Islam yang Ramah
Toufik Imtikhani – JUDUL di atas, yaitu Islam Yang Ramah, sebetulnya judul yang salah. Sebab dengan judul itu, seolah-olah Islam itu terbagi menjadi dua, ada Islam yang ramah, dan ada Islam yang tidak ramah. Dan kedua duanya seolah betul. Walau secara faktual, kita memang menghadapi, mengalami, menyaksikan, bentuk, model dan gaya pelaksanaan Islam. Ada yang ramah, dan ada yang marah.
Islam hakekatnya satu. Asalnya pun satu. Islam hanya mempunyai watak yang ramah, karena islam itu rahmah. Kalau ada model Islam yang tidak ramah, maka itu sebuah kesalahan fatal dalam berislam. Atau kalau bisa dikatakan, sesat dan menyimpang dalam berislam. Ditinjau dari dimensi apapun, aqidah, syariah, maupun akhlak. Karena islam yang tidak ramah, pasti bersumber dari aqidah yang salah, syariat yang keliru, dan akhlak yang menyimpang ( deviation ).
***
Nabi pernah ditanya oleh malaikat Jibril yang menyamar menjadi manusia, tentang iman ( aqidah ), Islam ( syariah ), dan ikhsan ( akhlak ). Hadist ini shohih karena diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim, plus dihadapan para sahabat. Setelah Jibril pergi, Nabi bertanya kepada Umar Bin Khattab,” Ya Umar, tahukan kamu laki-laki yang bertanya tadi?”. Umar menjawab, bahwa Allah dan Rasulnya yang lebih mengetahui. Nabi kemudian menjawab, Dia itu Jibril, yang mengajarkan kepada kamu tentang agamamu.
Jadi dari hadist tersebut dapat ditarik suatu kesimpulan, bahwa Islam itu terdiri dari tiga dimensi, yaitu aqidah, syariah dan akhlak. Ketiga dimensi ini tidak bisa dipisahkan satu sama lain. Yang satu tidak dapat sempurna tanpa yang lainnya. Dimensi aqidah akan nampak dalam wujudnya syariah, dan dimensi syariah akan nampak dalam wujudnya akhlak. Akhlak yang baik akan terwujud dari suatu pemahaman aqidah yang benar, dan tafsir syariat yang tidak keliru.
Sayang bahwa pedoman Islam, yaitu quran dan hadist itu berbahasa arab. Artinya, untuk mempelajari pedoman itu perlu proyek penerjemahan dengan berbagai bahasa yang ada di dunia. Ini baru proses mempelajari, belum sampai pada tahap memahami. Untuk memahami kedua sumber utama itu, perlu ilmu, yaitu pengetahuan tentang ilmu bahasa, hawu-sorof, balagho, mantiq, sastera Arab, dan lain-lain. Dan ini bukan persoalan yang mudah. Masyarakat agama lebih banyak terdiri dari golongan awam, bukan kelompok ulama.
***
Belajar agama itu membutuhkan proses yang lama. Sementara dinamika masyarakat bergerak cepat. Beberapa kelompok orang tidak sabaran dalam mempelajari agama, dikarenakan tuntutan “ pasar” dakwah, melalui media massa dan media sosial. Maka dilakukan langkah-langkah instan. Belajar secara otodidak, langsung kepada sumber utamanya, yaitu quran –hadist, tanpa perangkat ilmu yang memadai, atau belajar instan melalui postingan-postingan di media sosial. Dampak buruknya adalah, kesesatan dalam memahami aqidah, kekeliruan dalam memahami syariat, dan penyimpangan dalam akhlak.
Kesesatan dalam memahami aqidah akan melahirkan paham fundamentalisme. Klaim bahwa keyakinannya yang paling benar, membuat memandang orang lain yang berbeda aqidahnya, kendati itu hanya persoalan furu’iyah, sebagai kafir, yang harus diperangi.
Pemahaman yang keliru terhadap syariat, akan melahirkan paham radikalisme-puritanisme, dan klaim bahwa amaliyah dan ibadahnya yang paling benar, melihat kelompok lain yang cara beribadahnya berbeda, dianggap sebagai palaku bid’ah, khurafat dan takhayul, kendati itu hanya menyangkut persoalan-persoalan khilafiyah saja. Kelompok ini selalu bersemboyan laa hukma illa lillaah, tidak ada hukum kecuali hukum Allah.
