Menihilkan Madrasah Diniyyah, Langkah Sempurna Promosikan Fundamentalisme
Kebijakan Kemendikbud mengenai apa yang populer disebut Full Day School (FDS) sementara ini mengungkapkan efek negatif terhadap pola keberagamaan Islam nusantara. Ini terbaca dari pernyataan salah seorang tokoh Muhammadiyah dan sekaligus tokoh MUI ketika mengatakan bahwa mengorbankan Madrasah Diniyah (MD) demi FDS adalah bukan persoalan serius.
Dalam pandangannya, MD adalah tidak ubahnya seperti lembaga kursus. Yunahar Ilyas, seperti dilansir detik.com, menyatakan “Sebenarnya statusnya, mohon maaf, madrasah diniyah sore itu hanya kursus saja. Nanti kursus bahasa Inggris, matematika, dan lainnya yang mulai jam 14.00 juga menolak juga gara-gara Mendikbud. Itu namanya enggak fair, enggak ilmiah itu penolakannya.”
Belum juga efektif kebijakan FDS itu berlaku, aroma bahayanya sudah merasuk dan sekaligus merusak benak dan fikiran seorang ulama modern yang notabenenya moderat. Tentu ini karena proses perumusan kebijakan yang miskin partisipatoris dan logika kebijakannya yang mengabaikan keanekaragaman model pendidikan dengan menampilkan satu model pendidikan tertentu. Sangat tepat Presiden menunda kebijakan Kemendikbud ini untuk membersihkan substansi kebijakan FDS nanti dari semangat anti-kebhinekaan dan anti-keramahan.
Memposisikan MD sama dengan lembaga kursus adalah missleading (salah pandang). Sejatinya MD dalam sistem pendidikan nasional adalah lebih dari sekedar lembaga kursus. Bahkan salah satu varian dari MD masuk dalam kategori Diniyah Formal. Sebagian besar MD memang masuk dalam jalur Diniyah Non-Formal, yang dikenal dengan Madrasah Diniyah Takmiliyah. Jadi, berbeda dengan kursus yang sepenuhnya merupakan lembaga pendidikan non-formal, MD adalah satuan pendidikan keagamaan Islam yang bisa berwujud lembaga formal, non-formal, atau informal.
Jauh sebelum berkembangnya sistem madrasah (Sekolah bernuansa Islam), MD sudah tumbuh dan menyebar. Ketika kemudian pemerintah mentransformasikannya menjadi satuan pendidikan formal, MD tidak lantas ditutup. Bahkan sebagian terus menguat dalam beberapa varian. Dalam perkembangannya, MD terus menguat dan menyebar luas serta mengakar baik di pedesaan maupun di perkotaan. Sebagian berdiri sendiri, dan sebagian lagi berafiliasi dengan pesantren atau masjid.
Menurut Permenag 13/2014 tentang Pendidikan Keagamaan Islam, Diniyah diselenggarakan melalui tiga jalur, yakni jalur formal, nonformal, dan informal. Pada jalur formal, kini telah diselenggarakan Pendidikan Diniyah Formal untuk menyiapkan mutafaqqih fiddin pada jenjang pendidikan dasar, menengah, dan pendidikan tinggi (Ma’had Aly). Sementara pada jalur nonformal, pendidikan diniyah dimanivestasikan ke dalam bentuk MDT (Madrasah Diniyah Takmiliyah), Pendidikan Alquran, Majelis Taklim, dan pendidikan keagamaan Islam lainnya. Khusus untuk MDT atau biasa dikenal MD saja, ia diselengarakan pada jenjang ula, wustha, dan ulya, dengan beberapa mata pelajaran, seperti Alquran, Hadis, Aqidah-Akhlak, Fiqh, dan Sejarah Kebudayaan Islam, untuk melengkapi dan mendalami pengetahuan agama Islam pada sekolah. Hingga saat ini (Emis 2016), setidaknya terdapat 76.566 lembaga MD baik tingkat ula, wustha maupun ulya, dengan total santri 6.000.062 orang dan 443.842 ustad yang mengajar pada MD.
