Wawasan Kebangsaan NU
Mencermati jejak perjalanan Nahdlatul Ulama (NU), tidak bisa dipisahkan dari jasa para ulama kharismatik seperti KH. Challil (Bangkalan, Madura), KH. Hasyim Asy’ari, KH. Bisri Syamsuri (Jombang), KH. Wahab Hasbullah (Surabaya), KH. Abdul Halim, KH. Abbas (Cirebon), KH. Abdullah Faqih (Gresik), KH. Dahlan Abdul Qohar (Kertosono), KH. R Asnawi (Kudus), KH. Nahrowi, KH. Alwi Abdul Aziz (Malang), dan beberapa ulama lainnya yang berjasa memberikan sumbangsih pemikiran lahirnya NU di Surabaya 16 Rajab 1344/31 Januari 1926. Para kiai juga sepakat membentuk Komite Hijaz untuk membendung gerakan Wahabi yang gemar melakukan aksi pembongkaran makam-makam para penyebar Islam terdahulu, termasuk makam Nabi Muhammad Saw yang berhasil digagalkan atas peran serta para tokoh NU yang membentuk Komite Hijaz tersebut.
Momentum Munas NU yang mengusung tema Islam Nusantara, NU berupaya menempatkan khittah sebagai organisasi religius, sosial, kemasyarakatan memiliki tujuan mulia yakni membina masyarakat Islam berdasarkan faham ahlu sunnah wal jama’ah, hal ini sesuai dengan amanat organisasi Pasal 3 ayat a dan b (Statuten Perkoempulan Nadlatoel Oelama 1926, HBNO, Surabaya, 1344 H). Harus diakui dalam catatan panjang sejarah NU tidak bisa dipisahkan dari semangat perjuangan bangsa Indonesia, sebagai contoh ketika pembentukan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), wakil NU yang duduk di BPUPKI dan PPKI yakni KH. Wahid Hasyim ikut merumuskan dasar-dasar negara dan aturan tata nilai kebangsaan, termasuk juga seruan KH. Hasyim Asy’ari tentang resolusi jihad mempertahankan NKRI pada tanggal 22 Oktober 1945 melawan Belanda, begitupun kiprah Gusdur sebagai guru bangsa telah menelorkan berbagai aksi positif untuk kemajuan dan kesejahtraan umat manusia dalam bingkai perdamaian. Itulah penggalan bukti andilnya NU dalam membidani adanya Indonesia.
Semangat Kebangsaan
Setiap organisasi pasti memiliki identitas nasional sebagai wujud kesadaran berbangsa, begitun NU sampai detik ini masih tetap di garda depan untuk mempertegas eksistinsi jati diri bangsa dalam naungan Bhineka Tunggal Ika. Sebagai organisasi besar NU dituntut mampu memberi kontribusi lebih kepada bangsa yang sedang dirundung berbagai problem-problem yang mendasar seperti ahlak dan moral para pemimpin, banjir, pemerataan pembangunan yang tak kunjung bersua, kemiskinan, pengangguran dan sebagainya. Idealnya yang menjadi ukuran besar dan kecilnya organisasi bukan pada kuantitas, namun dalam kualitas. Yang besar dan berkualitas dengan sendirinya akan unggul, tetapi yang harus kita fahami adalah yang kecil dan berkualitas pun akan mampu mengalahkan yang besar tapi tidak berkualitas. Namun, selama manusia hidup bersuku-suku dan berbangsa-bangsa selama itu pula corak budaya dan keragaman akan terus hidup berdampingan.
Di era modern ini agaknya makin sedikit rakyat Indonesia yang berfikir tentang semangat nasionalisme, manusia Indonesia sekarang disibukan dengan bagaimana mencari pekerjaan tetap, mengakhiri kemiskinan, kesejahtraan hidup yang layak, terbebas dari banjir dan macet, atau bahkan bagaimana cara memenangkan pemilu dengan menghalalkan berbagai cara? Setelah Indonesia merdeka, selama hampir lebih dari enam dekade, semangat kebangsaan kita lebih condong pada menuntuntut persamaan keanggotaan kewarganegaraan dari semua kelompok etnis dalam satu nation.
banyak faktor yang memperkuat lunturnya semangat ke-Bhinekaan kita. Pada satu sisi, mereka merasa pesimis lantaran memandang begitu banyaknya persoalan yang menimpa bangsa setahun terakhir ini. Pertikaian dan kekerasan seakan sudah menjadi keseharian masyarakat. Sedemikian mengkhawatirkannya, bahkan untuk persoalan sepele seperti percekcokan mulut acapkali berbuntut panjang hingga mengorbankan jiwa manusia.
