The news is by your side.

Marak Aplikasi Digital Sektor Keuangan, Siapa Bertanggung Jawab Mengawasinya?

Perkembangan dunia digital semakin cepat seiring pesatnya laju pertumbuhan kepemilikan telepon pintar di masyarakat. Data dari Kementerian Komunikasi dan Informasi (Kominfo) mencatat bahwa pada tahun 2019, angka kepemilikan smarphone di Indonesia mencapai lebih dari 100 juta pengguna, dengan daya konsumsi internet mencapai 93.4%. Angka kepemilikan ini secara tidak langsung telah menempatkan Indonesia sebagai negara terbesar keempat masyarakat pengguna telepon pintar, setelah China, India, dan Amerika.

Kondisi ini beriringan dengan terus bermunculannya berbagai platform digital di telepon genggam ini yang dipasarkan lewat Google Play Store. Dengan kemampuan di bidang teknologi, sejumlah kalangan berlomba-lomba membangun app atau aplikasi, dan ditawarkan ke umum. Langkah ini juga dinilai menjadi solusi di tengah berbagai hambatan mendirikan sebuah usaha di sektor fisik yang meniscayakan modal, perizinan, tempat usaha, jaringan sosial, dan lain-lain.

Menariknya, app yang semula dibangun oleh mereka ini laris manis ketika diikuti oleh sebuah strategi pemasaran tertentu. Media promosi lewat jaring media sosial, seperti Facebook, Twitter, Instagram, dan Whatsapp turut mempercepat pengenalan platform dan app yang baru mereka bangun ini.

UU Nomor 19 tahun 2016 tentang Perubahan UU Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik hadir untuk mengantisipasi hal tersebut. Tujuannya untuk merespons kemungkinan munculnya modus kejahatan baru yang melewati saluran telepon pintar. Perlindungan data pengguna dan e-commerce menjadi fokus utama.

Fakta adanya duplikasi akun media sosial yang semakin hari semakin berkembang ini, menyuguhkan bagian dari aksi terbaru kejahatan dunia digital. Belum lagi tindakan doxing, yaitu mengekspos data pribadi pihak tertentu di media, adalah bagian dari gambaran modus kejahatan terbaru lewat sarana telepon genggam.

Seperti kasus-kasus di atas, sektor keuangan, kredit, dan sejenisnya, juga tak luput dari aksi kejahatan. Sulitnya mengatur dan mengontrol penerbitan app, dianggap sebagai peluang bagi pelaku kejahatan.

Bila dalam dunia konkret saja, berbagai transaksi yang terindikasi money game masih sulit untuk ditindak aparat, maka bagaimana lagi dengan kasus yang berbasis digital?

Dalam riset pemasaran, penulis menemukan adanya beberapa indikasi baru dalam penerbitan pola bisnis terlarang baik secara hukum positif negara maupun secara syara’, khususnya dalam bentuk transaksi digital.

Di antara indikasi tersebut adalah sebagai berikut:

Pertama, ada app yang diproduksi oleh entitas perusahaan tertentu, dan memang sejak awal bergerak di segmen skema bisnis riil terlarang. Namun, karena adanya hambatan di sektor riil, mereka kemudian beralih merambah ke dunia digital.

Mereka memanfaatkan longgarnya penegakan hukum di segmen ini, dengan menerbitkan sebuah aplikasi yang bisa dipasarkan lewat Google Play Store. Skema bisnisnya tetap sama, namun dikemas versi digital.

Ciri khasnya:

  1. Mereka mengajukan iming-iming pendapatan yang tinggi dengan hanya berbasis smartphone.
  2. Tidak ada penyerta (wasilah) bisnis berupa fisik barang yang dipergunakan.
  3. Mereka beralih ke segmen “harta manfaat”(segmen jasa), yang dimodifikasi menjadi bentuk tertentu, sehingga seolah-olah terjadi transaksi yang sah secara syara’.
  4. Keberadaan para ustadz dan tokoh agamawan, kadang ditampilkan sebagai bentuk pembenaran usaha mereka. Padahal, para pengusaha ini sebenarnya bergerak secara pure (murni) dalam money game atau monkey game.

Kedua, ada segmen yang memiliki modus operandi berupa mencari sertifikat perizinan dulu secara resmi ke pemerintah atau instansi terkait. Namun, di tengah jalan, mereka tidak memenuhi segenap ketentuan yang ada di perizinan itu. Mereka sudah tahu bahwa keberadaannya akan diakui sebagai ilegal oleh pemerintah.

