The news is by your side.

Monkey Business dan Tanaman Janda Bolong yang Harganya Selangit

Sekilas, monkey game atau monkey business tak ubahnya bisnis riil biasa; ada praktik niaga dengan barang dagangan yang jelas. Pertukaran antara harga dan barang berlaku riil. Kemakluman harga dan barang juga bersifat riil.

Seolah tidak ada alasanyangmembuatnya terlarang sebab tidak tampaknya illat yang mengharamkannya, seperti riba, maisir (judi), gharar (spekulatif), dan ghabn (kecurangan). Namun, bila ditelusuri lebih dalam monkey business sejatinya adalah aktivitas bisnis yang berorientasi jangka panjang untuk menguntungkan diri sendiri dan berimbas merugikan orang lain, meski barang-barang yang dijualnya seringkali halal.

Dalam monkey business, objek pertukaran itu bisa saja terdiri dari (1) barang-barang yang bermanfaat dan jelas halalnya, (2) barang yang tidak halal, atau bahkan (3) barang yang tidak lazim diperdagangkan.

Pertama, monkey business dengan objek barang halal.

Contoh kegiatan monkey business dengan objek barang halal adalah praktik ihtikar(menimbun).

قال أصحابنا الاحتكار المحرم هو الاحتكار في الأقوات خاصة وهو أن يشتري الطعام في وقت الغلاء للتجارة ولا يبيعه في الحال بل يدخره ليغلوا ثمنه

“Para sahabat kami mengatakan bahwa ihtikar yang diharamkan adalah ihtikar terhadap bahan makanan pokok secara khusus, yaitu praktik membeli makanan pada waktu krisis untuk diniagakan, dan ia tidak menjualnya seketika, melainkan ditimbun untuk mendapatkan harga yang lebih tinggi lagi” (Syarah Shahih Muslim li al-Nawawi, jilid 11, halaman 43).

Namun, kita sering mendapati bahwa Ihtikar ini dimaknai sebagai monopoli. Sejatinya, jika ditelaah lebih dalam, ihtikar itu bukan semata monopoli, sebab negara juga punya wewenang melakukannya dan diperbolehkan. Misalnya, di dalam UUD 1945, Pasal 33 ayat 3 dinyatakan, Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat. Tak urung, ini adalah pernyataan monopoli namun bukan masuk kategori ihtikar yang diharamkan.

Di dalam praktik ihtikar, tersimpan adanya makna mezalimi, misalnya hadits dalam Shahih Muslim yang menyatakan:

من احتكر فهو خاطئ

“Barang siapa melakukan ihtikar maka dia seorang yang bersalah” (HR. Muslim).

Alhasil, praktik ihtikar, sejatinya adalah praktik monkey business. Kelak kita akan tunjukkan persamaannya.

Kedua, monkey business dengan objek barang haram atau barang tak lazim diniagakan.

Hukum monkey business dengan objek barang haram jelas adalah haram. Namun, untuk barang yang tak lazim diniagakan, ini baru sebuah hal yang unik.

Bisnis terjadi karena pihak inisiator memiliki orientasi jangka panjang berupa menciptakan suatu kondisi/pola ketergantungan, sehingga kelak ia bisa mempermainkan sebuah harga terhadap suatu barang di pasaran. Setelah ia meraup sebuah keuntungan, kemudian ia pergi meninggalkan konsumen.

Modus operandi dari  monkey business dalam skema semacam ini kurang lebihnya adalah sebagai berikut:

  1. Ciptakan sebuah produk yang seolah berharga. Misalnya, untuk yang akhir-akhir ini lagi marak, yaitu tanaman janda bolong
  2. Beli semua produk itu dengan harga tinggi, misalnya 3 jutaan
  3. Jaga transaksinya sampai barang itu langka di pasaran
  4. Ketika barang itu sudah diambang jenuh, tingkatkan harga itu sedikit lebih tinggi (misal: menjadi 3.5 juta rupiah) guna memacu masyarakat untuk terus memburunya
  5. Jika masyarakat sudah tidak mungkin mendapatkan barang terebut, ciptakan harga menjadi dua kali lipat, misalnya 6 juta rupiah. Namun, hilangkan market penjualannya.
  6. Ketika barang sudah benar-benar langka, lepaskan produk ke pasaran dengan harga 4-5 juta. Masyarakat kolektor akan memburu barang itu dan menganggapnya sebagai barang mahal/mewah
  7. Perbesar peluang agar masyarakat mudah mendapatkannya
  8. Setelah barang habis, stop membeli lagi barang! Dan anda sudah mendapat keuntungan.
  9. Berikutnya, masyarakat yang hendak menjual tanaman yang sudah dibelinya itu kesulitan mendapatkan orang yang mau membeli. Sebab, mau dipakai apa? Manfaat barang tak sebanding dengan harga yang kelewatan tingginya.

