Al-Muktafi: Dicintai Rakyat, tapi Terkena Pengaruh Jahat Sengkuni
Beda pemimpin, beda pula gayanya memerintah. Beda khalifah, beda pula perlakuannya terhadap rakyat. Kepemimpinan berpusat pada personal, bukan institusional. Administrasi pemerintah berjalan tanpa sistem yang baku. Jika kebetulan mendapat pemimpin yang baik, beruntunglah rakyat. Jika mendapat pemimpin yang lemah, celakalah umat. Lalu, apa yang terjadi setelah al-Mu’tadhid wafat dan digantikan putranya, Khalifah al-Muktafi?
Imam Suyuthi meriwayatkan ucapan dari as-Shuli bahwa tidak ada khalifah yang bernama Ali kecuali Ali bin Abi Thalib dan Ali bin al-Mu’tadhid. Ali putra al-Mu’tadhid ini yang kemudian bergelar al-Muktafi Billah. Dialah khalifah ketujuh belas dari Dinasti Abbasiyah, yang berkuasa dari tahun 902 M sampai 908 M. Dia berusia 25 tahun saat menerima ba’iat sebagai khalifah.
Imam Thabari, yang hidup pada periode kekuasaannya, mendeskripsikan al-Muktafi dengan lelaki berperawakan sedang, ganteng, dengan rambut yang keren dan jenggot yang menawan. Imam Suyuthi melaporkan bahwa ibunya al-Muktafi itu seorang perempuan budak Turki yang amat rupawan. Wajarlah kalau al-Muktafi juga ganteng.
Pada tahun diangkatnya al-Muktafi, dilaporkan oleh Ibn al-Atsir bahwa angin bertiup kencang di kota Bashrah yang memorak-porandakan kebun kurma. Kabarnya tujuh ribu pohon kurma tumbang seketika. Kalau di tanah Jawa boleh jadi ini sudah dianggap pertanda buruk bagi kelangsungan pemerintahan.
Al-Muktafi terkenal menyukai membangun gedung mentereng seperti kebiasaan bapaknya. Namun, berbeda dengan bapaknya yang memerintah dengan tangan besi ala diktator militer yang bengis dan kejam, al-Muktafi lebih kalem dalam memerintah. Imam Suyuthi melaporkan:
وهدم المطامير التي اتخذها أبوه وصيرها مساجد، وأمر برد البساتين والحوانيت التي أخذها أبوه من الناس ليعملها قصرا إلى أهلها، وسار سيرة جميلة،فأحبه الناس ودعوا له.
“Al-Muktafi merobohkan penjara yang dibangun ayahnya kemudian di atas bekas bangunan penjara itu dia dirikan masjid. Al-Muktafi juga memerintahkan para pembantunya untuk mengembalikan taman dan toko yang telah dirampas ayahnya. Taman dan toko itu dulu dijadikan istana oleh ayahnya. Al-Muktafi telah menunjukkan contoh yang indah. Rakyat menyenanginya dan mendoakannya.”
Namun demikian, administrasi pemerintahan al-Muktafi diatur oleh Wazir yang bernama al-Qasim bin Ubaidillah. Al-Qasim ini menjabat Wazir sejak masa al-Mu’tadhid menggantikan ayahnya sendiri yang wafat sebagai Wazir. Jadi, bukan saja jabatan khalifah diwariskan dari bapak ke anak, tapi dalam periode ini jabatan wazir pun berpindah dari bapak ke anak.
Al-Qasim ini licik dan brutal. Dia sudah menyusun rencana untuk mengangkat orang lain di luar keturunan al-Mu’tadhid sebagai khalifah ketika al-Mu’tadhid sakit. Rencana itu didiskusikan dengan Jenderal Abu Najm Badr. Namun, Badr menolak rencana al-Qasim dan tetap setia pada jalur suksesi putra mahkota yang disiapkan al-Mu’tadhid. Tanpa dukungan Badr, rencana konspiratif al-Qasim berantakan. Tapi, ini membuat hubungan keduanya jadi tegang.
