai terbitnya Avisa Relation oder Zeitung, sejak 1609 di Strasbourg, Jerman yang memulai penerbitan berkala, mingguan. Meskipun demikian, mingguan Frankfurter Journal (1615) yang dikelola Egenolph Emmel di Frankfrut, Jerman, umumnya dipandang sebagai koran pertama di dunia. Sedangkan koran harian pertama di dunia disematkan pada Leipziger Zeitung (1660) juga di Jerman, yang mula-mula terbit mingguan, kemudian menjadi harian.
Media Cetak di Indonesia
Bataviasche Nouvelles dianggap koran pertama di Indonesia, pertama kali terbit pada 1744. Mingguan ini berumur pendek, cuma dua tahun. Lama berselang, pada 1776, di Jakarta terbit Vendu Nieus, yang memuat segala macam barang lelangan, mulai perabotan rumah tangga hingga budak. Mingguan ini akhirnya berhenti terbit ketika Gubernur Jendral Daendeles mengambil alih percetakan. Deandels kemudian menerbitkan Bataviascche Koloniale Courant (1810) yang juga berumur pendek. Koran pemerintah itu kemudian berkali-kali berganti tuan dan nama. Saat Inggris bercokol berganti Java Government Gazette, sebagai corong pemerintah. Saat Belanda kembali berkuasa, koran itu diubah jadi Bataviasche Courant (1816), lalu Javasche Courant (1827). Pada 1942 saat Jepang berkuasa, koran yang sama dirubah menjadi Ken Po, artinya berita pemerintah.
Mengenai koran pribumi, Van der Muelen dalam de Courant Stijhoff (Leiden 1885), menyebut 1856 untuk koran yang pertana kali terbit di Indonesia, ketika terbit Soerat Kabar Bahasa Melajoe di Surabaya. Namun jauh sebelumnya pada 1854 di Weltevreden (Gambir), Jakarta, muncul majalah Bianglala dari pihak Zanding dan Mingguan bahasa Jawa Bromartani yang terbit pertama pada 29 Maret 1855. Sementara surat kabar berbahasa Melayu terbit pertama kali pada 1856 bernama Selompret Melajoe yang diterbitkan oleh E Fuhri.
Kemudian pada 1885 terbitlah surat kabar Retno Dhoemillah yang dipimpin oleh dr Wahidin Soedirohusodo. Sejak saat itu, Pers telah digunakan para pendiri bangsa sebagai alat perjuangan untuk memperoleh kemerdekaan. Masih pada 1885, di seluruh daerah yang dikuasai Belanda, telah terbit sekitar 16 surat kabar dalam bahasa Belanda dan 12 surat kabar dalam bahasa Melayu seperti Bintang Barat, Hindia-Nederland, Dinihari, Bintang Djohar (terbit di Bogor), Selompret Melajoe, Tjahaja Moelia, Pemberitaan Bahroe (Surabaya).
Sejak itu banyak terbit koran Melayu, yang masih dikelola oleh orang belanda asli atau peranakan.
Pada 1904 pers Indonesia bangkit, saat Raden Mas Djokomono dengan akte notaris Simon Mendirikan NV Javaansche Boekhandel & Drukkerij en handel in Schrijfbehoeften Medan Prijaji di Bandung, diikuti dengan terbitnya mingguan Medan Prijaji (1907), yang pada 1910 menjadi harian.
Sedangkan pada masa pendudukan Jepang yang sangat membatasi kebebasan pers, salah satu surat kabar pribumi yang diizinkan terbit pada masa itu adalah Tjahaja pada 1942. Surat kabar ini sudah menggunakan Bahasa Indonesia dan diterbitkan di Bandung. Kantor berita Tjahaja dipimpin oleh Oto Iskandar Dinata, R. Bratanata, dan Mohamad Kurdi (pimpinan redaksi koran berbahasa Sunda Sipatahoenan).