The news is by your side.

AYO NGAJI 8: Bertanyalah Pada Ahli Dzikir, Bila Kalian Tidak Tahu.

AYO NGAJI 8: Bertanyalah Pada Ahli Dzikir, Bila Kalian Tidak Tahu. | NU Online LTN Nahdlatul Ulama Jawa BaratOleh: Kyai Nur Kholik Ridwan.

Allah berfirman: “Fas’alū ahla al-dhikri in kuntum lā ta’lamūn”. (QS. An-Nahl ayat 43). Terjemah Jawa: “Mulo siro podo takono marang ahli dzikir menowo sira podo ora ngerti”.

Terjemah Indonesia: “Maka bertanyalah kepada ahli dzikir apabila kamu tidak tahu”.

Ayat di atas, menurut Imam Fakhru al-razi, dalam Tafsir Mafātihul Ghaib, memiliki empat makna yang terkandung di dalamnya: satu, bermakna ahli taurat, dan makna dzikru di situ adalah taurat; dua, mereka adalah ahli di dalam masalah-masalah makna kutub masa lalu, dan diketahui dari mereka bahwa para Nabi adalah juga basyar, manusia; tiga, ahli dzikri bermakna mereka yang ahli khabar masa lalu, dan karenanya seorang alim terhadap sesuatu, dia akan mengingatnya; empat, bertanyalah kepada mereka yang berdzikir dengan ilmu dan tahqiq (Tafsir Mafātihul Ghaib, XX: 27).

Tapi makna yang lain, juga dikemukakan Kanjeng Nabi sendiri, seperti diriwayatkan dari sahabat Jabir. Nabi bersabda: “la yanbaghi li al-`ālim an yaskuta `alā `ilmihi walā yanbaghi al-jahil an yaskuta `alā jahlihi”, kemudian Kanjeng Nabi menyampaikan ayat tersebut (Tafsir Durr al-Manthūr, IX: 52). Jadi, tidak sepatutnya seorang yang berilmu menyembunyikan ilmunya, dan seorang yang bodoh menyembunyikan kebodohannya. Orang berilmu, dengan akhlak dan adabnya, harus berani tampil dengan hujjah dan kesantunan akhlaknya. Sementara orang bodoh harus berani tampil menghilangkan kebodohannya, yaitu mencari ilmu.

Di situ disebutkan ahli dzikri sekaligus berilmu, diposisikan dengan orang bertanya yang berawal dari orang yang percaya dengan argumentasi-argumentasi dalil dan logika, dengan kata in kuntum lā ta’lamūn. Hal ini menunjukkan isyarat bahwa apabila kita tidak tahu tentang masalah-masalah yang berkaitan dengan ilmu-ilmu (khususnya agama), dengan kata lā ta’lamūn, bukan dengan kata lā ta’rifūn, artinya ilmu-ilmu yang membutuhkan argumentasi dan dalil, maka pergilah kepada ahli dzikir.

Ini ada dua maksudnya,

Satu, maksudnya adalah ahli ilmu yang sekaligus ahli dzikir. Maka kamu akan menemukan ahli dzikir sekaligus ahli ilmu, akan memberikan jawaban-jawaban bukan hanya aspek-aspek lahir, aspek-aspek dhahir saja, tetapi juga hikmah-hikmah, kebijaksanaan-kebijaksanaan dan makna-makna yang dalam.

Dua, ahli dzikir saja terlihat secara dzahir dari mata awam, dan juga tidak terlihat dia sebagai ahli ilmu dhahir seperti fiqih dan tafsir. Padahal biasanya seorang ahli dzikir dan ma’rifat sudah tentu faham hukum-hukum agama yang pokok, meskipun tidak tahu menyeluruh tentang tafsir dan fiqh. Ahli dzikir di situ adalah ahli ma’rifat, apabila kamu menghadapi persoalan-persoalan yang sudah tidak bisa dipecahkan dengan logika dan dengan argumentasi, maka bertanyalah kepada mereka.

