Menjawab Para Kritikus “Islam Nusantara”
Islaminesia.com–Sewaktu memberi sambutan di Masjid Istiqlal, Presiden Jokowi menyinggung isu “Islam Nusantara”. Sontak hal tersebut memancing pro dan kontra. Mengenai definisi “Islam Nusantara” itu memang debatable. Ada versi Prof. Azyumardi Azra, versi kawan-kawan Gusdurian, ada juga versi Mas Ahmad Baso. Saya juga mendapati versi para kritikus dan penentang istilah ini. Kritikus yang saya maksud seperti Hartono A. Jaiz, Ustaz Bachtiar Nasir, Dr. Fahmi Salim, Habib Rizieq Shihab, Prof KH. Ali Mustofa Yaqub, dan aktivis HTI Felix Y. Siauw.
Yang paling vulgar adalah seorang penulis bernama Fadh Ahmad Arifan (mantan dosen STAI al-Yasini, Pasuruan). Dalam artikelnya dia menyatakan “Islam Nusantara” sebagai proyek liberalisasi alias pesanan asing, bercorak sinkretik, tidak laku di basis kaum modernis dan terlalu Jawa sentris. Silahkan saja browsing ke situs Hidayatullah, Suara-Islam, Nahimunkar (milik Hartono A. Jaiz), Jurnal Islam, Islamedia, Fimadani, Bersama Islam, Kiblat.net, Muslimina, dan sharia.co.id.
Ditinjau dari segi geografis, “Islam Nusantara” membentang dari Pattani, Thailand Selatan, Malaysia, Brunei, hingga Mindanao dan tentu saja Indonesia. Secara kebudayaan, penduduk kawasan ini memiliki kesamaan-kesamaan yang identik sebagai masyarakat maritim dengan konsep kekeluargaan yang erat.
Secara ideologis, Islam Nusantara didominasi oleh Ahlussunnah wal Jamaah dengan fondasi Asy’ariyah dalam teologi, Syafi’iyah dalam fikih, dan Ghazaliyah dalam aspek tasawuf. Aspek terakhir ini terbilang dinamis karena sempat terjadi gesekan Tasawuf Sunni vs Tasawuf Falsafi di Jawa dan Aceh.
Dalam upaya menjaga sistem, berbagai inovasi dijalankan dengan cerdas dan bermartabat. Sebut saja misalnya, konsep pendidikan ala pondok pesantren, inovasi melalui pembacaan khas kitab kuning dengan “makno gandul“, tradisi syair pujian menjelang dan setelah azan, “megengan” dan “nyadran” sebelum ramadan, halal bi halal, hingga tradisi literasi yang banyak dilakukan para ulama nusantara sebagai pengokoh sistem yang telah berjalan. Tradisi literasi ini cukup luar biasa karena para ulama selain menulis dalam bahasa Arab juga menulis dalam berbagai bahasa daerah. Lebih keren lagi, beberapa tafsir Al-Quran ditulis menggunakan bahasa lokal.
Benarkah ini proyek liberalisasi? Saya katakan “Ya”, jika yang dimaksud liberalisasi ini adalah “pembebasan” dari keterkungkungan dan sikap inferioritas yang selama ini menimpa kita sebagai umat Islam Indonesia manakala berhadapan dengan saudara-saudaranya umat Islam di kawasan lain. Umat Islam Indonesia, yang selama ini dicap tradisionalis, memiliki basis keilmuan yang mengakar dengan era keemasan Islam di mana kitab-kitab klasik masih dikaji, sekaligus memiliki kepedulian terhadap harmoni sosial-budaya, dan ditunjang dengan pengetahuan dalam soal kekinian. Ini menjadi modal berharga bagi perwujudan Indonesia sebagai mercusuar peradaban Islam dunia.
Mengapa harus umat Islam Indonesia? Di Timur Tengah, kita sudah nyaris kehilangan harapan karena mereka bertikai terus menerus. Setidaknya dalam 15 tahun mendatang tidak akan ada ulama yang lahir dari kawasan konflik ini. Sebab, perang hanya melahirkan jagoan, bukan ilmuwan. Kita berharap tanah air kita menjadi mercusuar peradaban Islam dunia, sebagaimana yang ditunjukkan serikat ulama Afganistan yang berguru ke PBNU terkait perdamaian dan pancasila. Mereka ingin mengkloning pancasila dan politik kebangsaan NU untuk mendamaikan konflik di negaranya.
Islam Nusantara anti Arab?
Apakah Islam Nusantara anti Arab? Tidak, bagaimana bisa Islam Nusantara menafikan aspek Arabisme ini, buktinya kajian-kajian kitab juga masih menggunakan bahasa Arab. Kawasan Nusantara adalah kawasan dinamis yang membuka diri baik anasir Arab, India, Persia, China, hingga Barat. Kita lihat, dalam corak kuliner saja, semua unsur memiliki pengaruh kok. Apalagi dalam berbahasa: dari Sansekerta, Arab, Melayu, Portugis, Belanda, Tiongkok, hingga Inggris punya sumbangan kosakata dalam bahasa Indonesia. 9 dari 10 kosakata dalam bahasa Indonesia adalah istilah asing, kata sastrawan Remi Sylado.
Di mata saya, Islam Nusantara ini meniscayakan sebuah aspek interaksi yang harmonis dan dinamis dengan kenyataan ke-nusantara-an. Perangkat ushul fikih saya kira telah menjadi optik dasar dalam melihat prospek ini, sehingga tidak merobohkan fondasi syariat dan tetap bisa membuka ruang dialog dengan tradisi di nusantara ini. Bagaimana dengan urusan politik? Sebatas pengetahuan saya, selama ratusan tahun, “Islam Nusantara” telah memberikan fondasi elegan: menjadi mayoritas yang melindungi dan mengayomi, serta menjadi minoritas yang menjaga harmoni. Wallahu A’lam Bisshawab
Oleh: Ustaz Rijal Mumazziq Z
*Alumni IAIN Sunan Ampel, Surabaya dan kini owner Penerbit Imtiyaz. Sumber tulisan, disini.