Indonesia Masih Gagap Demokrasi
Achmad Bissri – Wajah tiga pasang capres dan cawapres 2024 mulai terpampang di palang-palang pinggir jalan dengan caption yang beragam. Bendera parpol berkibar di mana-mana mengalahkan bendera Indonesia. Pertanda pemilu sebagai pesta demokrasi sudah dekat.
Acara TV dan Channel YouTube pun banyak yang mengangkat perdebatan antara tiga pasangan itu. Masyarakat yang pro dan kontra juga mulai bersuara. Bahkan yang mengumbar kefanatikan pun ada. Namun di luar itu, apakah Indonesia sudah becus dalam berdemokrasi?
Mengutip dari laman Fakultas Ilmu Sosial dan Politik, berdasarkan sejarah, Indonesia menganut beberapa macam demokrasi mulai Demokrasi Parlementer(1945-1959), Demokrasi Terpimpin(1959-1969), Demokrasi Pancasila (Orde Baru), dan Demokrasi Pasca Reformasi (1998-sekarang) . Akan tetapi sayang seribu sayang, mulai dulu sampai sekarang Indonesia belum bisa berdemokrasi secara maksimal. Dari beberapa sistem demokrasi di atas, masih terdapat kebobrokan. Kurang lebihnya sebagai berikut:
1. Kebobrokan di masa sistem Demokrasi Parlementer
Pemerintahan negara pada masa Demokrasi Parlementer diterapkan berada di tangan parlemen. Sesuai dengan UUD Sementara 1950 pasal 51. Artinya, kabinet disusun menurut pertimbangan kekuatan kepartaian dalam parlemen. Sedangkan Presiden sekedar lambang kesatuan.
Pada masa ini, banyak pihak parlemen yang cenderung memperjuangkan kepentingan golongan. Sehingga persaingan untuk menjatuhkan yang lain pun terjadi. Maka tak heran kalau pergantian kabinet sering terjadi.
Selain itu, pemilu pertama yang dilaksanakan pada era Demokrasi Parlementer (1955), ternyata belum memenuhi harapan rakyat yang menghendaki pemerintahan yang stabil. Para DPR yang terpilih hanya memperjuangkan partainya. Akibatnya muncul berbagai tindakan separatisme di berbagai daerah yang mengarah pada pemberontakan dan berniat memisahkan diri dari Indonesia.
2. Kebobrokan di masa sistem Demokrasi Terpimpin
Di masa Demokrasi Terpimpin kebobrokan seperti, korupsi yang kerap kali menjadi masalah serius. Faktornya adalah kekuasaan tinggi yang tidak memiliki transparansi. Alhasil menjadi Peluang korupsi bagi pejabat pemerintah, pemimpin politik, dan kelompok elit yang berkuasa.
11 April 1960 koran Pantjawarta menjadi saksi bisu akan 14 pegawai negeri yang melakukan tindakan korupsi. Tak berjeda lama, satu tahun setelahnya juga terungkap kasus korupsi yang melibatkan Yayasan Masjid Istiqlal. Sedangkan 25 Januari 1964 kasus korupsi hinggap di RSUP Semarang. Tak hanya itu, 24 Maret 1964 korupsi juga terjadi dalam perusahaan semen. Ditutup dengan korupsi dalam pembangunan “Press House”, 1962.
Kebobrokan selanjutnya adalah ketidak adilan sosial. Meskipun demokrasi terpimpin fokus akan tujuan sosial dan ekonomi, ternyata masih berpotensi terjadinya ketidakadilan. Kekuasaan yang terpusat pada pemimpin atau kelompok kecil dapat menyebabkan ketimpangan ekonomi dan sosial. Kelompok yang berkuasa dapat mendapatkan keuntungan sementara masyarakat umum tidak mendapatkan manfaat yang dijanjikan.
