Kontribusi Mahasantri bagi Pemikiran Keislaman Pasca Wacana Fiqih Peradaban**
Oleh Ramdani
I. Pendahuluan
Keislaman adalah agama yang kaya akan pemikiran dan tradisi intelektual yang telah berkembang seiring berjalannya waktu. Salah satu aliran besar dalam dunia pemikiran Islam adalah fiqih, yang membahas hukum-hukum Islam dan aplikasinya dalam kehidupan sosial. Pasca wacana fiqih peradaban, terdapat transformasi dalam pemikiran Islam, yang melibatkan kontribusi pemikiran dari berbagai kalangan, termasuk mahasantri, yaitu mahasiswa yang berada di pesantren-pesantren modern atau institusi pendidikan Islam di Indonesia.
Mahasantri bukan hanya penerus tradisi keilmuan pesantren, tetapi juga berperan penting dalam merespons tantangan kontemporer, mengembangkan fiqih dalam kerangka peradaban modern, dan menyusun alternatif pemikiran yang sesuai dengan realitas sosial dan budaya. Oleh karena itu, makalah ini bertujuan untuk mengkaji kontribusi mahasantri dalam pemikiran keislaman pasca wacana fiqih peradaban.
II. Latar Belakang Fiqih Peradaban
Fiqih peradaban muncul sebagai respons terhadap kebutuhan untuk memahami dan mengembangkan fiqih dalam konteks masyarakat yang semakin kompleks. Sebelumnya, fiqih dikenal dengan fokus pada hukum individual dan sosial dalam kerangka kehidupan sehari-hari. Namun, wacana fiqih peradaban menawarkan pendekatan yang lebih luas, di mana fiqih tidak hanya dilihat sebagai produk teks-teks klasik, tetapi juga sebagai instrumen untuk merespons dinamika peradaban, baik itu dalam aspek sosial, politik, ekonomi, maupun budaya.
Pendekatan ini memandang fiqih sebagai bagian integral dari pembangunan peradaban Islam yang lebih luas. Dalam konteks ini, fiqih menjadi lebih dari sekadar hukum, tetapi juga sebagai bagian dari usaha untuk menciptakan tatanan masyarakat yang berkeadilan, damai, dan sejahtera. Mahasantri, dengan latar belakang pendidikan pesantren, memainkan peran penting dalam menerjemahkan dan mengaplikasikan fiqih peradaban dalam konteks Indonesia yang kaya akan keberagaman.
III. Kontribusi Mahasantri dalam Pemikiran Keislaman
A. Pemikiran Integratif antara Fiqih dan Ilmu-Ilmu Sosial
Mahasantri, sebagai generasi yang menggabungkan pendidikan pesantren dan pendidikan modern, memiliki kemampuan untuk mengintegrasikan fiqih dengan ilmu-ilmu sosial seperti sosiologi, antropologi, dan politik. Dengan pendekatan ini, mereka mampu merumuskan solusi terhadap isu-isu kontemporer seperti hak asasi manusia, pluralisme, gender, dan keadilan sosial dalam kerangka fiqih. Mahasantri berusaha mengadaptasi fiqih agar lebih relevan dengan tantangan zaman, dengan tetap berpegang pada prinsip-prinsip dasar Islam.
B. Revitalisasi Pemikiran Fiqih dalam Konteks Modern
Setelah wacana fiqih peradaban muncul, banyak mahasantri yang terlibat dalam upaya revitalisasi fiqih untuk menjawab persoalan-persoalan hukum kontemporer. Mereka menyadari bahwa fiqih klasik, meskipun sarat dengan kebijaksanaan, kadang tidak mampu menghadapi tantangan globalisasi, teknologi, dan perubahan sosial yang pesat. Oleh karena itu, mereka mengembangkan fiqih yang lebih responsif terhadap perubahan zaman, seperti fiqih ekonomi (misalnya, tentang ekonomi syariah), fiqih politik, dan fiqih lingkungan.
