Kreativitas Budaya Sunda di Bulan Puasa
Tarawih, tadarus, imsak merupakan istilah tenar di bulan Puasa. Orang mengungkapkan dan memaknainya di koran, buku; mengucapkannya di telivisi atau radio. Sekarang ditambah di ragam jejaring sosial, minimal di Facebook dan Twitter dan lain-lain.
Tapi di Sunda, khususnya daerah saya, Sukabumi dan sekitarnya, ada istilah yang lebih akrab. Istilah-istilah itu berkontestasi atau beriringan sejalan dengan istilah-istilah tersebut. Di antaranya adalah munggahan, ngabuburit; puasa cacap, bedug dan ayakan; godin, dan ngadulag.
Tiga istilah pertama berasal dari bahasa Arab, mempunyai arti yang sudah dibakukan dan tentu saja kita bisa mencari rujukan dalam teks-teks keagamaan. Sedangkan istilah-istilah terakhir, merupakan khas lokal, kadang tak jelas asal-usul maupun batasannya. Tapi tetap digunakan karena kebiasaan.
Munggahan
Di akhir bulan Sya’ban, ada satu moment penting yang tak bisa diabaikan, yaitu munggahan. Berbagai hal dilakukan dalam moment ini. Orang di perantauan biasanya pulang kampung. Berkumpul bersama keluarga. Saling berkirim sesuatu dengan sanak keluarga atau tetangga. Berziarah ke makam, mandi keramasan (disebut balimau di Sumbar, di Jawa padusan), bermaaf-maafan, dan seterusnya.
Munggahan berasal dari kata ungggah yang berarti naik undakan untuk masuk, misalnya ke rumah atau ke masjid (dulu rumah dan masjid berbentuk panggung). Dalam lidah orang Sunda, kata unggah sering diawali huruf ‘m’ hingga lumrah dilapalkan munggah.
Kata ini sering dikaitkan dengan proses ibadah haji (munggah haji). Dalam ibadah ini terjadi proses naik (bergerak) secara lahiriyah dan (seharusnya) batiniyah. Secara lahiriyah berarti naik pesawat terbang atau kapal laut. Sedangkan secara batiniyah adalah berubah dari sifat yang buruk menjadi lebih baik (mabrur).
Sedangkan munggah dalam menghadapi bulan puasa, yaitu unggah kana bulan nu punjul darajatna (naik ke bulan yang tinggi derjatnya). Sebagaimana dalam ibadah haji, dari kata munggah tersebut tersirat perubahan, baik secara lahiriyah dan (seharusnya) batiniyah. Secara lahiriyah misalnya, kita harus menahan diri dari rasa haus dan lapar. Jadwal makan berubah dari biasanya.
Tapi ada yang lebih penting: seharusnya berubah dalam pemikiran, ibadah, sikap hidup, dan seterusnya; yang tentunya ke arah yang lebih baik.
Laiknya dalam lomba lari, munggahan dalam ibadah haji dan puasa adalah start. Jika semua dilakoni dengan baik sesuai juklaknya, maka diganjar mabrur (haji), dan kemenangan, suci, fitri di hari lebaran (puasa).
Cacap, Bedug dan Ayakan
Muncul pula kategori puasa khas lokal, yaitu puasa cacap, puasa bedug dan puasa ayakan. Istilah ini merupakan kategorisasi puasa dilihat dari segi waktu berbuka. Pertama, puasa cacap adalah puasa yang cacap (selesai); yaitu berpuasa mulai dari terbit fajar (imsak) hingga bedug maghrib. Kedua, puasa bedug, dimulai dari terbit fajar sampai bedug lohor atau ashar.
Sedangkan ketiga, puasa ayakan, justru tidak jelas batasan waktunya. Sebenarnya puasa jenis ini adalah kependekan dari pribahasa puasa jojodog jeung ayakan. Artinya, lamun euweuh ngajedog, lamun aya dihakan. Kira-kira maksudanya adalah, kalau tidak ada (makanan) diam, tapi kalau ada, dimakan. Jadi, batas berbuka puasanya adalah makanan.
Ketiga kategori tersebut, jika dilihat dari segi pelakunya adalah sebagai berikut. Puasa cacap dilakukan orang yang secara fisik kuat, tapi tidak sedang melakukan kerja berat atau perjalanan jauh. Biasanya mereka memiliki penghayatan keagamaan kuat.
Puasa bedug biasanya dilakukan anak-anak. Dia punya keinginan sampai maghrib, tapi raga belum kuat. Sedangkan puasa ayakan biasanya dialakukan orang yang secara fisik jelas kuat, tahu bahwa puasa wajib. Tapi malas melakukannya. Ada yang melakukannya diam-diam, ada pula yang terang-terangan. Tipikal orang berpuasa ayakan disindir Doel Sumbang dalam lagu Tuturut Munding.