Mereka manfaatkan “bukti-bukti” legalitas atau hal-hal yang memperkuat reputasi bahwa bisnis ini aman, menguntungkan, dan banyak peminat. Langkah-langkahnya secara umum adalah sebagai berikut:

  1. Menampilkan bukti izin pendirian yang selanjutnya disertai dengan kebolehan melakukan produksi di ruang terbatas. Meski pada akhirnya dinyatakan ilegal, mereka tetap memanfaatkan bukti pendirian izin usaha itu untuk mengelabui masyarakat pengguna smartphone bahwa entitas bisnis itu adalah legal. Mereka tidak mau menunjukkan hasil keputusan kebijakan terbaru dari pemerintah. Mereka tetap terus jalan tanpa mengindahkan peringatan dari pemerintah.
     
  2. Mereka memanfaatkan ceruk kelemahan penegakan hukum di bidang digital yang masih belum bisa dirambah dan dideteksi oleh aparat penegak hukum. Untuk memperkuat pengelabuannya, mereka menerbitkan seolah telah menerima penghargaan internasional dari sebuah lembaga tertentu. Padahal, lembaga ini sama sekali tidak kredibel dan tidak banyak diketahui masyarakat. Untuk lebih menyempurnakan pengelabuannya, mereka memanfaatkan jejaring internasional.
  3. Langkah berikutnya, mereka memperkenalkan diri sebagai bukan lembaga investasi dan penggalang dana masyarakat. Mereka lebih menekankan pada sikap kooperatif massa pengguna smartphone dengan dalih tolong-menolong dan saling bantu membantu antarsesama. Padahal, di sinilah justru jebakan itu dimulai.
  1. Untuk memuluskan aksinya, mereka memancing dengan seolah memberikan modal berupa harta gaib gratis (mondial) yang bisa dicairkan oleh pengguna setelah menempuh sekian perjalanan waktu. Misalnya, setelah menempuh perjalanan 40 hari mengikuti aksi mereka.
     
  2. Setelah masyarakat itu terjebak dalam jeratnya, pihak entitas perusahaan ini kemudian menawarkan agar masyarakat membeli kelas-kelas level tertentu agar pendapatannya semakin tinggi seiring kenaikan poin pengguna. Guna memancing adrenalin masyarakat pengguna, ada banyak akun palsu diciptakan sehingga seolah ada banyak peserta yang telah ikut dan medapatkan hasil. Masyarakat yang tidak mengetahui, akan mengira itu adalah member lain yang disetting sebagai sukses oleh pemilik aplikasi.

Pintu Masuk Kejahatan Berbasis Aplikasi Digital

Jika ditelusuri lebih jauh, bagaimana kejahatan atas nama sebuah platform di dunia digital ini, khususnya di Indonesia, bisa masuk mempengaruhi masyarakat? Pintu masuknya itu tetap sama dengan praktik kejahatan bisnis di dunia nyata/riil.

Pertama, pintu utama masuknya kejahatan ke masyarakat adalah lewat janji reward (pendapatan) yang tinggi tanpa kerja. Tidak hanya kalangan awam, bahkan kalangan terpelajar pun juga bisa ikut terjebak di dalamnya dan ikut andil dalam memainkan dan menawarkan bisnis. Ironisnya, kepesertaan mereka justru militan. Ini merupakan bagian yang tersulit untuk disadarkan, karena akan berbalik menasihati dan dianggapnya bahwa tindakan orang yang menyadarkan itu telah mempengaruhi sumber keuangannya.

Kedua, mereka memanfaatkan ketidaktahuan masyarakat dalam menganalisis suatu hukum, baik dari sudut pandang hukum positif negara ataupun hukum syara’.

Ketiga, mereka menggiring massa yang sudah berhasil dijaringnya dengan kemudahan-kemudahan dan sarana-sarana mewujudkan mimpi-mimpi itu, tanpa harus bersusah payah dan kerja.

Keempat, mereka membuat sebuah jalur bisnis yang dibikin rumit, berbasis angka matematis dan komputasi, yang rata-rata masyarakat tidak banyak menguasainya. Tujuan memperumit ini ada 2 kemungkinan, yaitu: (1) menyembunyikan skema bisnis mereka yang sebenarnya, dan (2) memancing emosi bawah sadar masyarakat agar terpacu untuk menempuh target-target dan level tertentu yang pendapatannya jauh lebih tinggi dari normal.

Kelima, mereka memanfaatkan segmen masyarakat pemalas dan pemimpi serta tidak mau susah bekerja untuk mencari uang atau pendapatan dengan jalan berkeringat. Segmen ini kadang masuk di kalangan karyawan atau pekerja kelas menengah yang kurang kuat dalam memegang prinsip, bahwa kesuksesan hanya bisa dicapai dengan bekerja keras. Dianggapnya bahwa dengan menyelesaikan misi yang rumit dari aplikasi adalah sebuah pekerjaan yang sah. Akibatnya produktivitas kerja riilnya menurun dan ia terhanyut dalam permainan pemilik platform aplikasi.