Inilah skema monkey business itu. Jadi, ada provokasi harga yang dibangun terlebih dahulu oleh pihak pengusaha sehingga membuat harganya meroket. Di sejumlah akun marketplace, tanaman janda bolong dibandrol dengan harga yang tak masuk akal, mulai dari jutaan, puluhan juta, hingga di atas seratus juta rupiah per tanaman. 

Pola bisnis semacam ini, penulis temui sering terjadi di masyarakat. Dulu pernah ada praktik jual beli burung prenjak dengan harga mencapai jutaan. Begitu prenjak sudah langka di lapangan, mendadak harganya tiba-tiba turun dan tidak ada pembeli yang meliriknya.

Yang lagi ngetren di sejumlah wilayah adalah jual beli tokek. Memangnya apa manfaat dari tokek semacam? Sebagian media membesarkannya dengan mengabarkan bahwa ia menjadi bahan kosmetik. Berlomba-lombalah orang beternak tokek. Begitu sudah waktunya panen, pengusahanya menghilang, karena ia sudah untung dari menjual bibit tokek. Lantas mau dikemanakan tokek-tokek itu?

Baik tokek, burung prenjak, dan tanaman janda bolong, adalah objek barang yang tidak lazim dijualbelikan dengan harga tinggi. Alhasil, jual belinya adalah haram bila objeknya tidak bisa dikonsumsi sebagai makanan halal. Namun, untuk objek semacam tanaman janda bolong, hasil jual belinya halal. Namun pelakunya berdosa, sebab ada unsur kesengajaan idlrar (merugikan) masyarakat.

Skema Monkey Business menurut Hukum Islam

Jika mencermati uraian di atas maka konsepsi yang masuk dalam rumpun larangan monkey businees adalah adanya perilaku idlrar (merugikan pihak lain). Kita tidak bisa menghukuminya dengan sekedar fiqih tekstual. Kita bisa membacanya menggunakan wacana fiqih kontekstual, sebab sudah berkaitan dengan hukum sebab-akibat.

Melalui tinjauan fiqih kontekstual, kita bisa membaca bahwa ada sebuah pergerakan menuju ke arah perbuatan yang dilarang oleh syariat sebab berpotensi merugikan pihak lain (dlarar) atau berbuat saling merugikan terhadap pihak lain (dlirar).

Masalahnya adalah untuk mengenal bahwa telah terjadi pola pergerakan bisnis yang diindikasikan  monkey business ini, kita membutuhkan sejumlah indikasi-indikasi (qarinah) yang bisa dipakai sebagai variabel (dlawabith). Dan inilah tugas besar kita untuk mengidentifikasinya.

Di antara sekian variabel itu, yang paling mudah dikenali indikasinya, adalah dengan melihat objek yang dijualbelikan (mabi’) sebagai barang yang tak lazim dihargai mahal. Namun, kita tidak cukup berhenti di sini, sebab ada parameter lain yang turut menjadi penyusun variabel yang membutuhkan juga di analisa. Wallahu a’lam bish shawab.

Muhammad Syamsudin, S.Si., M.Ag, Peneliti Bidang Ekonomi Syariah – Aswaja NU Center PWNU Jawa Timur dan Wakil Sekretaris Bidang Maudlu’iyah LBM PWNU Jawa Timur

Buku lain :

  • Antara Mbah Cholil Baureno dan Bojonegoro. Kontak pembelian : 0895 2851 2664 . Link resensi, klik.
  • Konspirasi Yahudi dan Rungkadnya Dinasti Ba’alwi. Kontak pembelian dan bedah buku : 0812 6143 8585. Link resensi, klik.
Leave A Reply

Your email address will not be published.