Mengembangkan Model Moderasi Beragama Melalui Ajaran Sunan Gunung Jati: Sebuah Refleksi
Oleh : Dodo Widarda
Sunan Gunung Jati, seorang figur monumental dalam sejarah Nusantara, menyatukan dua kekuatan besar dalam hidupnya: spiritualitas dan politik. Sebagai salah satu Wali Songo yang hidup selama 120 tahun (1448-1568), ia bukan hanya seorang sultan Kesultanan Pakungwati Cirebon, tetapi juga seorang pemimpin spiritual yang disegani. Kekuasaan politik yang ia pegang dengan teguh tidak pernah terlepas dari hikmah kebijaksanaan spiritualnya. Di masa kini, Sunan Gunung Jati tetap menjadi inspirasi yang kuat bagi masyarakat, khususnya dalam menyebarluaskan ajaran Islam yang moderat, penuh toleransi, dan harmoni. Model moderasi beragama yang ia bangun melalui interaksi yang bijaksana, santun, dan dialogis, menawarkan sebuah solusi dalam upaya menjaga kerukunan umat beragama di Indonesia yang multikultural.
Moderasi Beragama: Sebuah Panggilan untuk Zaman
Moderasi beragama adalah usaha meredam eksklusivitas dalam beragama yang sering menjadi sumber konflik antarumat. Bukan sekadar upaya menengahi, namun moderasi agama merupakan proses merasionalisasi pemahaman dan praktik keagamaan agar sesuai dengan tuntutan zaman yang semakin plural. Dalam konteks Indonesia, moderasi ini menjadi krusial karena keberagaman yang dimiliki bangsa kerap kali berubah menjadi bahan bakar perpecahan. Laporan Setara Institute tahun 2020 mencatat setidaknya 180 peristiwa intoleransi yang melibatkan 424 tindakan pelanggaran kebebasan beragama. Angka-angka ini hanya sebagian kecil dari riak yang ada di permukaan, mencerminkan masalah yang jauh lebih dalam dalam masyarakat kita.
Namun, bagaimana kita bisa menjawab tantangan ini? Dalam hal ini, model yang diwariskan oleh Sunan Gunung Jati menawarkan landasan yang kuat. Ajaran-ajarannya, yang penuh dengan kebijaksanaan lokal dan universal, menjadi jembatan yang mempersatukan. Pendekatannya yang mengedepankan dialog dan penghormatan terhadap budaya lokal menjadi referensi yang relevan dalam menyebarluaskan konsep moderasi beragama.
Diseminasi Ajaran Sunan Gunung Jati
Diseminasi, dalam arti luas, adalah penyebarluasan ide, gagasan, atau nilai kepada khalayak yang lebih luas. Dalam konteks ajaran Sunan Gunung Jati, diseminasi ini mencakup upaya menyebarkan nilai-nilai moderasi yang ia praktikkan dalam kehidupan sehari-hari. Ajarannya tidak sekadar terkurung dalam teks-teks atau monumen bersejarah, tetapi hidup dalam masyarakat melalui nilai-nilai yang terus diwariskan.
1. Makna Caruban: Masyarakat yang Plural dan Inklusif
Cirebon, tempat Sunan Gunung Jati membangun pusat kekuasaannya, berasal dari kata “Caruban” yang berarti “campuran.” Kota ini menjadi melting pot budaya Arab, Cina, Sunda, dan Jawa, yang hidup berdampingan dalam harmoni. Di sinilah Sunan Gunung Jati berhasil mendialogkan universalisme Islam dengan kearifan lokal. Dalam konsep pluralisme ini, ajaran Islam yang dibawanya tidak menafikan tradisi lokal, melainkan mengakomodasi dan mengharmonisasikan berbagai budaya yang ada.
2. Toleransi: Kunci Kehidupan Beragama yang Harmonis
Cirebon dikenal sebagai kota yang memiliki heterogenitas tinggi. Meski mayoritas penduduknya beragama Islam, namun tempat ibadah agama lain seperti gereja dan kelenteng berdiri berdampingan dengan masjid. Hal ini menjadi cerminan ajaran Sunan Gunung Jati tentang toleransi beragama yang menekankan bahwa perbedaan keyakinan bukanlah sumber konflik, melainkan kekayaan yang harus dihargai. Toleransi ini menjadi model moderasi yang sangat relevan dengan kebutuhan masyarakat Indonesia yang plural.