Bahkan kondisi ekonomi pada masa ini menjadi salah satu kondisi terburuk dalam riwayat sejarah Indonesia. Terdapat berbagai masalah seperti, ekspor dan investasi merosot, menipisnya cadangan devisa, Inflasi mencapai ratusan persen dan harga kebutuhan pokok mahal. Dan salah satu faktornya adalah anggaran negara dihamburkan untuk proyek politik Presiden Soekarno.
Yang terakhir, kurangnya akuntabilitas. Pemimpin yang berkuasa lepas konsekuensi atas tindakan dan kebijakan mereka. Kurangnya transparansi serta kontrol mengakibatkan penyalahgunaan kekuasaan tanpa konsekuensi yang memadai. Ini dibuktikan dengan adanya penyelewengan MPRS dalam Sidang Umum tanggal 15-22 Mei 1963 yang menetapkan pengangkatan Soekarno sebagai Presiden Republik Indonesia seumur hidup.
3. Kebobrokan di masa sistem Demokrasi Pancasila
Setelah orde lama selesai, Indonesia bertransisi menjadi Orde Baru dengan sistem Demokrasi Pancasila. Kita ketahui bersama betapa bobroknya era ini. Visi utama untuk melaksanakan Pancasila dan UUD 1945 secara murni dan konsekuen dalam setiap aspek kehidupan masyarakat sekedar omong kosong dan alat politik penguasa. Kenyataan yang terjadi, pelaksanaan Demokrasi Pancasila sama dengan kediktatoran.
Bahkan Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) menolak tegas pemberian gelar Pahlawan Nasional kepada mantan Presiden Soeharto, lantaran banyaknya berbagai kasus pelanggaran hak asasi manusia yang terjadi pada masanya. Mulai penculikan aktivis pro demokrasi (Februari-Maret 1998), Tragedi Trisakti (12 Mei 1998), kerusuhan Mei ’98 (13-15 Mei 1998), Kasus Timika (Mei 1998), bahkan pembantaian massal terhadap orang yang diduga berpaham komunis (1965-1966).
Tidak berhenti di situ, pelanggaran hak ekonomi, sosial, budaya juga terdapat pada masa Presiden Soeharto di antaranya: perampasan tanah rakyat Kedung Ombo (1985-1989), perampasan tanah rakyat atas nama PT Perkebunan Nusantara (PTPN), Bahkan kasus pembakaran rumah warga, dan kekerasan seksual yang dilakukan oleh PT Kelian Equal Mining di Kalimantan Timur.
4. Kebobrokan di masa sistem Demokrasi Pancasila (Masa Reformasi)
Dengan lengsernya Presiden Soeharto berakhirlah Orde Baru serta Demokrasi Pancasilanya. Indonesia pun beralih menuju era reformasi dengan demokrasi barunya. yakni Demokrasi Reformasi.
Berbagai masalah juga terdapat pada masa ini, bahkan yang baru-baru ini terjadi, yakni masuknya nama Gibran Rakabumi dalam bursa Cawapres. Sistem dinasti politik yang dibawakan Presiden Jokowi terasa begitu jelas, melihat putusan Mahkamah Konstitusi soal usia calon pemimpin negara dengan dalih mengangkat kaum milenial.
Presma Universitas Islam Negeri (UIN) Raden Fatah Palembang Muhammad Yoga Prasetyo, memandang keputusan MK seakan-akan mempermainkan supremasi hukum. Dengan dalih mendekati pemilihan ada keputusan fenomenal yang melahirkan dinasti politik secara terang benderang dan karpet merah.
Kekhawatiran mahasiswa pada praktik dinasti politik di Pemilu 2024 karena kurangnya edukasi di masyarakat, khususnya pemilih pemula. Diketahui ada 52 persen para pemilih pemula dan Gen Z yang tidak pernah peduli dengan iklim politik.
Dari masa ke masa, banyak sekali kekacauan Indonesia dalam melakukan praktik demokrasi. Entah karena kurangnya pengetahuan atau penyelewengan demi kepentingan pribadi dan golongan. Agaknya Indonesia masih gagap menjalankan demokrasi yang sesuai.