Misalnya, tiba-tiba dalam 5 tahun berumah tangga, dulunya bahagia, tetapi tiba-tiba mengalami keretakan dan salah satu pasangan meninggalkan. Atau mendapati sakit menahun yang tidak sembuh-sembuh meski sudah berusaha. Atau menghadapi persoalan kebangkrutan ekonomi secara tiba-tiba, padahal sebelumnya kaya raya; atau masalah-masalah yang orang itu mengalami kebingungan. Maka datanglah kepada ahli dzikir atau ahli ma’rifat. Maka ahli dzikir dan ahli ma’ rifat dengan ilmu yang dimilikinya itu tidak boleh menyembunyikan ilmunya. Dan orang yang mengalami kebingungan tidak boleh diam dengan kebingungannya, maka dia harus bertanya kepadanya.

Ahli makrifat atau ahludzdzikri itu, akan memberikan jawaban-jawaban yang menyejukkan hatinya. Kata-kata dan nasehatnya akan menenangkannya. Setelah itu dia bisa bangkit kembali. Resepnya semakin memantapkan orang itu untuk ingat kepada Allah, tidak bersedih dengan kehilangan dunia, secara berlarut-larut. Sebab Allah memberikan jalan kepada hamba-hamba-Nya yang bingung dan tidak tahu, lewat wasilah para kekasih-Nya, agar-agar orang tersebut senang berkumpul dengan orang-orang shalih dan ahli ma’rifat, pastilah dia akan mendapatkan manfaat.

Allah tidak menyuruh mereka untuk tanya kepada ahli politik, ahli retorika, dan ahli bangunan. Itu memberi arti posisi dan kedudukan ahli dzikir di sisi Allah memperoleh maqam kedekatan, sehingga direkomendasi untuk menjadi tempat bertanya.

Bagaimana ciri mereka ini, dalam kitab Kifayatu al-Atqiyā’ `alā Hidayati al-Adhkiya ilā Thariqi al-Auliyā’ (juz IV), disebutkan, beberapa penjelasan, yang saya fahami dan saya simpulkan:

  1. Ulama yang begitu itu, bertambah taqwa dan jernih, dengan kata lain tidak gaduh, tidak riwil, tidak jorok, tidak kasar, dan tidak menghina orang, baik ketika sendirian atau di muka publik. Sebab orang seperti itu, telah meninggalkan syahwat dan menghancurkan sifat-sifat tercela, seperti mencari pangkat dan dunia lain; dan mengisinya dengan hal-hal yang menyelamatkan.
  2. Ulama yang begitu tadi, dapat haibah dari Allah, yang mewajibkan dirinya menjadi diam (anteng) dan tenang, dan lebih banyak diam untuk hal-hal yang tidak perlu.
  3. Karena ulama seperti itu sudah dibukakan asraru mulkillah, dia akan menjawab persoalan-persoalan dengan makna-makna yang mendalam dan menyentuh qalbu. Dia tidak berhajat pada pamrih dunia lagi, sehingga resepnya menenangkan dan menyelamatkan.

Di situ ada Ahli Dzikri yang mengalami haibah. Pertama-tama muncul sebagai keadaan takut, bagi seorang pemula; kemudian mencekam takutnya karena merasa tergenggam oleh kekuasaan Allah; dan setelah itu dia haibah, yaitu ketakutan yang memuncak seperti sirna terserap oleh energi-Nya. Hal yang mendorong itu, bisa jadi karena orang itu diperlihatkan bi al-qabi ia dipanggang di sebuah api neraka, dalam penglihatan batinnya. Maka ketika dia terjaga dan mendapati dirinya kembali sadar terjaga, betapa takutnya, dan ketakutan yang memuncak ini membuatnya berhati-hati dan selalu menjauhi perbuatan dosa, apalagi meremehkan dan menyakiti orang.

