Relevansi Ajaran Islam dengan Kebudayaan
Berkembangnya Islam di Indonesia tak lepas dari kiprah para Wali Songo. Karena itulah, di pentas sejarah, jejak mereka dalam pengislaman dan syiar Islam di bumi Nusantara tidak terbantahkan.
Seperti yang kita ketahui bahwa wali songo memilih cara persuasif untuk menarik masyarakat ke dalam Islam. Mereka mengemas, menampilkan, dan mengembangkan kepribadian Islam dengan cara yang sangat mengesankan dan tidak kaku, hingga ajaran Islam bisa benar-benar diterima oleh semua lapisan masyarakat.
Barangkali, metode dakwah yang dilakukan wali songo adalah pengembangan dari seruan Alquran yang didasari firman Allah SWT :
“Serulah (manusia) kepada jalan Rabbmu dengan hikmah dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang baik. Sesungguhnya Rabbmu, Dialah yang lebih mengetahui tentang siapa yang tersesat dari jalan-Nya dan Dialah yang lebih mengetahui orang-orang yang mendapat petunjuk.” ( An-Nahl/16:125 ).
Dari sekian banyak upaya yang dilakukan wali songo dalam menyebarkan ajaran islam adalah memanfaatkan kesenian, adat-istiadat ataupun tradisi yang berkembang di masayarakat sebagai infrastruktur untuk menanamkan ajaran Islam dengan bijaksana ( bilhikmah ) agar mudah diterima ( inklusif ) bukan malah sebaliknya ( eksklusif ).
Sebagaimana terdapat lima kaidah fikih asasi yang disepakati, salah satunya yaitu
Al-‘adah Muhakkamah
“adat itu bisa menjadi dasar dalam menetapkan suatu hukum”.
Lebih lanjut mengutip apa yang dikatakan KH.Ii Abdul Basith Wahab beliau menjelaskan bahwa tradisi baik yang tidak bertentangan dengan syariat itulah sejatinya ma’ruf
Mastahsanahu al-urfu walam yunkirhu asy-syar’u
Saya memandang substansi pendekatan kebudayaan seperti inilah yang tidak boleh berubah, dengan terus mengupayakan transformasi sebagai sebuah keniscayaan di tengah arus modernisasi dan globalisasi yang kian tak terbendung, tujuannya agar Islam sebagai ajaran selalu mampu menjawab tantangan zaman, dan budaya sebagai identitas menyadarkan kita akan value yang dimiliki, dua hal inilah yang seharusnya menjadi spirit untuk membangun peradaban bukan malah terjebak dalam romantisme belaka.
Penulis : Muhammad Taufik Anwari