Sisi lain, sikap ketidakpercayaan publik terbentuk ketika memandang segenap upaya pemerintah yang tidak juga membuahkan hasil. Baik dalam persoalan politik, maupun perekonomian penanganan pemerintah masih belum memuaskan. Kini sulit rasanya untuk mengagung-agungkan berbagai kelebihan yang dimiliki oleh pemerintahan sekarang.
Terhadap keberadaan pemerintah saat ini, Bastian Nainggolan pernah menulis bahwa masyarakat yang percaya perbaikan akan terjadi apabila pemerintah punya kekuatan dan kewibawaan, terpilah menjadi dua bagian, yaitu mereka yang tidak lagi memiliki kesabaran dan yang masih menyimpan rasa optimis terhadap pemerintah saat ini. Bagi mereka yang hilang kesabarannya, beranggapan tidak ada lagi yang dapat diharapkan dari pemerintah saat ini. Pemecahan masalah ini, pergantian pucuk pimpinan perlu dilakukan. Sebaliknya, sebagian kalangan lainnya masih tetap yakin dengan segenap kemampuan yang dimiliki oleh pemerintahan saat ini. Sekalipun apa yang dihasilkan setahun terakhir dianggap belum memadai, semua itu masih dapat dimaklumi mengingat betapa peliknya persoalan yang dihadapi. Kedua, mereka yang sejak semula beranggapan bahwa kunci dari segenap persoalan berada dalam masyarakat itu sendiri. Pandangan seperti ini terjadi, mengingat selama bangsa ini memerdekakan diri, tidak pernah sekalipun pemerintahan yang terpilih mampu membawa kesejukan bagi masyarakatnya. Setiap memulai sebuah pemerintahan acapkali harapan muncul. Namun, sayangnya, dalam perjalanannya sebanyak itu pula ketidakpuasan yang diberikan. Oleh karena itu, bagi kalangan ini, kekhawatiran dan pesimisme dalam menyongsong tahun yang akan datang mereka hadapi dengan berbagai upaya untuk memperkuat kondisi internal mereka. Tidak menjadi soal, apakah pemerintah saat ini harus diganti atau tidak.
Meminjam bahasa Imam B Prasodjo yang mengatakan bila bangsa ini masih ingin bertahan hidup, kita harus melakukan upaya kolektif untuk melakukan penanggulangan masalah secara bersama-sama. Di tiap-tiap komunitas, perlu digalang pembentukan “unit-unit reaksi cepat” untuk mengatasi berbagai masalah yang ada. Berbagai kelompok mediasi harus ditumbuhkan untuk mengatasi konflik yang muncul. Asosiasi orangtua murid, pemuda, seniman, wartawan dan lain-lain perlu segera diaktifkan untuk mempercepat terciptanya komunitas responsif di lingkungannya masing-masing. Dalam situasi semacam ini, kita pun dapat menimba hikmah kata-kata John F Kennedy: “Ask not what your country can do for you, but ask what you can do for your country.”
Di tahun politik sekarang ini NU kembali di uji, dengan tawaran-tawaran manis oleh para calon pejabat publik, untuk mendukung salah satu calon dalam Pemilukada di berbagai daerah. Mampukah NU dapat keluar dari jalan yang berair itu ataukah terjebak kembali dalam lautan air yang menggunung karena centang berenang? Menilik sejarah perjalan politik negeri ini, dalam catatan pemilu tahun 1955, NU sebagai salah satu kontestan politik mampu meraih simpati masyarat, dan masuk lima besar partai pemenang pemilu. Namun dalam perjalan politiknya lagi-lagi NU hanya dijadikan kuda tunggangan ke puncak tahta. Disadari atau tidak, sampai detik ini NU masih menjadi magis bagi para calon pejabat untuk naik ke puncak kekuasaan, entah karena dalih jumlah masa yang banyak atau karena menginginkah keberkahan do’a para kiai, yang jelas hal ini harus disikapi lebih dalam dan jernih agar NU tidak terperosok ke lubang yang sama. Akhirnya penulis berharap semoga Munas NU yang ke 33 berjalan sukses.