C. Dialog Antara Tradisi dan Modernitas
Mahasantri juga berperan dalam membangun dialog antara tradisi Islam yang kuat dalam pendidikan pesantren dengan modernitas yang berkembang pesat di dunia akademis. Dalam hal ini, mereka tidak sekadar menolak modernitas, tetapi mencari titik temu antara keduanya. Mereka mengembangkan pendekatan fiqih yang tidak hanya memprioritaskan teks-teks klasik, tetapi juga membuka ruang untuk interpretasi baru yang lebih inklusif dan kontekstual. Ini penting, mengingat tantangan zaman yang menuntut fleksibilitas dalam pemikiran hukum Islam.
D. Pemikiran Inklusif dan Pluralis
Mahasantri masa kini semakin sadar akan pentingnya pendekatan inklusif terhadap keragaman masyarakat Indonesia yang majemuk. Mereka mengembangkan pemikiran fiqih yang lebih terbuka dan mengakomodasi pluralisme agama dan budaya. Sebagai contoh, dalam bidang fiqih sosial, mereka berupaya merumuskan hukum-hukum yang mendukung harmoni antarumat beragama dan keberagaman budaya, dengan tetap berlandaskan pada prinsip-prinsip Islam yang moderat dan toleran.
IV. Tantangan yang Dihadapi Mahasantri
Meskipun memiliki potensi besar dalam memajukan pemikiran keislaman, mahasantri juga menghadapi berbagai tantangan. Beberapa tantangan utama yang dihadapi antara lain:
1. Keterbatasan Akses ke Sumber Daya
Meskipun banyak mahasantri yang belajar di pesantren atau lembaga pendidikan Islam, akses mereka terhadap sumber daya ilmiah dan intelektual, seperti jurnal-jurnal akademik atau peluang untuk berinteraksi dengan pemikir global, masih terbatas. Hal ini dapat menghambat pengembangan pemikiran mereka.
2.Perbedaan Perspektif dengan Kalangan Konservatif
Dalam dunia pesantren, sering kali ada perbedaan pandangan antara mahasantri yang lebih terbuka terhadap modernitas dan kalangan konservatif yang lebih mengedepankan pemikiran fiqih tradisional. Ketegangan ini kadang menghambat inovasi pemikiran yang lebih progresif.
3. Pengaruh Politik dan Sosial
Mahasantri yang terlibat dalam pemikiran sosial dan politik Islam juga harus berhati-hati agar tidak terjebak dalam narasi politik yang bisa mengarah pada polarisasi sosial. Oleh karena itu, mereka harus dapat menjaga independensi intelektual dan tidak terpengaruh oleh agenda politik tertentu.
V. Kesimpulan
Kontribusi mahasantri dalam pemikiran keislaman pasca wacana fiqih peradaban sangat signifikan. Mereka memainkan peran penting dalam menjembatani tradisi fiqih dengan tantangan zaman, mengembangkan fiqih yang responsif terhadap kebutuhan sosial dan budaya kontemporer, serta menciptakan ruang untuk dialog antara tradisi dan modernitas. Meskipun menghadapi tantangan, seperti keterbatasan akses dan perbedaan pandangan dalam komunitas mereka, mahasantri terus berusaha mengembangkan pemikiran yang inklusif, progresif, dan relevan bagi peradaban Islam masa depan.
Penting bagi masyarakat akademik dan intelektual Islam untuk mendukung proses ini dengan menyediakan lebih banyak kesempatan bagi mahasantri untuk berinteraksi dengan pemikiran global dan memberikan akses terhadap sumber daya yang lebih luas. Dengan demikian, kontribusi mahasantri dalam pemikiran keislaman dapat terus berkembang dan memberikan manfaat yang lebih besar bagi umat Islam di Indonesia dan dunia.
—
Daftar Pustaka
1. Abdurrahman, M. (2016). *Fiqih Peradaban: Perspektif Kontemporer*. Jakarta: Pustaka Firdaus.
2. Hasan, A. (2020). *Dialog Intelektual antara Tradisi dan Modernitas dalam Islam*. Yogyakarta: LKiS.
3. Sa’id, H. (2018). *Fiqih Sosial: Pembaruan dalam Pemikiran Hukum Islam*. Jakarta: Erlangga.
4. Suryanto, S. (2021). *Mahasantri dan Peranannya dalam Pembaruan Islam di Indonesia*. Bandung: Mizan.