Godin
Kata ini tidak saya temukan di kamus bahasa Sunda yang disusun R.A. Danadibrata. Kamus tersebut, menurut Ajip Rosidi memiliki entri yang cukup banyak, sekitar 40-50 ribu kata. Kamus disusun sejak lama, tapi upaya diterbitkan sekitar tahun 80-an. Tapi gagal. Berhasil terbit sekitar tahun 2000-an.
Mungkin godin istilah belakangan sehingga penyusunnya tidak mengenal kata itu.
Saya mengira, kata ini berasal dari bahasa Arab. Saya menemukan kata ini pada niat puasa, demikian; Nawaitu shauma “ghadin” an adai pardhi syahri ramadhana hadihi sanati pardha lillahi ta’ala. Dalam kalimat ini, “ghadin” berarti esok hari.
Tapi ternyata, maknanya “diselewengkan “semena-mena. Di Sunda artinya menjadi berbuka puasa. Dan yang lebih mengherankan, berbuka sebelum waktu maghrib. Penyelewengan berlapis-lapis. Mungkin awalnya tak sengaja, tapi kemudian jadi kebiasaan dan akhirnya kesepakatan.
Ngabuburit
Kata ngabuburit berasal dari kata dasar burit yang berarti sore hari atau waktu menjelang tenggelamnya matahari. Kemudian mendapat awalan nga dan proses redupklikasi dwipurwa (pengulangan kata imbuhan pertama). Jadi ngabuburit. Kata ini sangat menasional. Tak ada kata lain yang terkenal dari istilah ngabuburit.
Ngabuburit berarti menunggu atau menghabiskan senja hingga datangnya maghrib. Dalam bulan puasa, tujuannya melupakan perut lapar sampai tiba waktnya buka. Berbagai hal yang dilakukan di antaranya, jalan-jalan, membaca buku, nongkrong, tadarus atau kegiatan-kegiatan lain yang tak ada batasan tertentu.
Bagi orang Sunda, ngbuburit tidak hanya berlaku di bulan puasa. Di samping itu, orang tidak berpuasa sekali pun bisa dikatakan ngabuburit. Misalnya, jika orang itu jalan-jalan di sore hari, dia berhak pula mengatakan sedang ngabuburit.
Ngadulag
Ngadulag adalah tabuh-tabuhan khas dengan alat musik bedug dan beberapa kohkol (kentungan) yang biasa berada di samping masjid. Ngadulag artinya menabuh bedug dengan irama dulag. Tidak ada aturan khusus tentang irama dulag. Tapi setiap penabuhnya berusaha supaya tetabuhannya mengeluarkan suara yang enak didengar dan seunik mungkin. Dalam pendengaran orang Sunda, secara umum, dulag berbunyi dulugdugdag.
Dulag hanya diperbolehkan saat bulan puasa. Biasanya ditabuh selepas tarawih dan saat membangunkan orang sahur. Dulag dilakukan semalam suntuk saat malam takbiran Idul Fitri atau Idul Adha. Tidak hanya di masjid, kadang dulag dilakukan sambil mengarak bedug di jalanan.
Di daerah Banten, ada tradisi ngadu dulag, yaitu pertandingan memukul bedug antarkampung selepas lebaran. Yang paling tahan lama ngadulag dianggap sebagai pemenang.
Sebagai penghias lebaran, dulag jadi istilah yang disandingkan dengan pakaian baru dibeli. Misalnya sarung dulag, atau peci dulag. Artinya sarung dan peci yang baru dibeli.
Selain itu, dulag juga mengisyaratkan kemeriahan dan keramaian. Ada peribahasa Sunda yang berbunyi, jauh ka bedug anggang ka dulag. Peribahasa ini menggambarkan kesunyi-senyapan dengan pengibaratan jauh dari suara bedug dan riuh-rendahnya dulag.
Dialog agama dan budaya
Bagi saya, istilah-istilah semacam itu mencerminkan kreativitas masyarakat Sunda yang mampu mendialogkan budayanya dengan agama yang dianutnya. Keduanya tidak saling menghakimi dan menegasikan, bahkan makin memperkuat, akrab dan lebih bisa dihayati. Islam sendiri memberikan peluang hal itu dengan menampung hal yang lama yang baik dan mengambil yang baru yang lebih baik. Secara syariat, Islam juga memperkuat syariat-syariat agama sebelumnya. Contohnya berhaji dan berpuasa.
Masyarakat memang bukan ceret kosong yang jika diisi air kopi, akan muncul kopi dengan persis. Kalaupun kopi itu yang keluar, cita rasa, bentuk dan warnanya akan lain. Ketika bersentuhan dengan istilah-istilah dari luar kebudayaannya, mereka akan menerima, menolak, atau mengawinkan, sehingga lahir kreasi-kreasi baru yang unik dan khas. Tapi kadang dari masyarakat itu sendiri, lahir orang antikreasi. Waallhu ‘alamu bi al-shawab.
Penulis adalah warga NU kelahiran Sukabumi
Sumber : NU Online