Keenam, mereka memanfaatkan kelemahan pemahaman masyarakat tentang sektor ijarah (kerja sewa jasa). Masyarakat dikelabui bahwa kerja mereka adalah termasuk memenuhi akad ijarah. Namun, masyarakat tidak diberitahu mengenai pemaparan siapa yang bertindak sebagai penyewa dan siapa yang disewa. Apa ketentuan yang berkaitan dengan akad sewa?

Di dalam banyak keterangan teks-teks keislaman, disebutkan bahwa pihak yang bertindak selaku penyewa adalah wajib membayar pihak yang disewa sebelum keringatnya kering. Tentu maksud dari ajaran ini adalah, agar pihak penyewa mempermudah pencairan bayaran pihak yang disewa jasanya itu dan bukan justru malah menjebaknya dalam alur permainannya.

Pemberian bayaran model semacam ini adalah ibarat orang yang memberi uang ke anak kecil, tapi ketika uang itu hampir diterima, pihak pemberi bergerak menjauh. Semakin dikejar, semakin menjauh. Tujuan melakukan hal itu, adalah mempermainkan si anak itu agar senantiasa mengikuti aturannya, tanpa protes.

Apakah anda pernah merasakan hal semacam ini? Jika pernah maka berhentilah untuk mengejarnya! Itu adalah trik menjerat Anda agar mengikuti permainannya. Bersyukurlah jika akibat sikap berhenti anda ini menyebabkan Anda diblokir oleh mereka. Sebab itu justru jalan selamat buat keuangan Anda, daripada habis karena mengikuti bisnis dengan skema ponzi.

Siapa yang bertanggung Jawab memberi informasi ke masyarakat terkait modus kejahatan terbaru tersebut?

Pihak Otoritas Jasa Keuangan (OJK), lewat Tim Satuan Tugas Waspada Investasi dan bekerja sama dengan Kominfo, sebenarnya telah bergerak cepat dalam melakukan upaya pencegahan munculnya modus baru kejahatan. Buktinya memang sudah melakukan tindakan dengan jalan mengumumkan dan membatalkan perizinan sejumlah platform bisnis yang diduga dapat merugikan masyarakat.

Akan tetapi, tindakan mereka sejauh ini belum optimal berpengaruh ke masyarakat luas, sebab kedua segmen yang penulis sampaikan di atas, adalah riil. Bermunculannya aplikasi tak berizin, dan tanpa keberadaan ruang usaha serta investasi, namun menawarkan sejumlah imbal hasil yang menggiurkan ke masyarakat belum banyak ditindak tegas secara hukum oleh perangkat negara.

Demikian halnya, dengan perusahaan yang melanggar ketentuan wajib berizin, akan tetapi perizinannya dicabut, masih tetap terbukti dengan bebas memasarkan skema produk mereka. Aparat baru bertindak ketika sudah terjadi jatuh korban. Padahal, skema bisnis yang mereka jalankan sebenarnyay jelas sudah menunjukkan skema terlarang.

Jika hal ini yang terjadi di masyarakat, lantas masyarakat hendak mengandalkan kepada siapa untuk mendapatkan informasi literasi digital yang aman buat dana mereka? Masih untung ada sejumlah kalangan pemerhati yang mau memberikan informasi seputar aksi kejahatan dan membongkar pola terselubung dari aplikasi tersebut. Namun, tindakan para pemerhati ini, sudah barang tentu kurang maksimal efektifitasnya, bila tidak ditindaklanjuti oleh perangkat hukum yang memang ditugaskan mencegah terjadinya aksi kejahatan.

Sanksi tegas dari pemerintah kepada para pelaku bisnis ilegal yang terbukti membodohi dan maling uang masyarakat harus senantiasa ditegakkan tanpa pandang bulu. Dalih mereka dari menolak jerat hukum guna mempertanggungjawabkan kejahatannya, menghendaki diperberat. Sebab, bagaimanapun mereka sudah berdosa terhadap masyarakat awam yang tidak mengerti apa-apa soal skema ruang bisnis yang baru ini. Mari selamatkan Indonesia dari jerat-jerat Ponzi di masyarakat!

Muhammad Syamsudin, Peneliti Bidang Ekonomi Syariah – Aswaja NU Center PWNU Jawa Timur dan Wakil Sekretaris Bidang Maudluiyah Lajnah Bahtsul Masail [LBM] PWNU Jawa Timur

Buku lain :

  • Antara Mbah Cholil Baureno dan Bojonegoro. Kontak pembelian : 0895 2851 2664 . Link resensi, klik.
  • Konspirasi Yahudi dan Rungkadnya Dinasti Ba’alwi. Kontak pembelian dan bedah buku : 0812 6143 8585. Link resensi, klik.
Leave A Reply

Your email address will not be published.