Jadi, seorang ahli dzikir, salah satu tandanya adalah akhlaknya baik kepada orang lain, karena pernah mengalami haibah, bukan karena pintar telah hafal riwayat-riwayat atau terlihat alim dengan jubah besarnya. Dalam bahasa Ibnu Arabi disebutkan begini dalam al-Hikam al-Ilāhiyah: “La yaşluhu man yurabbi al-khalqa illa man kānat şifatuhu min şifati al-Haqq”, maka ahlu dzikri yang marifat itu terpatri dalam dirinya sifat sifat kamal dan jamalnya Allah dalam berinteraksi dengan masyarakat, penuh kelembutan, kasih sayang, pemurah, pemaaf, dan lain-lain.

Sementara Imam al-Ghazali, memasukkan bab ini ke dalam bagian-bagian ulama su’ (keburukan) dan ulama akhirat. Ulama su’ adalah ulama dunia, yang mencari kehidupan dunia dan pangkat, dan ilmunya digunakan untuk memburu itu. Bagi ulama ini, tidak cukup memiliki satu kendaraan, tapi dua tiga dan seterusnya. Terus merasa tidak puas. Kegemaran hariannya mencaci maki orang lain sebagai musuhnya, dakwahnya dengan kekerasan kepada sesama umat Islam dan semesta, padahal dia tidak diusir dari rumah-rumahnya, selalu menjadi pion dari tokoh politik yang menyerukan kegaduhan, karena gerak geriknya selalu memiliki pamrih dunia dan pangkat. Yang penting tujuan mencari dunianya tercapai.

Ulama akhirat bukan berarti anti politik dan anti Negara. Tapi ulama yang selalu menyerukan kerukunan, keadilan, dan persaudaraan, tanpa terjebak pada anti negara. Mengajarkan cara berinteraksi kepada orang lain seperti Kanjeng Nabi, akhlaknya santun, ramah, dan tegas dalam menegakkan keadilan, tetapi tidak sampai menimbulkan kerusakan yang lebih parah dengan bughāt kepada pemerintah muslim yang syah. Selalu berfikir untuk kemashlahatan umat, bukan untuk istri-istrinya atau pengikutnya saja. Tapi kepentingan yang lebih besar. Seperti Kanjeng Nabi, berfikir untuk kepentingan Madinah, bukan untuk umat Islam saja, sehingga berdamai dengan orang-orang non Islam juga dilakukan, lalu membuat Mitsāqul Madinah, bahkan terhadap orang-orang yang tidak Kristen dan Yahudi sekalipun saat itu.

Maka, matinya ulama-ulama akhirat inilah ditangisi para malaikat dan dicintai makhluk-makhluk Allah. Sementara matinya ulama su’, sangat ditunggu malaikat dengan siksaan-siksaan yang pedih. Karena tradisi yang diciptaklan ulama su’ seperti mencaci maki dan berkata-kata jorok, atau berakhlak tidak baik telah membuat Islam tertimpa citra buruk, terus diikuti oleh orang-orang lain yang ketularan watak dajjal dari ulama su’ itu. Maka dosa-dosa dari orang yang melakukannya juga ditimpakan kepada ulama su’ itu.

Ingat ada hadis, man sanna sunnatan sayyi’atan, mereka yang merintis kejahatan, cara-cara jahat, akan mendapat balasannya dan balasan dari orang-orang yang menirunya. Apakah dia berjenggot tebal, berjubah mewah, berbangsa Arab, Indonesia, Sunda, Jawa, dan lain-lain. Mereka inilah yang disarankan agar dijauhi, kalau bertanya kepada ulama, bertanyalah kepada ahlu al-dhikri.

Semoga kita dan anak-anak kita didekatkan dengan para ulama ahlu al-dhikri ini, dan memperoleh berkah mereka. Amin.

Kyai Nur Kholik Ridwan

Murid Qadiriyah-Naqshabandiyah-Shathariyah, Dzikrul Ghafilin dan Ratib al-Haddad. Pernah aktif di Pengurus Pusat Rabithah Ma’ahid Islamiyah Nahdlatul Ulama (PP RMI-NU).

Leave A Reply

Your email address will not be published.