SARJANA NU, KEINDONESIAAN DAN MODERATISME ISLAM
Oleh: Dr. Sholehuddin, M.Pd.I (Ketua PC ISNU Sidoarjo)
Itulah tiga kata kunci tema Konferwil yang berlangsung hari ini, Sabtu (4/11) di Banyuwangi. Dengan tema “Meneguhkan Kesarjanaan NU, Membangun Ke-Indonesiaan dengan Semangat Moderatisme Islam”, mengajak seluruh para intelektua NU yang masih ‘tercecer’ di pelbagai lini untuk kembali ke wadah organisasi baik secara struktural maupun fungsional.
Pertama, dari sisi sarjana, Ikatan Sarjana Nahdlatul Ulama (ISNU) bukan organisasi pergerakan, tapi pemikiran. Namun di sinilah persoalan itu muncul. Banyak sarjana NU yang sudah berkecimpung di berbagai profesi, namun tidak banyak menonjolkan sarjana NU sebagai organisasi. ISNU memang tidak punya (banyak) bargaining politik, karena ISNU tidak ingin bersentuhan dengan politik praktis. Namun, itulah salah satu komitmen organisasi yang dibentuk pada saat Mu’tamar Cipasung. Prof. Shonhaji, salah satu sesepuh ISNU pernah berpesan agar ISNU tetap terjaga dari hiruk pikuk politik dan bsck to campus. Artinya nilai-nilai akademik, intelektualitas harus dikedepankan.
Tetapi, pergerakan juga tidak bisa ditinggalkan. Sebab, kelemahan ISNU adalah pada loyalitas dalam hal pergerakan karena itu, KH. Mutawakkil Alallah yang juga Ketua PWNU Jatim menegaskan peran ISNU yang cukup sentral dalam hal pemberdayaan umat. Karena itu, jika ingin ISNU ke depan lebih eksis, ISNU harus mensinergikan antara pencerahan, sebagai penerjemahan pemikiran dan pemberdayaan sebagai penerjemahan pergerakan.
Kedua, dari sisi Ke-Indonesiaan. Sarjana NU harus menjaga, merawat Indonesia sebagai warisan para tokoh NU. ISNU dengan ciri intelektualnya, harus memberikan manfaat untuk bangsa. Ketika bangsa Indonesia ini terjaga, dengan sendirinya NU mendapatkan impact darinya. Sarjana NU harus mengambil peran di pelbagai posisi strategis di pemerintahan, politik, dunia usaha, dan sosial kemasyarakatan, namun tidak melupakan jati diri Ke-NU-annya. Bukan sebaliknya, menjadikan NU sebagai tiket mengambil ‘jatah’. Ini yang kemudiaan banyak dimanfaatkan oleh para kaum oportunis, melepaskan idealisme, dalam rangka mengejar apa yang diinginkan.
Ketiga, moderatisme Islam. Tidak dipungkiri, banyak anak NU yang mulanya seorang aktifis, namun dengan segala perkembangan yang ada, mereka hijrah ke tempat lain, yang tidak sejalan dengan pemikiran moderatisme Islam. Inilah yang menjadi penerjemahan dari frase ummatan wasathan (umat yang moderat) Karena itu, ke depan, ISNU harus menjadi wadah sarjana NU yang mampu membangun Indonesia, dengan spirit moderatisme Islam. Selamat berkonferwil, semoga memberikan keputusan yang bermanfaat dan maslahah untuk jamaah dan jamiyah.