Ketika al-Mu’tadhid wafat, al-Muktafi berada di daerah Raqqa. Maka, al-Qasim memenjarakan semua pangeran sampai al-Muktafi tiba di ibu kota negara. Dengan demikian, bukan saja al-Qasim menutup celah adanya konflik di kalangan pangeran, namun juga memberi kesan kepada khalifah yang baru bahwa al-Qasim berjasa melempangkan jalannya menuju takhta kekuasaan. Inilah kelicikan al-Qasim yang pertama.
Kelicikan kedua adalah dengan cara mencopot sekretaris al-Muktafi sewaktu menjadi Gubernur di Raqqa, yaitu al-Husayn bin Amr. Al-Husayn ini seorang Kristen, dan atas perintah al-Muktafi dia mengikuti al-Muktafi ke ibu kota negara. Al-Qasim khawatir posisinya digantikan oleh al-Husayn. Maka, dia memainkan kartu agama sehingga al-Muktafi mencopot al-Husayn dan memulangkannya ke Raqqa.
Kelicikan ketiga, al-Qasim mengatur penangkapan dan pembunuhan terhadap mereka yang berpotensi mengganggu posisinya seperti Emir wilayah Safarid, yaitu Amr Laits Shafari. Amr Laits dibunuh karena al-Muktafi saat memasuki ibu kota menanyakan kabarnya dan hendak mempromosikan dirinya karena kebaikan Amr Laits dulu kepada al-Muktafi. Diam-diam al-Qasim langsung mengirim anak buahnya untuk menghabisi Amr Laits hari itu juga.
Korban berikutnya adalah Jenderal Badr. Ini dilakukan al-Qasim karena dia khawatir Badr membocorkan percakapan mereka sebelum al-Muktafi menjadi khalifah di mana al-Qasim punya rencana mengangkat orang lain. Al-Muktafi mengirim pesan ke Jenderal Badr bahwa dia akan diangkat sebagai gubernur dan dia bebas memilih wilayah mana pun. Namun, Badr mengatakan dia hendak menemui khalifah terlebih dahulu dan bicara langsung.
Al-Qasim khawatir Badr akan mengadu kepada al-Muktafi, sehingga al-Qasim bagai sang Sengkuni dalam kisah Mahabharata menghasut khalifah dengan mengatakan bahw Badr yang telah diberi kehormatan menjadi gubernur malah menolak dan hendak masuk ke istana menemui khalifah. Ini indikasi bahwa Badr akan menantang al-Muktafi. Begitu hasutan al-Qasim.
Segera setelah itu rumah dan harta benda Badr disita dan keluarganya ditangkap. Al-Qasim mengirim dua orang. Pertama, dia mengirim Abu Umar, seorang hakim dan menitipkan surat untuk Badr bahwa dia akan aman memasuki ibu kota Baghdad. Kedua, al-Qasim mengirim komandan pasukan Lu’lu’ dengan pesan untuk membawa kepala Badr kepadanya.
Abu Umar menemui Badr terlebih dahulu dan memberi jaminan keselamatan Badr memasuki ibu kota negara. Di perbatasan, Badr dicegat oleh pasukan Lu’lu’ yang kemudian membawanya ke Baghdad. Badr menyadari bahwa nasibnya akan berakhir tragis lalu meminta izin untik salat dua rakaat. Selesai dia menunaikan salat, Lu’lu’ menusuknya dengan pedang dan kemudian memenggal kepala Badr untuk diserahkan kepada al-Muktafi.
Liciknya al-Qasim, tidak ada yang menyalahkan dia. Malah rakyat berkumpul mengecam Abu Umar yang sudah memberikan jaminan keselamatan, namun ternyata Badr tetap dipenggal kepalanya. Itulah hebatnya politik. Abu Umar yang kena stigma negatif, padahal menurut Imam Thabari, al-Qasim yang merencanakan semuanya.
