Kebangkitan Nasional: Bangkit Melawan Korupsi
Dr. Srie Muldrianto, MPd – Mendidik diantaranya adalah melakukan pembelajaran untuk tidak memberi dan menerima korupsi. Si pemberi lebih mudah menghindari melakukannya, Jika saja tidak memiliki keinginan yg melampaui kapasitasnya. Tapi ada juga pemberi terpenjara oleh lingkungan yg menekannya agar melakukannya sehingga terbebas dari cemooh dan ada perasaan tak enak jika tidak melakukanya. Bukankah perbuatan kita lebih didorong oleh kebiasaan? Inilah yg disebut budaya.
Pemberi gratifikasi melakukan karena atas nama lazimnya atau biasanya alias budaya. Haruskah kita penerima gratifikasi menolak? Apa saja efek penolak atau bahkan pembongkar? Misalnya kita lihat kasus Ahok bagaimana dia berupaya membongkar dan melawan korupsi, apa efeknya? Atau bagaimana kesudahan orang orang yg membasmi korupsi misalnya Antasari Azhar, Abraham Samad, Teten Masduki dll. Apa hasilnya? Jadinya bagaimana? Haruskah diam? Bodo amat? Atau berjuang sendirian?
Ada banyak kasus orang tidak setuju atau tidak mau melakukannya, tapi tidak berdaya. Beberapa orang yang memiliki Nurani dan sehat dalam berpikir kadang merasa tertekan oleh keadaan di sekelilingnya sehingga dia mundur atau keluar dari pekerjaan dan tugas yang menjadi tanggungjawabnya. Atau kah seperti orang ini kita harus melakukannya? Atau misalnya seperti yang dilakukan Pak Mahfudz MD membongkar dan memviralkannya?
Sikap kita adalah pilihan hidup kita tentang sesuatu hal, termasuk sikap kita menghadapi budaya korupsi. Sebenarnya banyak sudah ide dan gagasan yang sudah disuarakan tapi tampaknya belum ada geliat atau belum membangun kesadaran orang untuk melawannya. Di hari kebangkitan Nasional ini menurut hemat saya adalah momennya membangun kesadaran bahwa korupsi sudah sedemikian rupa membayakan kehidupan bernegara kita. Oleh karena itu kita sebagai generasi penerus cita-cita perjuangan harusnya bangkit melawan korupsi! Kebangkitan kedua atau ketiga bangsa Indonesia adalah bangkit melawan korupsi yang sudah mandarah daging jadi budaya kita, karena sudah jadi budaya, kita merasa tidak berdosa dalam melakukannya. Bahkan mungkin saja jika kita tidak melakukan terasa ada yang kurang dalam aktivitas kita.
Membuncahnya kebangkitan nasional pada masa kolonialis adalah adanya perlawanan kaum terdidik dan lahirnya kesadaran melalui pendidikan secara massif, mungkin karena ada kebijakan politik etis dari Belanda. Sehingga bangkitnya kesadaran bangsa secara nasional.
Sebetulnya Kebangkitan itu sudah mulai dirasakan oleh berbagai elemen masyarakat tapi masih bersifat individual dan parsial. Seperti apa yang dilakukan RA. Kartini, Dewi Sartika, juga para pahlawan lainnya.
Kebangkitan dimulai sejak para pemuda terdidik, baik yang terdidik dalam lingkungan pendidikan formal maupun yang terdidik di lingkungan pesantren.
Organisasi Sarikat Dagang Islam, Budi Utomo, Muhammadiyah, NU, dan lahirnya sumpah pemuda telah menguatkan tekad persatuan untuk bangkit melawan penjajahan. Kebangkitan sejatinya dilakukan secara nasional yang menghilangkan sekat-sekat perbedaan ras, agama, budaya, dan kepentingan. Kebangkitan di era kedua atau ketiga sekarang ini adalah kebangkitan melawan korupsi.
Bagaimana membangkitkan melawan korupsi?
Sebagaimana dulu hampir selama tiga abad setengah wilayah Nusantara diduduki dan dikuasai oleh Belanda, mengapa bisa selama itu?
Pergerakan nasional terjadi karena 1. Adanya tekanan dan penderitaan yang terjadi secara terus-menerus, 2. Adanya perasaan senasib dan sepenanggungan, 3. Adanya kesadaran nasional dan harga diri (1997:14, Sudiyo) Di lihat dari tiga alasan tersebut pada point pertama mungkin saja rakyat Indonesia belum merasakan penderitaan secara terus-menerus atau kita belum merasakan efek dari korupsi sehingga kita menderita.
Baru-baru ini kita dapatkan informasi bahwa telah terjadi korupsi yang nilainya luar biasa 8T. Belum lagi di tingkat bawah kita rasakan izin, dan surat menyurat baik dari kepolisian, pertanahan, perpajakan, departemen Agama, Pendidikan, bahkan ORMAS Islampun terbiasa melakukan ini. Alasan yang kedua adalah adanya perasaan senasib dan sepenanggungan bahwa korupsi menjadi musuh bersama. Perasaan inipun belum kita miliki atau mungkin perasaan ini hanya dimiliki oleh orang-orang yang justru mendapat manfaat dari korupsi, atau mungkin ada yang merasakan, tapi masa bodoh dengan keadaan? Ada sebagian orang tidak setuju dengan korupsi di suatu departemen dan akhirnya mengundurkan diri. Yang ketiga adalah kesadaran nasional dan harga diri. Kesadaran merupakan hal terpenting dalam berbagai aktivitas baik aktivitas individu maupun aktivitas kelompok. Tanpa kesadaran bahwa korupsi adalah sesuatu yang buruk, kita akan terus merasakan punya harga diri walaupun kita pelaku korupsi.
Perlawanan dan kebangkitan kita dalam melawan korupsi tidak bisa kita lakukan secara parsial atau individual, juga sektoral tapi harus utuh, integral, dan komprehensip. Membangun persatuan untuk melawan korupsi membutuhkan kepemimpinan yang kuat yang dipercaya oleh mayoritas bangsa Indonesia.
Pertanyaannya pemimpin dulu atau yang dipimpin yang harus bangkit?
Sebagaimana sejarah pergerakan nasional dalam menghadapi penjajah, sejatinya ada pergerakan nasional untuk melawan korupsi. Tak lain dan tak bukan kalangan terdidiklah yang harus dapat menyiapkan pergerakan itu.
Kalangan terdidik bukan hanya guru, dosen, atau aparat kepolisian tapi semua yang terdidik harus merapatkan barisan agar lahirnya zaman baru, yaitu Indonesia tanpa korupsi. Sekali lagi ayo kita bangkit melawan korupsi!
Dr. Srie Muldrianto, MPd Pengurus HIPAKAD (Himpunan Putra Putri Keluarga TNI AD) Purwakarta dan Aktivis JATMAN (Jam’iyah Ahlu Thoriqoh An Nahdiyah) Purwakarta
Referensi
Sudiyo, dkk (1997) Sejarah Pergerakan Nasional : DEPDIKNAS