Apakah makna dari keberadaan MD di negeri ini ? Ulasan dalam hal ini penting agar bahaya dari niatan menihilkan MD dalam kebijakan FDS bisa segera disadari. Pada gilirannya nanti penataan kebijakan ini oleh Presiden dalam waktu dekat bisa menghadirkan posisi yang tepat dalam hubungan FDS dengan MD. Alih-alih saling menihilkan, kedua lembaga itu selayaknya disinergikan. Ini tidak sekedar untuk memenuhi kebutuhan pragmatis agar kebijakan FDS efektif, tetapi lebih dari itu secara substantif untuk merawat kesadaran kita ihwal urgensinya menghadirkan karakter bangsa yang cerdas, relijius, dan sekaligus ramah melalui pendidikan nasional.
Sedikitnya ada lima peran dan karakter dasar MD dalam kehidupan di negeri ini. Pertama, MD adalah wujud dari partisipasi masyarakat dalam pendidikan. Tidak ada satupun MD yang dikelola oleh pemerintah. Partisipasi masyarakat dalam pembangunan kita adalah suatu keniscayaan. Dalam hal ini, pemerintah sendirian tidak akan mampu mengangkat derajat dan karakter bangsa.
Kedua, MD adalah upaya menutup kelemahan pada sekolah dalam bidang pendidikan karakter. Sementara di sekolah hanya mendapatkan pengajaran moral dan agama yang terbatas, di MD para peserta didik bisa sepenuhnya merasakan sentuhan pendidikan mental, spiritual, dan moral. Secara umum sekolah memberikan layanan pendidikan agama yang terbatas dengan dukungan pimpinan, sarana, dan komitmen sesama guru yang minimalis.
Ketiga, MD mewakili satu instrumen gerakan keagamaan yang ramah budaya lokal. Pada saat pendidikan agama di sekolah ditengarai terkontaminasi faham fundamentalisme, MD tetap setia dengan model dan substansi pembelajarannya yang ramah tradisi mulia. Menyerahkan pendidikan agama sepenuhnya pada FDS, sama saja dengan membangkitkan fundamentalisme dan meninggalkan Islam ramah tradisi.
Keempat, MD melindungi anak-anak dari pengaruh negatif lingkungan pergaulan masyarakat yang bebas dan terbuka. Di MD mereka bercengkerama, bermain, dan berinteraksi dengan sesama dalam nuansa relijius. Berbeda dengan kursus yang hanya terbatas mengajarkan target pengetahuan dan keterampilan sesuai keperluan, MD mengolah sikap, kecerdasan, dan sekaligus kreatifitas sesuai kebutuhan dari perkembangan kejiwaan anak.
Kelima, MD merupakan instrumen perekat dan persatuan bangsa. MD merawat transmisi keilmuan yang berkesinambungan. Nilai-nilai dasar pendidikan pada MD bertumpu pada semangat keindonesiaan dan keislaman sebagaimana digariskan ulama. Komitmen untuk menjaga keutuhan negara dan sekaligus menerjemahakan ajaran Islam dalam tindakan yang substantif, tidak hanya simbolik adalah pesan luhur yang terus dipegang oleh para eksponen MD.
Dengan lima karakter di atas, MD selayaknya dijadikan modal dan sekaligus model dalam rencana pemerintah memperkuat pendidikan karakter. Satu strategi mutlak dalam pendidikan karakter adalah bertolak dari motif kemuliaan karakter. Tidak mungkin terwujud karakter bangsa yang kuat jika upayanya dijalankan dengan karakter kebijakan dan program yang mengabaikan karakter mulia bangsa itu sendiri. Kecuali jika kita mau sengaja membawa negeri ini pada karakter bangsa atau tradisi asing, apakah atas nama sekularisme modern atau fundamentalisme Islam. Ke arah inikah maksud menihilkan MD dalam skema FDS berkedok pendidikan karakter?
Bacicir, 27 Puasa 1438
Penulis adalah pegiat pendidikan Diniyah Cirebon
Sumber : NU Online