3. Semangat Kebangsaan: Indonesia yang Bhineka Tunggal Ika
Ajaran Sunan Gunung Jati mengandung nasihat penting tentang pentingnya menjaga persatuan bangsa. “Angadahna ing perpadu”—jauhilah pertengkaran—adalah nasihat bijak yang tetap relevan hingga kini. Dalam konteks kebangsaan, semangat kebhinnekaan harus terus dipupuk, mengingat Indonesia adalah negara dengan beragam suku, agama, dan tradisi. Ajaran ini mengajak masyarakat untuk melihat perbedaan sebagai kekuatan, bukan kelemahan, serta berupaya menjaga keutuhan bangsa di tengah keragaman.
4. Anti Kekerasan: Welas Asih Sebagai Jalan Hidup
Dalam ajaran Sunan Gunung Jati, kekerasan tidak pernah menjadi pilihan. Ia justru menekankan pentingnya menahan hawa nafsu dan menunjukkan sikap welas asih terhadap sesama manusia. “Den bisa megeng ing nafsu”—harus dapat menahan hawa nafsu—adalah ajaran inti yang mengajak umat untuk menghindari segala bentuk kekerasan, baik fisik maupun psikis. Dalam era sekarang, ketika kekerasan sering kali dijadikan jalan pintas untuk menyelesaikan masalah, ajaran ini menjadi penyejuk yang mengingatkan pentingnya pendekatan damai dan dialogis.
5. Akomodasi Budaya Lokal: Menghargai Tradisi sebagai Bagian dari Agama
Salah satu kekuatan ajaran Sunan Gunung Jati adalah kemampuannya untuk mengakomodasi budaya lokal tanpa kehilangan esensi keislaman. Ia mengajarkan untuk menghormati leluhur dan tradisi, yang selaras dengan nilai-nilai lokal masyarakat Nusantara. Ajaran ini mengajarkan bahwa agama dan budaya tidak harus bertentangan, melainkan dapat saling melengkapi dalam menciptakan harmoni sosial.
UIN Sunan Gunung Jati: Pusat Diseminasi Moderasi Beragama
Dalam konteks akademik, UIN Sunan Gunung Jati Bandung memiliki peran penting sebagai institusi yang bertugas mendiseminasikan ajaran-ajaran moderasi ini. Kampus sebagai tempat pengkajian dan pengembangan ilmu harus menjadi ruang yang inklusif untuk menyebarkan nilai-nilai moderasi, toleransi, dan kebangsaan. Dengan fokus pada kajian keislaman, keindonesiaan, dan kemanusiaan, UIN harus menjadi pusat diseminasi nilai-nilai Islam yang moderat dan penuh kedamaian.
Melalui penelitian, pengabdian masyarakat, serta bahan ajar yang mengedepankan nilai-nilai inklusif, UIN Sunan Gunung Jati dapat menjadi tumpuan dalam membangun rumah besar moderasi beragama. Tugas ini tidak hanya menjadi tanggung jawab akademik, tetapi juga tanggung jawab moral dalam menjaga kerukunan umat beragama di Indonesia.
Penutup: Warisan Moderasi untuk Indonesia
Ajaran Sunan Gunung Jati tentang moderasi beragama menjadi warisan yang relevan bagi masyarakat muslim Indonesia kontemporer. Melalui diseminasi nilai-nilai toleransi, kebangsaan, anti kekerasan, serta akomodasi budaya lokal, ajaran ini bisa menjadi model yang ampuh dalam menjawab tantangan keberagaman di era modern. Institusi-institusi seperti UIN Sunan Gunung Jati, Kementerian Agama, dan elemen masyarakat sipil memiliki peran besar menyebarluaskan ajaran-ajaran ini, memastikan bahwa Indonesia tetap menjadi rumah yang damai bagi semua umat beragama.
Penulis, dosen Fakultas Ushuluddin UIN Sunan Gunung Djati Bandung