Pada 20 Mei 903, al-Muktafi pergi menuju ke kota Samarra. Dulu kota ini sempat lama menjadi ibu kota negara namun kemudian hancur akibat beberapa kali perang saudara. Al-Muktafi berencana hendak membangun kembali dan menjadikannya sebagai ibu kota negara. Namun, kelihatannya al-Qasim dan para pembantu terdekatnya keberatan dengan rencana itu.
Mereka lantas memberi estimasi anggaran yang fantastis, setelah terlebih dahulu di-mark-up. Al-Muktafi kaget dengan angka yang diajukan dan akhirnya mengurungkan niatnya untuk membangun kembali kota Samarra dan menjadikannya sebagai ibu kota. Al-Muktafi kembali ke Baghdad.
Berharapan dengan Wazir yang sangat berpengalaman dan menguasai administrasi pemerintahan, Khalifah al-Muktafi yang masih usia belia seperti kerbau yang dicocok hidungnya. Dia hanya menuruti apa yang disampaikan sang wazir.
Kekhalifahan awal menghadapi pemberontakan dari kelompok Khawarij, namun pada era al-Muktafi tantangannya berbeda. Kelompok Syi’ah Zaydiyah sudah menguasai wilayah Tabaristan dan Yaman. Lantas muncul kelompok Syi’ah esktrem, yaitu pecahan dari Syi’ah Ismailiyah. Kelompok ini dikenal dengan nama Qaramithah.
Pada masa al-Muktafi, kelompok Qaramithah ini dipimpin oleh Yahya bin Zikrawayh. Setelah dia terbunuh oleh pasukan khalifah, Yahya digantikan oleh anaknya yang bernama Husein. Imam Suyuthi menceritakan bahwa di wajah Husein ini ada tompel dan dia menganggap ini sebagai pertanda bahwa dia sebagai Imam Mahdi yang ditunggu-tunggu.
Sepupunya bernama Isa bin Mahrawayh. Dia melakukan propaganda bahwa dialah yang disebut al-Qur’an sebagai al-Muddatstsir (QS 74:1). Ini tentu tafsir yang keliru karena ayat ini ditujukan kepada Nabi Muhammad di awal kenabiannya.
Begitulah kelompok sempalan sering memakai ayat Qur’an seenaknya saja dan celakanya banyak yang mengikutinya. Para tokoh jahat ini kemudian bisa dibunuh di masa al-Muktafi pada tahun 903 M. Tapi, pemberontakan Qaramithah masih terus berlangsung hingga 907 M.
Dalam peperangan yang lain, Al-Muktafi berhasil merebut kota Antokiah dari pasukan Bizantin Romawi, dan juga menghentikan kekuasan Bani Tulun di Mesir pada 905 M. Namun, al-Muktafi gagal menahan berdirinya kekuasaan Bani Fatimiyyah.
Al-Muktafi wafat pada usia 31 tahun dan hanya sekitar enam tahun berkuasa. Imam Thabari tidak menjelaskan sebab-sebab wafatnya Khalifah al-Muktafi apakah wafat dalam keadaan wajar, sakit atau sebab lainnya.
Ibn Katsir melaporkan bahwa al-Muktafi wafat karena sakit. Imam Suyuthi mencatat bahwa al-Muktafi memiliki delapan anak perempuan dan delapan anak lelaki. Amboiii produktif juga ya!
Al-Muktafi digantikan oleh saudara yang bernama Abu al-Fadl Ja’far yang berusia 13 tahun saat diangkat menjadi Khalifah. Bagaimana nasib negara dipimpin oleh Khalifah yang sangat belia ini? Insya Allah kita lanjutkan ngaji sejarah politik Islam pada kesempatan yang akan datang.