Penyimpangan dalam hal akhlak terjadi, kemudian jika sekelompok orang merasa sistem nilai yang dianutnya paling benar, dan menegasikan budaya-budaya lain yang secara faktual ada di kehidupan mereka sendiri secara ko-eksistensif. Budaya mereka diklaim sebagai satu-satunya pilihan final dalam kehidupan bersama. Jika itu terjadi pada seorang muslim, maka yang dikehendakinya adalah terbentuknya masyarakat islam, negara islam, atau khilafatul muslimiin.
***
Dengan pemahaman seperti itu, maka sulit untuk menghindari terjadinya pemaksaan kehendak. Maka islam akan tampil dengan model yang keras dan amarah. Tentu ini penyimpangan serius dari fitrah islam. Sebab fitrah islam itu sesuai dengan fitrah manusia. Sedang fitrah manusia itu cenderung kepada kebaikkan ( hanief ), sebagai mana firman Allah dalam QS, Ar-Rum:30.
فَأَقِمْ وَجْهَكَ لِلدِّينِ حَنِيفًا ۚ فِطْرَتَ اللَّهِ الَّتِي فَطَرَ النَّاسَ عَلَيْهَا ۚ لَا تَبْدِيلَ لِخَلْقِ اللَّهِ ۚ ذَٰلِكَ الدِّينُ الْقَيِّمُ وَلَٰكِنَّ أَكْثَرَ النَّاسِ لَا يَعْلَمُونَ
Dapat dipastikan pula, bahwa kelompok yang keras dalam beragama, kurang memahami bacaan mereka sendiri tentang Al Qur’an. Sederhana saja, ketika kita membuka Al Qur’an, kalimat yang pertama kita lihat dan harus kita baca adalah lafaldz basmalah, yang disitu terkandung asma dan sifat Allah yang Rahman dan Rakhiem, penuh kasih dan sayang. Sebelum quran menyebut sifat-sifat Allah yang lain, apapun sifat itu, misal sifat keagungan-Nya, keperkasaan-Nya, atau sifat “ kekejamann-Nya”, hal yang pertama dan utama qur’an sampaikan adalah mengenai sifat Allah yang penuh dengan rahmah, dengan kasih dan sayang.
Jadi tidak ada alasan untuk berbuat keras dan kasar. Kepada Firaun pun Nabi Musa dan Harun diperintahkan untuk berdakwah secara qaulan layyinan. Padahal Firaun adalah raja diraja yang paling kejam dan bengis.
Sungguh banyak perintah untuk berbuat baik. Perbuatan baik selalu beriringan dengan kata “aamanu”, dengan keimanan. Seolah dan memang sudah seharusnya, keimanan yang benar harus tercermin dalam amalan yang baik. Rahmat Allah akan menyebabkan hati menjadi lemah lembut. Maka dalam hati yang lemah lembut, tak mungkin muncul perilaku keras dan kasar ( QS,3:159).
فَبِمَا رَحْمَةٍ مِّنَ ٱللَّهِ لِنتَ لَهُمْ ۖ وَلَوْ كُنتَ فَظًّا غَلِيظَ ٱلْقَلْبِ لَٱنفَضُّوا۟ مِنْ حَوْلِكَ
Sampai sebuah senyuman oleh Nabi kita dianggap sebagai bagian dari sedekah. Senyuman adalah bentuk dari sikap yang ramah, bukan sikap yang marah. Alangkah indahnya jika kita, bertemu dengan orang yang selalu tersungging senyum di bibirnya ( asalkan tidak senyam senyum sendirian ). Nabi ketika bermuka masam, tanda tidak senang dan tidak ramah, kepada Abdullah bin Umi Maktum, pun langsung ditegur oleh Allah (QS,80 ). Coba bayangkan, jika banyak Umi Maktum Umi Maktum yang lain, datang untuk memeluk Islam, tapi kita bermuka masam, keras dan kasar, bisa jadi mereka akan kembali kepada keyakinan semula.
Nabi pun rukuknya dalam sholat, pernah ditahan punggungnya oleh jibril, hanya karena menunggu perjalanan Ali yang terhalang oleh seorang yahudi tua yang berjalan di depannya. Ali terasa sungkan untuk mendahului Yahudi tua itu. Sebuah cermin moralitas Islam yang dibangun di atas fundamen iman yang benar dan bertiang syariat yang lurus. Jadi, apalagi dasar para perilaku keras dan kasar dalam beragama bagi seorang muslim? Kebangkitan apakah yang mereka impikan, kecuali kebangkitan semu dalam beragama.***
*) Penulis Kader NU Pinggiran. Tinggal di Cilacap.